Sebenarnya tidak ada yang lebih bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat seorang hamba yang lebih mendekatkannya kepada kebahagian dan keselamatan untuk selalu ber-interaksi dengan al-Qur`an dan merenungkan isi kandungannya.
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." ( Al Kahfi: 1-3)
Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita --sebagai kaum Muslimin-- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?" (Al Anbiyaa: 10).
Untuk memudahkan kita ber-interaksi dengan al-Qur'an kami hadirkan software dari ETC King Saud University (http://quran.ksu.edu.sa) ini. Semoga bermanfaat !
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." ( Al Kahfi: 1-3)
Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita --sebagai kaum Muslimin-- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?" (Al Anbiyaa: 10).
Untuk memudahkan kita ber-interaksi dengan al-Qur'an kami hadirkan software dari ETC King Saud University (http://quran.ksu.edu.sa) ini. Semoga bermanfaat !
VIVAnews - Sebuah Al Quran kuno yang terdiri dari 400 halaman masih terpelihara dengan baik di Masjid purbakala di Bukit Salabose, Majene, Sulawesi Barat.
Al Quran tersebut adalah warisan Syeh Abdul Mannan yang merupakan ulama penyebar Islam pertama di tanah Mandar. Usia Al Quran tersebut diperkirakan 350 tahun, sejak awal abad ke-16. Kitab suci itu adalah yang tertua di Majene.
Uniknya, huruf-huruf dalam kitab suci tidak ditoreh dengan tinta, melainkan getah pohon kurma. Kertasnya dari sejenis kulit kayu. Saat ini Al Quran itu dijaga oleh Muhammad Gaus, keturunan dari Syeh Abdul Manan.
"Umur tak tahu persis, keberadaan beliau [Syeh Abdul Manan] di awal abad ke-16," kata Muhammad Gaus kepada tvOne. Dia menambahkan, warisan berharga itu dijaga turun-temurun oleh keturunan Syeh Abdul Manan. Tradisi itu akan diteruskan.
Karena usianya yang tua, Al Quran tersebut tidak dipakai sehari-hari, hanya dikeluarkan dari kotak kayu dua kali setahun dalam momentum istimewa, peringatan Maulid Nabi Muhammad dan bulan Ramadan.
Lihat videonya di tautan ini.
http://nasional.news.viva.co.id
Al Quran tersebut adalah warisan Syeh Abdul Mannan yang merupakan ulama penyebar Islam pertama di tanah Mandar. Usia Al Quran tersebut diperkirakan 350 tahun, sejak awal abad ke-16. Kitab suci itu adalah yang tertua di Majene.
Uniknya, huruf-huruf dalam kitab suci tidak ditoreh dengan tinta, melainkan getah pohon kurma. Kertasnya dari sejenis kulit kayu. Saat ini Al Quran itu dijaga oleh Muhammad Gaus, keturunan dari Syeh Abdul Manan.
"Umur tak tahu persis, keberadaan beliau [Syeh Abdul Manan] di awal abad ke-16," kata Muhammad Gaus kepada tvOne. Dia menambahkan, warisan berharga itu dijaga turun-temurun oleh keturunan Syeh Abdul Manan. Tradisi itu akan diteruskan.
Karena usianya yang tua, Al Quran tersebut tidak dipakai sehari-hari, hanya dikeluarkan dari kotak kayu dua kali setahun dalam momentum istimewa, peringatan Maulid Nabi Muhammad dan bulan Ramadan.
Lihat videonya di tautan ini.
http://nasional.news.viva.co.id
Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin ditanya: Apakah yang dimaksud dengan Mush-haf Utsmany?
Jawaban:
Mush-haf Utsmany adalah mush-haf dari ayat-ayat Allah yang dikumpulkan kaum Muslimin pada zaman khilafah (pemerintahan) shahabat Utsman bin ‘Affan. Yang demikian disebabkan pada saat meninggalnya Nabi Muhammad, Al-Qur’an dalam keadaan belum terkumpul menjadi mush-haf. Al-Qur’an pada waktu itu terdapat di dada-dada kaum muslimin, pelepah-pelepah daun kurma, batu putih yang tipis dan halus, dan yang lainnya. Kemudian dikumpulkan pada khilafahnya shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika terbunuhnya sebagian besar para shahabat Rasululloh yang qurro’ (hafal Al-Qur’an), yaitu pada saat terjadinya peperangan Yamamah. (Sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari no. 4986).
Kemudian pada zamannya Khalifah Utsman bin ‘Affan dikumpulkan karena sabda Rasulullah (artinya):
“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.”
