Ahlul Bait dalam Al-Qur’an Al-Karim


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

“Sesungguhnya Allah hanya bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
Sesungguhnya hanya, maknanya menunjukkan batasan. Yaitu menetapkan hukum yang disebutkan dan meniadakan yang lainnya. Batasan di sini adalah batasan secara idhafi, yang maknanya sesuatu yang dibatasi tersebut sesuai dengan keadaannya. Seperti halnya firman Allah:
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan melalaikan.” (Muhammad: 36)
Bukan berarti kehidupan dunia hanya itu saja, namun juga bisa menjadi wasilah dalam mengamalkan kebaikan. (lihat Syarah Arba’in, Ibnu Daqiqil ‘Ied, hal. 28, dan Tafsir Surat Al-Ahzab oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Allah bermaksud hendak, yang dimaksud di sini adalah kehendak kauniyyah,yang maknanya Allah telah menghendaki hal tersebut secara taqdir. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin t, namun dalam masalah ini terdapat khilaf.
Menghilangkan.
Kotoran atau najis, yang dimaksud dalam ayat ini adalah kotoran atau najis secara makna, berupa akhlak dan amalan buruk dan rendah. (Lihat Tafsir Surat Al-Ahzab, Ibnu Utsaimin t)
Pada Siapa Ayat ini Diturunkan?
Bagi yang memperhatikan konteks ayat-ayat yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab ini, sebelum dan sesudah ayat at-tath-hir –pensucian– ini, nampak jelas bahwa ayat ini diturunkan berkenaan tentang istri-istri Nabi . Perhatikanlah apa yang difirmankan Allah  sebelum dan sesudahnya:
“Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang shalih, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berke-inginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermak-sud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ahzab: 30-34)

