Pertanyaan :
Assalamualaikum
ustadz, saya ingin bertanya mengenai susunan ayat2 dalam al Quran. setahu saya al Quran diturunkan secara acak, kadang sesuai kondisi, keadaan dll
kemudian saya mendengar bahwa susunan al Quran yang sekarang (utsmani) didasarkan pada hadits yang mengatakan bahwa "..ayat ini disimpan setelah ayat itu..dalam surat anu..urutan ke anu.." (atau hadits sejenisnya)
tapi masalahnya, saya belum pernah menemukan satupun hadits yang seperti itu. ditambah lagi setelah saya buka website (saya memohon dengan sangat ustadz untuk membukanya) http://answering-islam.org.uk/Bahasa/Quran/kenapa_urutan_AQ_kacaubalau.html
saya menjadi gelisah mengenai hal ini..
karena hal ini sangat mendasar sekali dalam keyakinan dalam berislam
bisakah ustadz memeberi alasan yang logis mengenai hal ini dan akan lebih baik kalau ada contoh riwayat yang menyebutkan tentang susunan2 ayat tersebut.
terimakasih sebelumnya
ustadz, saya ingin bertanya mengenai susunan ayat2 dalam al Quran. setahu saya al Quran diturunkan secara acak, kadang sesuai kondisi, keadaan dll
kemudian saya mendengar bahwa susunan al Quran yang sekarang (utsmani) didasarkan pada hadits yang mengatakan bahwa "..ayat ini disimpan setelah ayat itu..dalam surat anu..urutan ke anu.." (atau hadits sejenisnya)
tapi masalahnya, saya belum pernah menemukan satupun hadits yang seperti itu. ditambah lagi setelah saya buka website (saya memohon dengan sangat ustadz untuk membukanya) http://answering-islam.org.uk/Bahasa/Quran/kenapa_urutan_AQ_kacaubalau.html
saya menjadi gelisah mengenai hal ini..
karena hal ini sangat mendasar sekali dalam keyakinan dalam berislam
bisakah ustadz memeberi alasan yang logis mengenai hal ini dan akan lebih baik kalau ada contoh riwayat yang menyebutkan tentang susunan2 ayat tersebut.
terimakasih sebelumnya
Jawaban :
Assalamu alaikum
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Asyrafil Anbiya wal Mursalin. Wa ba’du:
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Asyrafil Anbiya wal Mursalin. Wa ba’du:
Perlu diketahui bahwa al-Quran sebelum diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, ia telah ada di lauhil Mahfudz berupa satu kitab utuh, dimana
Allah menjelaskan bahwa al-Quran yang ada dilauhil mahfudz itu tidak bisa
disentuh kecuali oleh hamba-hamba Allah yang dimuliakan (para Malaikat). Dalam
surat al-Waqi’ah: 77-79 : dan (ini) sesungguhnya al-Quran yang sangat mulia, dalam kitab
yang terpelihara (lauh mahfudz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba
yang disucikan). Artinya al-Quran telah ada dilauhid mahfudz berupa
satu kitab yang utuh, lengkap dengan susunan surat dan ayatnya.
Dari lauh mahfudz, al-Quran diturunkan ke langit dunia (baitul izzah) berupa satu kitab utuh, pada bulan Ramadhan di malam yang penuh berkah atau malam lailatul Qadar, sebagaimana dalam firman Allah:
-Bulan Ramadhan adalah bulan dimana di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil) (QS.2:185)
-Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran pada malam lailatul qadar (QS.al-Qadr:1)
- Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran pada malam yang penuh berkah (QS. Ad-Dukhan:3)
Kemudian dari langit dunia, diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur, selama kurang lebih 23 th, sesuai dengan kondisi, keadaan yang menyertainya, atau yang biasa disebut sebagai asbab nuzul (sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat). Bisa dikatakan, turunnya ayat atau surat al-Quran kepada Nabi Muhammad dengan adanya asbab nuzul, itu adalah teknis yang digunakan oleh Allah Swt untuk bisa lebih dipahami oleh manusia. Jika seandainya tidak ada asbab nuzul yang menyertainya, sungguh al-Quran sudah ada dalam bentuk satu kitab yang utuh, lengkap dengan urutan surat dan ayatnya. Akan tetapi, Karena turunnya ayat berdasarkan sebab yang menyertainya, maka turunnya ayat tidak berurutan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana ayat-ayat tersebut bisa tersusun seperti yang ada dalam mushaf sekarang ini?