Pada waktu itu kaum Muslimin membaca Al-Qur’an dengan huruf-huruf yang berbeda. Perbedaan dialek/logat dalam membaca Al-Qur’an menyebabkan terjadinya perselisihan pada pasukan-pasukan kaum muslimin di daerah-daerah Islam. Para pimpinan pasukan tersebut khawatir akan terjadi fitnah. Mereka menulis risalah kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan tentang apa yang terjadi sehingga diperintahkanlah para shahabat untuk mengumpulkan mush-haf.
Disatukanlah bacaan-bacaan Al-Qur’an menjadi satu huruf (bahasa), yaitu dengan bahasa Quraisy. Bahasa Quraisy dipilih karena bahasa yang paling mulia, bahasa yang digunakan oleh Rasululloh, bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya dan bahasa yang paling suci/bersih di negara Arab. Dikumpulkanlah mush-haf-mush-haf menjadi satu mush-haf yaitu dengan bahasa Quraisy dan yang selainnya dibakar.
Maka, kaum muslimin bersatu di atas satu mush-haf. Sampai kepada kita Mush-haf Al-Qur’an Utsmany dengan nukilan yang mutawatir. Tidak ada perbedaan/perselisian sedikitpun dalam nukilan tersebut. Bahkan mush-haf Al-Qur’an yang disebut sebagai Mush-haf Utsmany akan tetap terpelihara di atas pemeliharaan Allah Subhaanahu wa ta’ala sampai hari kiamat. Di sana masih terdapat bacaan-bacaan yang keluar dari Mush-haf Utsmany dan bacaan tersebut shahih dari Rosululloh.
[Diterjemahkan Oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Majmu’As Ilah. Sumber : Buletin Dakwah Al Atsary, Semarang Edisi 15/1427H]
Tanzil adalah Qur'an Digital (tanzil.net) dengan tampilan yang praktis dengan terjemah dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, dilengkapi dengan audio murotal dari 26 Sheikh yang sudah sangat terkenal.
Untuk membukanya silahkan klik dibawah ini.........
Tanzil - Quran Navigator
Untuk membukanya silahkan klik dibawah ini.........
Tanzil - Quran Navigator
Software Syar’i: Mushaf Madinah Gratis, Menulis dengan Teks Al-Qur’an Madinah
- 06.37
- By faridan
- 0 Comments
Aplikasi Mushaf Madinah khusus komputer yang disusun oleh Pihak Percetakan Al-Qur’an milik Raja Fahd di Madinah, Dzahran, Arab Saudi, untuk kepentingan Kompleks Percetakan Alquran di Madinah milik Raja Fahd . Aplikasi ini akan dibagikan gratis di semua bagian dunia untuk menyebarkan Al-Quranul Karim.
Link Download
Untuk men-download program ini, gunakan salah satu pilihan berikut, tergantung pada kecepatan koneksi internet yang tersedia bagi Anda: -
Pertama: Download Mushaf Madinah dalam satu link (67MB) Klik di sini, kemudian instal program dari folder yang Anda men-download perangkat lunak untuk itu.
Pertama: Download Mushaf Madinah dalam satu link (67MB) Klik di sini, kemudian instal program dari folder yang Anda men-download perangkat lunak untuk itu.
Kedua: Download Mushaf Madinah untuk publikasi Komputer terfragmentasi:
A – Download bagian pertama (8MB)
B – Bagian II .. Download (56MB)
C – Gabungkanlah dua bagian diatas dalam satu folder.
D – Install program dari folder di mana bagian dikumpulkan dan ikuti instruksi.
A – Download bagian pertama (8MB)
B – Bagian II .. Download (56MB)
C – Gabungkanlah dua bagian diatas dalam satu folder.
D – Install program dari folder di mana bagian dikumpulkan dan ikuti instruksi.
Catatan Penting: tidak akan bekerja dengan benar jika program tersebut tidak mengeksekusi instruksi di atas.
Program ini Khusus Windows, adapun untuk Apple Macintosh masih dalam perampungan oleh pihak penyedia. Contoh hasil paste in word :
Software Al-Qur'an Digital sudah sangat banyak beredar bahkan di gratiskan untuk semata mata agar memudahkan kaum muslimin untuk mengakses langsung dari PC nya masing masing di rumah, kami sangat berterima kasih atas rekan rekan seperjuangan yang senantiasa memberikan link-link Al-Qur;an Digital untuk di akses secara gratis, namun perpustakaandigital.net kali ini memberikan link download secara gratis Software Al-Qur'an Digital Versi 3D yang memang di rancang dengan tampilan yang sangat sangat menarik.
