Utamakan Al Qur’an dan Hadits daripada Hikayat dalam Berdakwah


Ada sebagian orang yang menggunakan hikayat yang tidak jelas dalam berdakwah, sementara ayat Al Qur’an dan Hadits justru ditinggalkan. Sedikit sekali ayat Al Qur’an dan Hadits yang disampaikan padahal Al Qur’an itu haq dan tidak ada keraguan di dalamnya sementara hadits yang sahib juga dapat dipercaya karena berasal dari Nabi yang amanah. Akibatnya bukan kebenaran yang disampaikan justru penyimpangan.
Sebagai contoh ada yang mengutip hikayat Sufi/Tasawuf tentang keutamaan mengikuti sunnah Nabi dalam berwudlu. Seorang sufi lupa membasuh sela-sela jarinya. Padahal ini sunnah. Kemudian tiba-tiba ada suara (entah suara Allah, Malaikat, atau Jin) menegur, ”Hai fulan mengapa engkau tidak mengerjakan sunnah wudlu padahal itu adalah sunnah rasul?” Sejak itu si fulan ini jika jalan selalu menunduk seperti orang tidur karena selalu berada dalam kebingunan karena meninggalkan sunnah wudlu hingga akhir hidupnya.
Kelihatannya itu benar menambah keinginan kita untuk berwudlu sesuai sunnah. Tapi ada kemunkaran di dalamnya yaitu si fulan itu jadi menunduk seperti orang tidur kalau jalan dan selalu bingung. Akibat menyesal tidak mengerjakan satu sunnah dia meninggalkan sunnah Nabi lainnya seperti senyum yang merupakan ibadah dan sedekah serta mengucapkan salam seumur hidupnya. Ini adalah contoh sesal yang berlebihan / ghuluw.
Padahal Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jangankan sunnah Wudlu, rukun sholat yang wajib saja jika kita kelupaan roka’at sholat misalnya, kita hanya diwajibkan untuk sujud sahwi. Setelah itu selesai sudah. Tidak perlu harus sedih dan bingung seumur hidup.
Ketika puasa kemudian lupa sehingga makan dan minum (padahal ini haram) namun karena lupa Allah memaafkannya dan meminta ummatnya untuk melanjutkan puasa. Bahkan disebut justru Allah yang memberinya makan dan minum (berkah)
“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al Bukhari 1831 dan Muslim 1155)
Ada lagi yang bercerita bahwa seorang ada Sufi yang rajin sekali menulis kitab. Ketika seorang temannya berkunjung, ternyata dia melihat kalam-kalam (pena) bergerak sendiri menulis di atas buku. Oh pantesan dia banyak sekali menulis buku, ternyata kalamnya bergerak sendiri, begitu kata temannya.
Nah hikayat seperti itu meski ceritanya “Karomah” sufi, tapi tidak masuk di akal. Nabi Muhammad SAW yang derajadnya jauh lebih tinggi saja masih memakai sekretaris seperti Zaid Bin Tsabit untuk menulis suratnya. Kok bisa-bisanya Sufi tersebut punya “Karomah” lebih hebat dari Nabi?
Ada lagi orang yang memakai Sufi untuk tidak takut lagi kepada siksa atau neraka Allah dengan alasan mencintai Allah. Bahkan sufi ini menantang untuk dimasukkan ke dalam neraka. Padahal Allah sendiri mengajarkan kita satu doa yang paling sering dibaca Nabi untuk dihindari dari api neraka:
“…Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” [Al Baqarah 201] n
Jadi hendaknya dalam berdakwah jangan meninggalkan ayat Al Qur’an dan Hadits dan hanya menydorkan hikayat-hikayat yang tidak jelas untuk memukau pendengar. Sebaliknya sampaikanlah ayat-ayat Allah dan Hadits Nabi-Nya.
”Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” [Al Baqarah:2]
http://media-islam.or.id

You Might Also Like

0 komentar