Laksana Kebun Yang Kandas Sebelum Disabit


Di antara metode Al Qur’an dalam menyampaikan ajarannya adalah dengan menggunakan permisalan, karena permisalan itu akan lebih mendekatkan pemahaman dari selainnya. Di antara sekian banyak permisalan yang terdapat dalam Al Qur’an adalah permisalan dan perumpamaan kehidupan dunia.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Perumpamaan kehidupan dunia ituhanyalah laksana air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS Yunus: 24)
Tentang permisalan ini, Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Perumpamaan ini termasuk perumpamaan yang paling bagus. Permisalan ini sesuai dengan keadaan dunia. Karena sesungguhnya kelezatannya, syahwatnya, kedudukannya , dan semacamnya membuat silau penghuninya meski hanya sesaat. Maka apa bila telah lengkap dan sempurna (keindahannya), seketika lenyap, atau pemiliknya yang hilang darinya (mati). Jadilah kedua tangannya kosong, dan hati dipenuhi rasa kesedihan, keresahan, dan kerugian.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 339, cet. Dar Ibnu Hazm)
Kehidupan dunia ini merupakan perhiasan indah yang menggoda mata orang yang memandangnya, menarik perhatian dan mengagumkan, menimbulkan hasrat keinginan untuk memilikinya, dan membuat setiap orang di sekitarnya merasa menguasainya. Kehidupan dunia yang demikian ini Allah umpamakan dengan tanah yang dihujani air, kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan yang berwarna-warni yang menarik dipandang, menggiurkan, serta mendorong orang-orang di sekitarnya menguasainya secara penuh. Dari tumbuhan-tumbuhan itu ada yang dimakan manusia dan adapula yang dimakan hewan-hewan.
Sampai ketika bumi itu di puncak keindahan dan keelokannya sehingga penduduknya mengira akan segera memetik dan menikmatinya, tiba-tiba Allah membalikkan keadaan dengan datangnya petir atau angin dingin yang kencang sehingga membuat kering daun-daunnya dan merusak buah-buahannya. Oleh karena itu Allah berfirman (yang artinya), “Tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit,” yaitu menjadi kering setalah sebelumnya hijau dan elok dipandang, seakan-akan sebelumnya tidak bagus atau, sebagaimana kata Qatadah rahimahullah, seakan-akan belum pernah menyenangkan.
Demikianlah perkara-perkara setelah lenyapnya, seakan-akan tidak pernah ada. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Didatangkan (di hari kiamat) orang yang paling menikmati dunia, dari kalangan penduduk neraka, lalu dicelupkan ke dalam neraka dengan satu celupan. Ditanyakan kepadanya, ‘Hai anak adam, apakah kamu melihat kebaikan sedikit saja? Apakah kamu merasakan kenikmatan sekecil pun?’ Ia menjawab, ‘Tidak,demi Allah, wahai Rabb-ku.’ Dan didatangkan orang yang paling merasakan kepedihan ketika di dunia, dari kalangan ahli surga, kemudian dicelupkan pada kesenangan (surga). Ditanyakan kepadanya, ‘Apakah Anda meraskan kesusahan sedikit pun?Dan apakah Anda merasakan kesulitan sekecil pun?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku. Sedikit pun aku tidak mersakan kesudahan, tidak pula kesusahan sekecil pun.’ (HR. Muslim dan Ahmad)
Allah berfirman dalam surat Al ‘Ankabut ayat 37 yang menceritakan orang-orang yang binasa, “Lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 351 dengan penyusaian)
Permisalan serupa juga dijumpai dalam surat Al Kahfi ayat ke-45: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Permisalan semacam ini hanya akan dapat dipahami oleh orang berakal yang menggunakan akalnya untuk berfikir atau, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’di dalam tafsirnya, orang-orang yang menggunakan akal mereka yang bermanfaat bagi mereka. Adapun orang lalai yang berpaling, maka ayat-ayat itu tidak bermanfaat bagi mereka, tidak pula penjelasan itu melenyapkan keraguan mereka. Oleh karena itu, Dia berfirman: “Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.