Al Qur'an Digital Versi 3D http://www.perpustakaandigital.net |
Software Al-Qur'an Digital 3D ini memiliki tampilan yang sangat sempurna, software yang memanjakan kita guna meningkatkan motivasi tersendiri dalam diri kita untuk lebih giat membaca Al-Qur'an. Saat dalam kesibukan kita semakin meningkat, kejenuhan kita dalam membaca Al'Qur'an tentu akan muncul tanpa kita tak pernah menyadari hal sepertin ini. Dengan hadirnya Software Al-Qur'an Digital Versi 3D ini insya Allah sangat memudahkan kita dalam membaca Al-Qur'an kapan dan di mana saja.
Kelebihan Software Al-Qur'an Digital Versi 3D
- Software Al Qur'an Digital 3D ini bisa antum gunakan tanpa anda instal.
- Tampilan yang menawan, yang menyajikan tampilan kualitas tinggi.
- Ada tombol penunjuk berdasar ayat, surat dan juz.
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas
perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf
tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada
Al-Qur`anul Karim.
Petikan Nasihat dari Al-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin dari atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang diagungkan keberadaannya oleh kaum muslimin. Mereka menghormatinya, memuliakan, dan menyucikannya. Namun terkadang pengagungan dan penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang semestinya. Artinya, mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak menyepakatinya.
Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa penjelasan syariat tentang hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani t berikut ini.
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”1
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.”2
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?” Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah k itu dibolehkan atau dilarang?”
Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih.
Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”3
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
الْحَجَرُ اْلأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ
“Hajar Aswad (batu) dari surga.”4
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!”
Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….”
Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhum kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar.
Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil dan pesawat, –pent.).”
Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent.) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah k kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”
Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an.
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ فَقُوْمُوْا
“Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.”5
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti dengan: قُوْمُوْا (…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”6
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya.
Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah dan apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.”7
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membenarkan perbuatan tersebut.
Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita Subhanahu wa Ta'ala dan juga kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)
1 Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34
2 Shalatut Tarawih, hal. 75
3 Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41
4 Shahihul Jami’, no. 2174
5 Adh-Dha’ifah, no. 711
6 Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384
7 Ash Shahihah, no. 1803
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=571
Petikan Nasihat dari Al-‘Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin dari atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang diagungkan keberadaannya oleh kaum muslimin. Mereka menghormatinya, memuliakan, dan menyucikannya. Namun terkadang pengagungan dan penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang semestinya. Artinya, mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak menyepakatinya.
Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa penjelasan syariat tentang hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani t berikut ini.
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”1
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.”2
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?” Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah k itu dibolehkan atau dilarang?”
Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih.
Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”3
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
الْحَجَرُ اْلأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ
“Hajar Aswad (batu) dari surga.”4
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!”
Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….”
Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhum kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar.
Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil dan pesawat, –pent.).”
Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent.) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah k kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”
Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an.
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ فَقُوْمُوْا
“Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.”5
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti dengan: قُوْمُوْا (…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلأَذَانَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”6
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya.
Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah dan apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.”7
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membenarkan perbuatan tersebut.
Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita Subhanahu wa Ta'ala dan juga kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)
1 Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34
2 Shalatut Tarawih, hal. 75
3 Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41
4 Shahihul Jami’, no. 2174
5 Adh-Dha’ifah, no. 711
6 Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384
7 Ash Shahihah, no. 1803
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=571
Yemeni (Berita SuaraMedia) - Seorang pemuda Yaman mengklaim telah menemukan salinan tertua kitab suci Al-Qur’an tapi menolak untuk menyerahkan naskah Al-Quran tertua tersebut, Menurut laporan Kantor Berita alarabiya. Yaman Aden GulfNews, Rabu lalu.
Pria Yaman itu telah menawarkan harga sejumlah YR 12 juta ($ 56.000) namun dia bersikeras untuk menjaga naskah Al-Quran tertua tersebut.
Pemuda itu berkata bahwa ia menemukan kitab suci dibungkus dalam sebuah sampul kulit dengan memanjat kemudina turun menggunakan tali ke sebuah gua di pegunungan selatan kota Yaman Dhale.
Tes awal terhadap keaslian naskah telah terbukti bahwa Al-Quran yang ditemukan adalah asli, sesuai dengan duplikat Al-Quran tertua yang ada di dunia saat ini.
Words that read: “This manuscript was handwritten in 200 hijri year (815 AD)” are engraved on the first page of the manuscript, according to the report.