Para ulama’ Islam, dari kalangan sahabat yang merupakan generasi pertama atau yang menyaksikan turunnya wahyu, dan para tabi’in serta ulama’ Islam berikutnya, sepakat bahwa peletakan urutan ayat adalah bersifat tauqify (hak mutlak Allah Ta'ala), tidak ada campur tangan manusia disana. Rasulullah memerintahkan kepada sekretarisnya untuk meletakkan ayat tertentu pada surat tertentu, atau setelah ayat tertentu, sesuai dengan arahan dari malaikat Jibril (sang penyampai wahyu). Hal itu berdasarkan sebuah hadits dari Usman bin Abi al-Ash berkata: suatu ketika aku duduk disisi Rasulullah , tiba-tiba beliau mengarahkan pandangannya, setelah itu kemudian beliu berkata: Jibril telah datang kepadaku, dan memerintahkanku untuk meletakkan ayat ini dalam surat ini (Innallaha ya’muru bil’adli wal ihsaani wa iitaaidzil qurbaa (QS. An-Nahl:90)) sampai ayat selanjutnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang hasan.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab shahihnya ”al-mustadrak”: bahwa Rasulullah Saw menyuruh kepada penulis wahyu untuk meletakkan ayat tertentu pada surat tertentu, atau ayat tertentu setelah ayat tertentu yang membicarakan tentang masalah tertentu.
Dan apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, adalah sebagai bentuk Ijtihad beliau yang bukan berdasarkan hawa nafsu atau faktor politik seperti yang di lontarkan oleh para orentalis dalam menyebarkan syubhat terhadap validitas al-Quran, melainkan berdasarkan apa yang datang dari Rasulullah . Dimana beliau mengumpulkan sahabat-sahabat senior, para penghafal al-Quran, sehingga secara mutawatir tidak mungkin terjadi kesalahan, dan usaha Usman tersebut di dukung oleh semua sahabat yang ada kala itu, sehingga menjadi sebuah Ijma’ (konsensus). Tidak ada satu sahabatpun yang menentang. Tidak ada perubahan dalam susunan ayat, sampai ayat yang mansukh secara hukumpun tetap di tuliskan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibnu Zubair berkata kepada Usman: ayat ”walladziina yutawaffauna minkum wa yadzaruuna azwaajan” (QS.2:224) telah dihapus dengan ayat lain, kenapa engkau masih menuliskannya? Maka Usman menjawab: wahai anak saudaraku, aku tidak akan merubah apapun dari tempatnya -sebagaimana aslinya-. Hal ini menunjukkan bahwa susunan ayat adalah tauqify, bukan rekayasa manusia.
Adapun mengenai kesan bahwa ayat al-Quran tidak sistematis, karena susunan ayatnya acak-acakkan, dimana seolah-olah antara satu ayat dengan ayat lainnya tidak ada korelasi yang dengan alasan itu, kemudian membuat tuduhan bahwa Usman telah melakukan kesalahan dalam petelakan ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Hal itu terbantah dengan riwayat yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Usman dalam pengumpulan al-Quran sesuai dengan apa yang diterima oleh Rasulullah Saw, hal itu disaksikan oleh para sahabat senior, para penghafal al-Quran, lembaran-lembaran yang ada pada sahabat, sehingga secara mutawatir tidak mungkin terjadi kesalahan.
Kesan bahwa ayat alquran acak-acakan, itu hanyalah kesan dan penilaian manusia belaka karena dalam melihat al-Quran menggunakan standar yang dipakai oleh umumnya manusia saat ini dalam menulis karya tulis, karya ilmiah dan yang serupa dengan itu. Sedangkan al-Quran bukanlah karya ilmiyah, ia bukan desertasi doktoral, ia bukan novel, akan tetapi ia adalah wahyu dan kalamullah, sehigga karakternya berbeda dengan karya-karya manusia. al-Quran memang diturunkan untuk manusia, sehingga ia harus sesuai dengan kondisi manusia, bisa dicerna akal manusia, karena tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kepada hambanya diluar dari kemampuannya. Kalaupun ada yang sulit diterima oleh akal dan logika manusia, bukan berarti Alquran tidak masuk akal dan tidak rasional. Akan tetapi, manusialah yang tidak mampu mencerna dan memahami maksud-maksud Alquran. Namun, bagi mereka yang mempelajari Alquran secara objektif, mendalam, dan dengan pikiran yang jernih, ia akan mampu menangkap rahasia dan hikmah di balik susunan ayat dan surat Alquran tersebut. Dalam hal ini, Anda bisa membaca misalnya kitab Nazhm al-Durar karya al-Biqâ’i. Dengan indah dan menakjubkan beliau menyingkap korelasi dan hubungan antara satu ayat dengan ayat lain serta satu surat dengan surat berikutnya.