Begitulah dunia. Allah sendiri dalam Al Qur’an menyebut kesenangan dunia dengan zahrah yang berarti bunga (Periksa QS Thaha: 131). Bunga itu indah dan menyenangkan bagi siapa saja yang memandangnya sehingga membuatnya berhasrat untuk memetiknya. Ketika bunga tersebut benar-benar dipetik, tidak lama lagi akan segera layu dan tidak lagi elok dipandang apalagi dimakan. Namun jika sebentar saja ia mau bersabar menunggunya sampai menjadi buah, tentu ia akan mendapatkan kenikmatan yang lebih. Oleh karena itu kaidah fiqih mengatakan, “Siapa yang terburu-terburu dengan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan diharamkan baginya sesuatu tersebut.” (Al Fawaid Al Janiyyah, 2: 310 dan Al Qawa’id wal Ushulta’liq Al ‘Utsaimin, hal. 108)
Perhatikan ayat berikut (yang artinya),  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS Hud: 15). Kemudian Allah jelaskan dengan firman-Nya (yang artinya), Siapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalai dengan baik.” (QS Al Isra’: 18-19)
Di antara pelajaran dari ayat yang mulia di atas adalah hendaknya seorang muslim menyikapi dunia ini seperti ia menyikapi bunga yang dipandangnya. Jangan terburu-buru menikmatinya sehingga ia terjerumus kepada kebinasaan yang abadi.
Maka hendaknya setiap muslim selalu membekali dirinya dengan pertanyaan dan jawabannya: “Kenapa aku diciptakan?” Tentu jawabannya adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Jika seseorang sudah mengetahui untuk apa ia diciptakan dan tujuan hidupnya, ia akan membatasi jalan hidup yang hendak ia tempuh dan memilih arah tepat yang ia jalani. (dikutip dari Limadza Khuliqt, dengan penyesuaian)
Jangan sampai seseorang hidup sebagaimana hidupnya hewan, dan inilah hidupnya orang kafir. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 16). Dengan demikian hendaknya orang mukmin jangan tertipu dengan cara hidup orang kafir.  Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali ‘Imran: 196-197)
Manusia di dunia ini bagai musafir dan pelawat untuk mencari bekal sebanyak mungkin untuk membangun rumahnya di kampung halamanannya, yaitu surga. Bukankah negeri asal orangtua mereka adalah surga? Maka bisa dibenarkan ungkapan, “Cinta negeri bagian dari iman,” jika yang dimaksud negeri adalah negeri akhirat.
Cukup dunia itu dijadikan bagaikan ladang untuk menanam amal shalih supaya bisa dipanen di akhirat. Alangkah indahnya syair yang dibawakan Imam An Nawawi dalam muqaddimah kitabnya, Riyadhush Shalihin, yang konon syair Imam Asy Syafi’i:
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdik,
Mereka menceraikan dunia dan takut akan fitnah bencana.
Mereka memperhatikan perkara dunia, sampai ketika mereka mengetahui
Dunia bukanlah tanah air abadi untuk hidup
Mereka menganggap dunia ini bagaikan samudera
Dan mereka menjadikan amal-amal shalih sebagai bahtera untuk mengarunginya
Terakhir, berikut adalah seruan Allah ‘Azza wa Jalla kepada orang-orang yang mengaku dirinya beriman yang sepantasnyadirenungkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hasyr: 18)
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي  فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ
Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini’. Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (QS Al Fajr: 24-25)
Allahua’lam. Semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan shahabat-Nya hingga hari kiamat kelak.

Referensi:
  • Al Qur’an Al Karim
  • Shahih Muslim beserta syarahnya Minnatul Mun’im, karya Shafiyyurrahman bin ‘Abdullah Al Mubarakfuri
  • Tamsilul Quran (judul asli Amtsalul Quran), karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, alih bahasa Anwar Wahdi Hasi, Pustaka Panjimas Jakarta
  • Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, karya Abul Fida’ Ibnu Katsir
  • Taisirul Karimirrahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
  • Nuzhatul Mukminin syarh Riyadhish Shalihin, karya Mushthafa Dib Al Bugha dkk.
  • Limadza Khuliqt?, khutbah jum’at Muhammad Hassan
  • dll.
Penulis: Firman Hidayat
Editor: Muhammad Abduh TuasikalArtikel Muslim.Or.Id

You Might Also Like

0 komentar