Kata-kata yang berbunyi: “Naskah ini adalah tulisan tangan di tahun 200 Hijriah (815 M)” yang terukir pada halaman pertama naskah, menurut laporan tersebut.
Huruf Arab yang digunakan, masih belum memiliki tanda-tanda baris dan harakat yang termasuk dalam abjad Arab, membuktikan bahwa naskah itu berasal dari berabad-abad yang lalu.
Selain menemukan naskah Al-Quran tua, pemuda itu juga dilaporkan telah menemukan pedang Zulfikar yang diyakini dihadiahkan Nabi Muhammad kepada Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib yang juga mantunya.
Nabi Muhammad diyakini hidup antara tahun 570 M hingga 632 M dan Al-Quran ditemukan dan diperkenalkan ke dunia antara tahun 610 dan 632 M.(aby)-http://www.suaramedia.com
Saat ini penerbitan mushaf Al-Qur’an dengan berbagai variasi dan format mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu di antaranya adalah penerbitan mushaf Al-Qur’an dengan Tajwid Warna, yang mulai muncul pada sekitar tahun 2000-an, di Saudi, Damaskus, dan India. Sementara di Indonesia, Mushaf Tajwid Warna mulai dicetak dan beredar sekitar tahun 2005-an. Penerbit Al-Qur’an yang mula-mula menerbitkan Mushaf Tajwid Warna adalah Lautan Lestari dan Yayasan Jayabaya.
Pada awalnya, bacaan tajwid yang diwarnai hanya sekitar 7 bacaan, yaitu Gunnah, Qalqalah, Idgām Bigunnah, Iqlāb, Ikhfā`, Idgām Mimi, dan Ikhfā` Syafawi (mushaf model blok terbitan Lautan Lestari; dan mushaf model arsir dari Yayasan Jayabaya menambah 1 bacaan lagi dengan memasukkan bacaan Idgām Bilāgunnah). Adapun Warna Tajwid yang digunakan antara penerbit Lautan Lestari dan Jayabaya untuk setiap bacaan tajwid berbeda satu sama lain. (Lihat Tabel di bawah)
Dalam perkembangannya, Mushaf Tajwid Warna mengalami perkembangan yang cukup pesat, ditandai dengan banyaknya penerbit Al-Qur’an yang menerbitkannya dengan berbagai variasi, sistem pewarnaan tajwid, dan warna yang berbeda-beda. Munculnya perbedaan warna antara satu penerbit dengan lainnya terutama disebabkan oleh adanya kekhawatiran dalam hal hak cipta, dan karena tidak adanya pedoman standar. Hal ini, pada gilirannya berdampak secara langsung kepada masyarakat pembaca, yaitu munculnya kebingungan dan kesulitan dalam membaca Mushaf Tajwid Warna.
Setidaknya, dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 telah muncul beberapa model pewarnaan tajwid, yaitu:
- Model Arsiran
Diterbitkan oleh Yayasan Jayabaya Jakarta (tashih Juni 2005). Al-Quran “Mushaf at-Tahir” ini memiliki 8 warna, yaitu bacaan Gunnah, Qalqalah, Idgām Bigunnah, Idgām Bilāgunnah, Iqlāb, Ikhfā`, Idgām Mimi, dan Ikhfā` Syafawi. - Model Blok
Diterbitkan oleh Lautan Lestari Jakarta (tashih Desember 2005). Al-Qur’an dengan blok warna ini hanya memiliki 7 warna, yang meliputi bacaan Gunnah, Qalqalah, Idgām Bigunnah, Iqlāb, Ikhfā`, Idgām Mimi, dan Ikhfā` Syafawi. - Model Warna pada Harakat/Huruf
Mushaf Al-Qur’an model warna pada huruf/harakat ini diterbitkan oleh beberapa penerbit, yaitu Mushaf ar-Rusydi oleh Cahaya Qur’an (tashih Agustus 2006), Syamil Al-Qur’an oleh Sygma (tashih September 2006),Pena Qur’an oleh Pena Pundi Aksara (tashih Juni 2007), Al-Qur’an Mushaf Tajwid oleh Diponegoro (tashih April 2009), Hilal Qur’an oleh Jabal Raudhotul Jannah (tashih Februari 2009).