Dari ayat ini, sangat meyakinkan bahwa ayat-ayat ini diturunkan khusus berkenaan tentang para istri Nabi . Bahkan pada ayat at-tath-hir itu pun juga berkenaan tentang istri Nabi .
Dalam hal ini, memang terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang termasuk ke dalam Ahlul Bait dalam ayat ini:
Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud Ahlul Bait adalah istri Nabi n secara khusus. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Atha`, Sa’id bin Jubair, dan yang lainnya.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan Hasan serta Husain g secara khusus. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang menggabungkan kedua pendapat tersebut, bahwa ayat ini mencakup mereka semua. Adapun para istri beliau tercakup dalam ayat ini karena mereka yang dimaksud dalam konteks ayat-ayat ini sebelum dan sesudahnya dan mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah-rumah Rasulullah n.
Adapun masuknya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain  ke dalam Ahlul Bait, disebabkan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah . Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya dan mengeluarkan yang lain, maka sungguh dia telah mengamalkan sebagian nash dan menelantarkan yang lain.
Pendapat terakhir inilah yang paling kuat dan dibenarkan keba-nyakan ahli tahqiq, seperti Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan yang lainnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 9/48-49)
Oleh karena itu, Ibnu Katsir  berkata dalam Tafsir-nya:
“(Ayat ini) merupakan nash yang menunjukkan bahwa para istri Nabi  termasuk  Ahlul Bait (keluarga Nabi ), karena merekalah yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Penyebab turunnya suatu ayat termasuk dalam ayat itu, (hal ini) merupakan pendapat yang disepakati. Boleh jadi ayat ini hanya berkenaan tentang mereka menurut satu pendapat atau ada yang lain yang masuk bersama mereka, berdasarkan pendapat yang shahih.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/484)
Adapun tercakupnya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain  ke dalam ayat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari ‘Aisyah , ia berkata: Nabi  keluar di pagi hari dalam keadaan beliau memakai kain bercorak dari warna hitam. Lalu datanglah Hasan bin ‘Ali lalu beliau masukkan ke dalamnya. Lalu datanglah Husain dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Datanglah Fathimah dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Kemudian ‘Ali datang lalu beliau masukkan ke dalamnya. Kemudian beliau membaca firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (HR.Muslim, kitab Fadha`il Ash-Shahabah, bab Fadha`il Hasan wal Husain, 15/195)
Kalau ada yang mengatakan: Kalau yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam ayat ini para istri Nabi , lalu mengapa Allah menyebut dengan dhamir (kata ganti) “kum” yang menunjukkan jamak  untuk mudzakkar (laki-laki) dan tidak menyebut “kunna” (bentuk jamak untuk perempuan) seperti ketika menyebut para istri Nabi n?
Maka jawabannya adalah: Karena Allah ingin memasukkan selain dari istri Rasulullah  ke dalam seluruh yang termasuk lafadz “Ahlul Bait,” yang mencakup ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain .
Ini adalah hal yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Seperti halnya firman Allah I, ketika para malaikat menjawab keheranan istri Khalilullah Ibrahim u:
“(Mereka menjawab): Apakah engkau heran dari ketetapan Allah? Rahmat Allah dan barakahnya atas kalian wahai Ahlul Bait, sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (Hud: 73)
Demikian pula ketika Allah mengkisahkan perkataan Musa  kepada istrinya:
“Musa berkata kepada keluarganya (istrinya): Tetaplah engkau.” (Thaha: 10)
Ayat ini juga menggunakan bentuk jamak mudzakkar, padahal yang dimaksud adalah istri beliau. (lihat kitab Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsna ‘Asyariah, hal. 150-151)
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari ‘Umar bin Abi Salimah z bahwa ia berkata: Ketika turun ayat tersebut kepada Nabi n di rumah Ummu Salamah, maka Nabi n memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain lalu menutupinya dengan selembar kain, dan Ali berada di belakang punggungnya, maka beliau pun memasukkannya ke dalam kain tersebut, lalu beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah keluargaku, maka hilangkanlah dari mereka kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”
Ummu Salamah  berkata: “Aku bersama mereka, wahai Nabi Allah.” Beliau menjawab:  “Engkau tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, Bab Tafsir Surat Al-ahzab,no. 3129)
Hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Ummu Salamah  tidak termasuk ke dalam ayat tersebut. Sebab ayat tersebut sangat jelas dalam konteks yang berkenaan tentang istri Nabi n. Namun ketika Nabi n hendak memasukkan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain , maka beliau membungkusnya dengan kain dan mengikutsertakan bersama istri Nabi  dalam ayat tersebut. Sehingga Nabi n tidak perlu menyertakannya dalam kain tersebut. Apalagi di dalam kain tersebut terdapat ‘Ali bin Abi Thalib  -bukan mahram Ummu Salamah, red- Maka perhatikanlah hal ini. (lihat Tuhfatul Ahwadzi tentang syarah hadits ini)