Sementara, lontaran-lontaran bahwa ayat Alquran acak-acakan, adalah syubhat-syubhat yang di buat oleh para orientalis, liberalis, sama sekali tidak berdasar. Ia tidak lain hanya dimaksudkan untuk membuat ragu kaum muslimin terhadap validitas dan otentitas al-Quran. Sebenarnya tujuan besarnya bukan hanya menimbulkan keraguan dikalangan kaum muslimin dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dibungkus dengan rasionalitas, liberalitas dalam berfikir, akan tetapi lebih dari itu, adalah mendustakan Rasulullah dan ajarannya yang datang dari Allah Ta'ala.
Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum .
Dari lauh mahfudz, al-Quran diturunkan ke langit dunia (baitul izzah) berupa satu kitab utuh, pada bulan Ramadhan di malam yang penuh berkah atau malam lailatul Qadar, sebagaimana dalam firman Allah:
-Bulan Ramadhan adalah bulan dimana di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil) (QS.2:185)
-Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran pada malam lailatul qadar (QS.al-Qadr:1)
- Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran pada malam yang penuh berkah (QS. Ad-Dukhan:3)
Kemudian dari langit dunia, diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur, selama kurang lebih 23 th, sesuai dengan kondisi, keadaan yang menyertainya, atau yang biasa disebut sebagai asbab nuzul (sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat). Bisa dikatakan, turunnya ayat atau surat al-Quran kepada Nabi Muhammad dengan adanya asbab nuzul, itu adalah teknis yang digunakan oleh Allah Swt untuk bisa lebih dipahami oleh manusia. Jika seandainya tidak ada asbab nuzul yang menyertainya, sungguh al-Quran sudah ada dalam bentuk satu kitab yang utuh, lengkap dengan urutan surat dan ayatnya. Akan tetapi, Karena turunnya ayat berdasarkan sebab yang menyertainya, maka turunnya ayat tidak berurutan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana ayat-ayat tersebut bisa tersusun seperti yang ada dalam mushaf sekarang ini?
Para ulama’ Islam, dari kalangan sahabat yang merupakan generasi pertama atau yang menyaksikan turunnya wahyu, dan para tabi’in serta ulama’ Islam berikutnya, sepakat bahwa peletakan urutan ayat adalah bersifat tauqify (hak mutlak Allah Ta'ala), tidak ada campur tangan manusia disana. Rasulullah memerintahkan kepada sekretarisnya untuk meletakkan ayat tertentu pada surat tertentu, atau setelah ayat tertentu, sesuai dengan arahan dari malaikat Jibril (sang penyampai wahyu). Hal itu berdasarkan sebuah hadits dari Usman bin Abi al-Ash berkata: suatu ketika aku duduk disisi Rasulullah , tiba-tiba beliau mengarahkan pandangannya, setelah itu kemudian beliu berkata: Jibril telah datang kepadaku, dan memerintahkanku untuk meletakkan ayat ini dalam surat ini (Innallaha ya’muru bil’adli wal ihsaani wa iitaaidzil qurbaa (QS. An-Nahl:90)) sampai ayat selanjutnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang hasan.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam kitab shahihnya ”al-mustadrak”: bahwa Rasulullah Saw menyuruh kepada penulis wahyu untuk meletakkan ayat tertentu pada surat tertentu, atau ayat tertentu setelah ayat tertentu yang membicarakan tentang masalah tertentu.