Masing-masing mushaf menggunakan warna dan variasi yang berbeda satu sama lain. Sementara bacaan tajwid yang diwarnai menjadi berkembang dari dua model sebelumnya, yang meliputi bacaan Mad, Ra’ Tafkhim, tanda-tanda waqaf, dan huruf-huruf yang tidak dilafalkan. - Model 12 Warna dengan Blok
Mushaf Tajwid model ini diterbitkan oleh Suara Agung, dengan tanda tashih Mei tahun 2008. Sesuai dengan namanya “Al-Qur’an Tajwid 12 Warna dan Terjemah”, Mushaf ini menggunakan 12 macam warna. Sementara hukum tajwid yang diwarnai meliputi 13 item bacaan.
Standardisasi Pewarnaan Tajwid
Berangkat dari fakta munculnya beragam model pewarnaan tajwid yang berbeda-beda dan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat pembaca, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an berinisiatif melakukan Standardisasi Pewarnaan Tajwid. Lajnah menyelenggarakan Lokakarya Tajwid Sistem Warna pada tanggal 27 s.d. 29 Oktober 2009, yang melibatkan para pakar dan ulama Al-Qur’an serta penerbit Al-Qur’an, yang menghasilkan rekomendasi agar Lajnah secepatnya menyusun Pedoman Tajwid Warna. Setelah kurang lebih satu tahun membahas perumusan sistem warna dan model pewarnaan, pada awal tahun 2011 buku Pedoman Tajwid Sistem Warna dapat diselesaikan dan disahkan.
Hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam buku Pedoman Tajwid Sistem Warna, antara lain meliputi:
A. Sistem pewarnaan dirumuskan menjadi empat kelompok:
- Kelompok hukum bacaan huruf, meliputi: idgam bilagunnah, idgam mutamasilain, idgam mutajanisain, idgam mutaqaribain, idgam bigunnah, idgam mimi, gunnah, iqlab, ikhfa', dan ikhfa' syafawi.
- Kelompok hukum bacaan panjang, meliputi: madd lazim dan madd farq, madd wajib muttasil, madd ja’iz munfasil, silah tawilah.
- Kelompok tanda waqaf, meliputi: waqaf lazim, al-waqfu aula, waqaf mu‘anaqah, waqaf ja’iz, al-waslu aula, dan la waqfa fih.
- Huruf yang tidak dilafalkan.
B. Warna yang digunakan adalah enam warna: Merah (C:0, M:100, Y:100, K:0), Magenta (C:0, M:100, Y:0, K:0), Biru (C:100, M:100, Y:0, K:0), Cyan (C:100,
M:0, Y:0 K:0), Hijau (C:100, M:0, Y:100, K:0), Grey (C:0, M:0, Y:0, K:30).
M:0, Y:0 K:0), Hijau (C:100, M:0, Y:100, K:0), Grey (C:0, M:0, Y:0, K:30).
Penerapannya dalam hukum-hukum tajwid disesuaikan dengan pengelompokan pada poin A di atas, yaitu:
- Kelompok hukum bacaan huruf: a. Warna magenta: idgam bigunnah, idgam mimi, dan gunnah; b. Warna merah: idgam bilagunnah, idgam mutama£ilain, idgam mutajanisain, idgam mutaqaribain; c. Warna cyan:iqlab; d. Warna hijau: ikhfa', dan ikhfa' syafawi; dan e. Warna biru: qalqalah.
- Kelompok hukum bacaan panjang: a. Warna magenta: madd lazim dan madd farqi; b. Warna cyan:madd wajib muttasil; dan c. Warna hijau: madd ja’iz munfasil dan madd silah tawilah.
- Kelompok tanda waqaf: a. Warna merah: waqaf lazim dan al-waqfu aula; b. Warna biru: waqaf mu‘anaqah dan waqaf ja’iz; dan c. Warna hijau: al-waslu aula dan la waqfa fih.
- Huruf yang tidak dilafalkan diberi warna grey.
C. Sistem pewarnaan pada tajwid warna bisa menggunakan salah satu dari tiga model:
- Model Akademik; adalah pola pewarnaan berdasarkan kaidah tajwid, yaitu pewarnaan pada huruf-huruf dan harakat yang menimbulkan sebuah hukum bacaan tajwid.
- Model Fonetik; adalah pola pewarnaan berdasarkan pelafalan, yaitu pewarnaan pada huruf dan harakat yang dilafalkan karena mengandung hukum tajwid.
- Model Praktis; adalah pola pewarnaan berdasarkan pada tanda baca yang menunjukkan hukum tajwid.