Namun kaum Syi’ah Rafidhah tidak akan pernah berhenti dalam kedustaan mereka terhadap Ahlus Sunnah. Sehingga mereka menuduh bahwa Ahlus Sunnah telah mengubah ayat tersebut. Sebagaimana yang disebutkan salah seorang tokoh mereka yang bernama Al-Majlisi: “Jangan-jangan pada ayat at-tath-hir tersebut mereka (para shahabat, pen.) meletakkannya pada tempat yang mereka sangka itu sesuai, lalu mereka pun memasukkannya dalam konteks pembicaraan yang ditujukan kepada para istrinya, untuk mendapatkan sebagian kemaslahatan dunia. Padahal telah nampak dari hadits bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan mereka.” (Al-Burhan, Abdullah bin Abdil Aziz An-Nashir: 1/2)
Kema’shuman Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah  telah mengklaim bahwa ayat ini diturunkan Allah U berkenaan tentang Ashabul Kisaa` (mereka yang diselimuti Nabi n dalam hadits yang lalu), dan bukan untuk istri Nabi n. Lalu mereka membangun di atas keyakinan ini bahwa Ashabul Kisaa` adalah orang-orang yang terpelihara (ma’shum) dari dosa dan kesalahan, bahkan terpelihara dari kelalaian serta lupa. Sebab semua itu – menurut anggapan mereka– adalah rijs yang harus dihilangkan dari Ahlul Bait. Setelah itu mereka menyertakan para imam-imam sembilan yang lainnya sebagai para imam yang terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, kesalahan dan kekeliruan.
Ini adalah anggapan yang batil, ditinjau dari beberapa sisi:
1. Para Nabi  adalah orang-orang yang jauh lebih mulia dari para Imam 12 tersebut. Bahkan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri dalam kitab mereka. Seperti apa yang diriwayatkan Al-Kulaini dari Hisyam Al-Ahwal dari Zaid bin ‘Ali: “Bahwa para nabi lebih mulia dari para imam.” Diriwayatkan pula oleh Ibnu Babuyah dari Ja’far Ash-Shadiq t, menyatakan bahwa para nabi lebih dicintai Allah daripada ‘Ali.” (lihat Mukhtashar Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 100)
Namun para nabi juga sebagai manusia biasa terkadang jatuh dalam kesalahan, lupa, dan lalai, sebagaimana yang telah diterangkan Allah U dalam berbagai tempat dalam Al Qur`anul Karim. Bagaimana mungkin makhluk yang lebih rendah kedudukannya bisa terpelihara dari sesuatu yang menimpa orang yang lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya?
2. Apabila ayat ini menunjukkan kema’shuman Ahlul Bait , lalu Fathimah bintu Rasulillah  termasuk dalam kedudukan yang mana? Nabi ataukah imam? Bukankah diapun termasuk yang ma’shum? Jika beliau tidak termasuk ke dalam salah satu dari keduanya, lalu mengapa beliau dijadikan sebagai wanita yang ma’shum, setingkat para nabi dan para imam menurut anggapan mereka?
3. Apabila ayat ini hanya diturunkan kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain , maka ayat ini bukanlah dalil yang menunjukkan kema’shuman para imam yang lainnya. Sebab ayat ini hanya ditujukan kepada Ashabul Kisaa` secara khusus. Namun apabila diambil keumuman kata “Ahlul Bait” untuk menetapkan kema’shuman para imam tersebut, maka ayat ini mencakup secara keseluruhan dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain , maka kema’shuman tersebut tidak hanya terkhusus untuk para imam saja, namun keturunan Ahlul Bait yang lainnya pula.
4. Bahwa Allah tidaklah memerintahkan untuk merujuk dalam perkara-perkara yang diperselisihkan kecuali kepada Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah . Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kalaulah di sana ada yang ma’shum selain Rasulullah  dalam menyampaikan perkara agama, tentunya akan dijelaskan oleh Allah .
5. Riwayat-riwayat yang dinukil dalam kitab-kitab Syi’ah sendiri dari para imam mereka menetapkan bahwa para imam tersebut juga terjatuh dalam kesalahan, kelalaian, kelupaan, dan yang semisalnya. Seperti apa yang mereka nukilkan sendiri dari ‘Ali bin Abi Thalib  bahwa beliau berkata dalam salah satu khutbahnya:
“Maka janganlah kalian menahan diri dari berkata yang benar, atau bermusyawarah dengan cara adil, maka sesungguhnya aku tidak merasa pada diriku lebih daripada aku melakukan kesalahan,dan aku tidak merasa aman itu terjadi dari perbuatanku.” (Nahjul Balaghah, hal. 335)
Demikian pula –sebagaimana yang mereka riwayatkan– yang diucapkan oleh Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq t:
“Sesungguhnya kami berdosa,kemudian kami bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)
Dan banyak lagi hal-hal yang seperti ini yang dinukil dalam kitab mereka sendiri.
Para ulama menyebutkan bahwa keyakinan tentang kema’shuman para imam tersebut mulai muncul pada zaman Ja’far Ash-Shadiq, yang berasal dari para pendusta dan ahlul bid’ah seperti Hisyam bin Al-Hakam, dan Muhammad bin ‘Ali Al-Ahwal. Disebutkan oleh Muhibbuddin Al-Khathib  ketika menjelaskan awal munculnya aqidah tentang kema’shuman Ahlul Bait: “Orang yang paling awal memunculkan akidah sesat ini adalah seorang yang jahat, yang kaum muslimin menggelarinya setan atthaaq –syetan yang kuat– kaum Syi’ah menamainya ‘Orang yang beriman kepada keluarga Muhammad,’ dia bernama Muhammad bin ‘Ali Al-Ahwal.” (Ushul Madzhab Asy-Syi’ah, hal. 777)
Wallahul hadi ila sawaa`ish shirath (Allah-lah sang Pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus). - 
http://asysyariah.com

You Might Also Like

0 komentar