Dan apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, adalah sebagai bentuk Ijtihad beliau yang bukan berdasarkan hawa nafsu atau faktor politik seperti yang di lontarkan oleh para orentalis dalam menyebarkan syubhat terhadap validitas al-Quran, melainkan berdasarkan apa yang datang dari Rasulullah . Dimana beliau mengumpulkan sahabat-sahabat senior, para penghafal al-Quran, sehingga secara mutawatir tidak mungkin terjadi kesalahan, dan usaha Usman tersebut di dukung oleh semua sahabat yang ada kala itu, sehingga menjadi sebuah Ijma’ (konsensus). Tidak ada satu sahabatpun yang menentang. Tidak ada perubahan dalam susunan ayat, sampai ayat yang mansukh secara hukumpun tetap di tuliskan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibnu Zubair berkata kepada Usman: ayat ”walladziina yutawaffauna minkum wa yadzaruuna azwaajan” (QS.2:224) telah dihapus dengan ayat lain, kenapa engkau masih menuliskannya? Maka Usman menjawab: wahai anak saudaraku, aku tidak akan merubah apapun dari tempatnya -sebagaimana aslinya-. Hal ini menunjukkan bahwa susunan ayat adalah tauqify, bukan rekayasa manusia.
Adapun mengenai kesan bahwa ayat al-Quran tidak sistematis, karena susunan ayatnya acak-acakkan, dimana seolah-olah antara satu ayat dengan ayat lainnya tidak ada korelasi yang dengan alasan itu, kemudian membuat tuduhan bahwa Usman telah melakukan kesalahan dalam petelakan ayat, adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Hal itu terbantah dengan riwayat yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Usman dalam pengumpulan al-Quran sesuai dengan apa yang diterima oleh Rasulullah Saw, hal itu disaksikan oleh para sahabat senior, para penghafal al-Quran, lembaran-lembaran yang ada pada sahabat, sehingga secara mutawatir tidak mungkin terjadi kesalahan.
Kesan bahwa ayat alquran acak-acakan, itu hanyalah kesan dan penilaian manusia belaka karena dalam melihat al-Quran menggunakan standar yang dipakai oleh umumnya manusia saat ini dalam menulis karya tulis, karya ilmiah dan yang serupa dengan itu. Sedangkan al-Quran bukanlah karya ilmiyah, ia bukan desertasi doktoral, ia bukan novel, akan tetapi ia adalah wahyu dan kalamullah, sehigga karakternya berbeda dengan karya-karya manusia. al-Quran memang diturunkan untuk manusia, sehingga ia harus sesuai dengan kondisi manusia, bisa dicerna akal manusia, karena tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kepada hambanya diluar dari kemampuannya. Kalaupun ada yang sulit diterima oleh akal dan logika manusia, bukan berarti Alquran tidak masuk akal dan tidak rasional. Akan tetapi, manusialah yang tidak mampu mencerna dan memahami maksud-maksud Alquran. Namun, bagi mereka yang mempelajari Alquran secara objektif, mendalam, dan dengan pikiran yang jernih, ia akan mampu menangkap rahasia dan hikmah di balik susunan ayat dan surat Alquran tersebut. Dalam hal ini, Anda bisa membaca misalnya kitab Nazhm al-Durar karya al-Biqâ’i. Dengan indah dan menakjubkan beliau menyingkap korelasi dan hubungan antara satu ayat dengan ayat lain serta satu surat dengan surat berikutnya.
Sementara, lontaran-lontaran bahwa ayat Alquran acak-acakan, adalah syubhat-syubhat yang di buat oleh para orientalis, liberalis, sama sekali tidak berdasar. Ia tidak lain hanya dimaksudkan untuk membuat ragu kaum muslimin terhadap validitas dan otentitas al-Quran. Sebenarnya tujuan besarnya bukan hanya menimbulkan keraguan dikalangan kaum muslimin dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dibungkus dengan rasionalitas, liberalitas dalam berfikir, akan tetapi lebih dari itu, adalah mendustakan Rasulullah dan ajarannya yang datang dari Allah Ta'ala.
Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum .
1 komentar
Assalamualaikum warahmatullah wabaraktuh.
BalasHapusterimakasih atas jawabannya. Alhamdulillah sangat melegakan.
setelah membaca tulisan di atas, malah timbul lagi pertanyaan di otak saya.
* Adakah Literatur susunan Al-Quran yang berdasarkan urutan kejadian sebenarnya?
* Jika literatur tersebut di buat kitab, apakah masih bernama Al-Quran atau ada sebutan yang lain?
* Jika ada, dimana kita bisa mendapatkan nya? (bentuk fisik atau link). Karena bisa jadi ada temuan-temuan keajaiban lain yang bisa di gali.
Terimakasih
@shalataddict