Dengan telah disahkannya Pedoman Tajwid Sistem Warna ini, diharapkan seluruh penerbitan Mushaf Tajwid Warna di Indonesia dapat mengacu kepada pedoman tersebut.
http://lajnah.kemenag.go.id
Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh. Ada sebagian orang yang meletakkan mushaf Alquran di lantai, baik saat dibaca ataupun tidak. Ada yang menganggap terlarangnya meletakkan mushaf Alquran di lantai, karena dia harus di tempat yang tinggi dengan dalil Alquran, surat Abasa, ayat 14, “Yang ditinggikan dan disucikan.” Mohon penjelasannya.Jazakallahu khairan katsira (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan yang banyak).
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Bismillah.
Sebagian ulama mengharamkan tindakan meletakkan mushaf Alquran di lantai. Muhammad bin Sulaiman Al-Bajirami (salah satu ulama Mazhab Syafi’iyah) mengatakan, “Haram hukumnya meletakkan mushaf di lantai, namun harus diangkat, meskipun hanya sedikit.” (Tuhfah Al-Habib Syarh Al-Khatib, 3:322)
Akan tetapi, jika tidak terdapat tempat yang lebih tinggi dari lantai untuk meletakkan Alquran, sementara jika dibawa terus akan menyulitkan kita dalam melakukan kegiatan yang lain, maka mushaf tersebut boleh diletakkan di lantai, dengan syarat: lantainya harus suci. Allahu a’lam
Dijawab oleh Tim Dakwah Konsultasi Syariah
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Kitab suci umat muslim, Al-Quran dicetak dalam berbagai ukuran dan bentuk. Suatu hal yang tidak asing bila kita melihat ukuran dan bentuk Al-quran yang kecil atau biasa. Dengan ukuran kecil, Al-Quran mudah dan bisa dibawa ke mana-mana saat kita hendak membacanya.
Berbeda dengan yang ada di Republik Tatarstan, Federasi Rusia ini, Al-quran memiliki ukuran dan bentuk sangat besar dan merupakan yang terbesar di dunia. Al-Quran yang dicetak ini memiliki berat 800 kilogram, 120 kilogram diantaranya berat jilid Al-Quran itu sendiri.
Jilid Al-Quran terbuat dari batu malachite dan dilengkapi dengan batu-batu permata lainnya, seperti jasper atau batu merah, turquoise atau pirus, koral, gold leaf, topaz dan perak. Untuk membuka jilid Al-Quran ini dibutuhkan tenaga 4-6 orang.
Al-Quran dengan tebal 632 halaman ini dicetak di Italia dengan menggunakan kertas khusus dari Skotlandia. Setiap lembarnya memiliki berat 250 gram. Lebar Al-Quran 1,5 meter, panjang 2 meter dan tebal 25 sentimeter. Apabila dalam keadaan terbuka, lebarnya menjadi 3 meter.
Dengan keunikan ini, Al-Quran tersebut masuk ke dalam buku Guinness World Records. Sementara itu, Kementerian Kebudayaan Federasi Rusia mencatat Al-Quran ini sebagai buku yang memiliki nilai-nilai budaya.
Pada tanggal 17 November 2011 Al-Quran terbesar di dunia tersebut tiba di Kazan, Ibukota Republik Tatarstan dan disimpan di Masjid Agung Kul-Sharif yang berlokasi di Kremlin Kazan.
Pada tanggal 17 Mei 2012 puluhan umat muslim Tatarstan membaca Kitab Suci ini secara bergantian selama sehari semalam di Masjid Kul-Sharif.
Pencetakan Al-Quran tersebut untuk menjunjung Islam dan nilai-nilainya sebagai agama tradisional yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Tatarstan.
Sejak tanggal 21 Mei 2012 Kitab Suci yang masuk buku Gunness World Record ini disimpan di sebuah gedung khusus memorial muslim di Bulgar, Tatarstan. Penempatan Al-Quran ini juga untuk memperingati 1090 tahun Islam sebagai agama resmi pemerintah di wilayah Volga Bulgary.
Bulgar adalah sebuah kota tua dan bersejarah bagi umat muslim Tatarstan. Pada bulan Mei 922 masehi Islam dijadikan agama resmi pemerintahan di wilayah Volga Bulgary saat itu.
Volga Bulgary juga merupakan pemerintahan muslim pertama di Eropa Timur. Sementara itu, menurut para ahli sejarah, Islam sendiri masuk ke Bulgar pada tahun 737 masehi atau 185 tahun sebelum dijadikan agama resmi pemintahan.
Bulgar terletak 195 kilometer ke arah selatan dari kota Kazan, Republik Tatarstan. Setiap tahunnya banyak orang yang tidak hanya umat muslim mengunjungi kota tersebut untuk menelusuri jejak Islam di Rusia. Tidak sedikit pula wisatawan asing yang datang untuk berwisata religi ke sana.
http://www.tribunnews.com
*) Penulis adalah diplomat Indonesia di Rusia -
Utsman bin Affan merupakan perintis pembukuan Alquran pertama, setelah sebelumnya Al-Qur'an hanya dihafal atau ditulis di atas lembaran kayu dan tulang unta. Pembukuan Al-Qur'an pertama ini dilakukan Utsman bin Affan ketika berada di Madinah. Pembukuan Al-Qur'an ini selesai pada tahun 651 atau 19 tahun setelah meninggalnya Rasulullah SAW.
Pembukuan ini dilakukan Utsman untuk mencegah perselisihan dan perbedaan versi dari ayat Alquran, sehingga beliau memutuskan untuk membukukannya. Di Tashkent, Al-Qur'an ini disimpan di sebuah kawasan yang dikenal dengan nama Hast-Imam sebuah lokasi yang jauh dari keramaian orang.
Letak lokasi penyimpanan Al-Qur'an ini berdekatan dengan makam ilmuwan dari abad ke-10, Kaffel Sashi. Penyimpanan Alquran ini berada di kawasan bangunan yang menjadi pusat aktivitas Mufti Uzbekistan atau pimpinan keagamaan tertinggi di negara ini.
Al-Qur'an tertulis pertama yang dibukukan ini sangatlah berharga, karenanya ia disimpan dalam sebuah lemari kaca yang menempel ke dinding. Sayangnya, karena sudah berusia ratusan tahun, Al-Qur'an ini tidak utuh lagi. Saat ini yang tersisa hanya tinggal sepertiganya saja atau sekitar 250 halaman lagi. Ayat-ayatnya ditulis dalam bahasa Hejaz dan ditulis di atas kulit rusa.
Disebutkan bahwa Khalifah Utsman membuat lima salinan dari Al-Qur'an ini dan menyebarkannya ke berbagai wilayah Islam. Selain yang ada di Tashkent, salinan lainnya juga masih tersimpan di Topkapi Palace di Istanbul, Turki.
Tidak jauh dari lokasi penyimpanan Al-Qur'an , ada juga sebuah rumah yang ternyata menaungi benda bersejarah lainnya, yaitu helai rambut Rasulullah SAW. Selain Al-Qur'an tertua, helai rambut ini juga menjadi salah satu koleksi bersejarah yang dimiliki Asia Tengah dalam keterkaitan mereka dengan sejarah Islam.
Di lokasi yang sama juga terletak perpustakaan yang menyimpan kekayaan dengan koleksi bersejarahnya. ''Diperkirakan di perpustakaan itu ada sekitar 20 ribu buku dan tiga ribu naskah,''ujar Ikram Akhmedov, asisten sang mufti.
Buku-buku itu rata-rata adalah buku tentang sejarah abad pertengahan, astronomi, dan kedokteran. Namun ada juga Al-Qur'an dan buku-buku tentang ilmu hukum. ''Namun benda tertua di perpustakaan ini adalah Alquran yang berasal dari abad ketujuh atau dari masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan,''jelasnya.
Keberadaan Al-Qur'an tertua di dunia ini mengingatkan kita betapa kawasan Asia Tengah memberikan peranan sangat penting dalam sejarah perkembangan agama Islam. Ini juga merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa harta karun umat Islam berada di negara yang dulunya merupakan pecahan negara komunis terbesar di dunia, Uni Soviet.
Sejarah sampainya Al-Qur'an dari dinasti pemerintahan Utsman bin Affan ke Tashkent ini sangatlah luar biasa. Setelah kematian Utsman bin Affan, sebagian orang menyatakan bahwa Al-Qur'an ini dibawa oleh Ali bin Abi Thalib ke Kuffah atau yang sekarang dikenal sebagai Irak.
Tujuh ratus tahun kemudian, ketika Tamerlane (penakluk kawasan Asia Tengah) datang ke daerah ini, ia menemukan Al-Qur'an ini dan membawanya ke ibukotanya di Samarkand, Al-Qur'an ini berada di Samarkand lebih dari empat abad, hingga orang Rusia menaklukan kota ini pada tahun 1868.
Saat itu, Gubernur Rusia mengirimkan Alquran ini ke St Petersburg dimana Al-Qur'an ini kemudian disimpan di perpustakaan kerajaan. Namun setelah pecahnya revolusi Bolshevik, Lenin yang sangat bernafsu menguasai daerah umat Islam mengirimkan Al-Qur'an ini ke Ufa atau yang kemudian dikenal sebagai Bashkortostan.
Namun akhirnya, setelah berulang kali diminta oleh Muslim Tashkent, Al-Qur'an ini akhirnya kembali lagi ke Asia Tengah pada tahun 1924. Sejak saat itu, Al-Qur'an ini ditempatkan di Tashkent dan berlangsung hingga saat ini. Sejak awal keberadaannya, Al-Qur'an ini telah menarik banyak orang termasuk petinggi umat Islam untuk mengunjunginya. Sehingga dirasakan sangat aneh karena Alquran ini masih ditempatkan di lokasi tersebut.
Barangkali ini merupakan ketakutan pemerintahan Uzbekistan yang banyak diwarisi oleh nilai-nilai dari era komunis Soviet. Hingga kini mereka masih tidak mempercayai Islam karenanya mereka juga masih memandang Islam dengan penuh kecurigaan.
Mufti yang juga mengelola serta menjaga keberadaan benda ini menyatakan bahwa Al-Qur'an ini tidak dipertontonkan dan dijaga agar tidak terlalu menarik banyak perhatian. Ini dilakukan untuk menjaganya dari hal-hal negatif yang mungkin terjadi. http://serba-serbi.hanifanews.com
Mushaf cetakan Singapura ini pada awalnya merupakan milik Paku Buwono IX, kemudian diwakafkan kepada Masjid Agung Surakarta. Mushaf ini adalah cetakan mesin yang dikerjakan di Singapura pada tahun 1285 H (1868-9 M), berdasarkan kolofon yang terdapat di akhir Al-Qur’an. Khat yang digunakan adalah Naskhi yang cukup indah, ditulis oleh H. Muhammad Shaleh bin Surdin. Rasm yang digunakan adalah rasmimla’i.
Mushaf ini dijilid dengan kulit, lengkap 30 juz, namun lembar-lembar awal dan akhir mushaf telah rusak dan sobek serta terlepas dari jilidnya. Ukuran mushaf ini 33 x 20,8 cm, tebal 7 cm. Adapun bidang tulisan 24,4 x 13,3 cm. Kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan cap kertas Concordia.
Iluminasi yang cukup indah terdapat pada awal, tengah, dan akhir mushaf, dengan motif daun-daunan dan bunga berwarna hijau, kuning emas, dan merah. Masing-masing terletak pada halaman Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah ayat 1-4, halaman awal Surah al-Isra’ ayat 1-17, dan halaman surah al-Falaq dan surah an-Nas.
Mushaf ini menggunakan bacaan riwayat Imam Hafs dari Imam 'Asim. Setiap halaman terdiri dari 15 baris (ayat pojok), dan setiap juz berisi 10 lembar atau 20 halaman. Halaman awal juz berada pada sebelah kanan (berbeda dengan mushaf-mushaf sekarang yang umumnya berada pada sebelah kiri), disertai tulisan al-Juz’ dan nomor juz yang dibingkai dengan iluminasi berbentuk lingkaran bermotif. Namun penulisan nomor juz semuanya terpaut satu angka, artinya pada awal juz dua yang tertulis juz satu, juz tiga tertulis juz dua, dan seterusnya. Kemudian, pada setiap setengah juz diberi tanda dengan tulisan nisf yang diletakkan dalam tanda bulatan bermotif di pinggir halaman. Pada halaman terakhir terdapat doa khatam dan di bawahnya, setelah garis pembatas, terdapat keterangan tahun diselesaikannya penulisan naskah dan nama penulisnya.
Penandaan ayat hanya menggunakan bulatan warna kuning tanpa disertai nomor ayat. Tanda waqaf yang terdapat dalam mushaf ini: ‘ط’, ‘ج’, ‘لا’, ‘ز’, ‘قف’, ‘ق’, ‘ھ’. Namun masih banyak ditemukan tanda waqaf yang berjejer tiga dalam satu tempat, seperti tanda waqaf: ' 'ج سم لا', 'قف سم لا. Adapun tanda batas baca yang ditemukan hanya tanda ruku’ (ع) yang ditulis dengan huruf kecil (seperti tanda waqaf) di atas bulatan tanda ayat yang dimaksud.
Ciri khas lain mushaf ini ialah, pertama, pada setiap pojok kiri bawah halaman terdapat kata alihan (catchword). Kedua, di pojok kanan atas ditulis penggalan ayat awal juz dan di pojok kiri nama surah (meskipun tidak semua lembar). Ketiga, tanda Mad Wajib dan Mad Jaiz berbeda (seperti yang digunakan pada mushaf standar Indonesia saat ini). http://lajnah.kemenag.go.id