(ditulis oleh: Al-Ustadz Ahmad Hamdani)
Namanya menunjukkan kualitas kitabnya. Arti judul kitab ini adalah ‘Keterangan Lengkap Tentang Tafsir Al Qur’an’ atau yang di kalangan ulama dan pencari ilmu, populer dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari. Demikianlah kira-kira komentar yang nampaknya laik, yang tentunya komentar ulama lebih afdhal, diberikan kepada sebuah tafsir legendaris karya seorang bapak tafsir dan tarikh Islam, Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabari yang hidup pada tahun 224-310 H.
Sebagaimana judulnya, tafsir ini dinilai sebagai sebuah tafsir yang paling lengkap dan populer di kalangan ulama dan pencari ilmu. Tak heran bila kitab ini dijadikan rujukan para ahli tafsir yang mengedepankan nash maupun ahli tafsir yang lebih mengedepankan logika dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an di jamannya.
Tafsir Ath-Thabari memuat istinbath (pengambilan) hukum, menyampaikan perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama, dan memilih pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat itu dengan sisi pandang yang didasarkan kepada pandangan logika dan pembahasan nash ilmiah yang teliti.
Tafsir yang pada awalnya hampir tak terdeteksi rimbanya ini terdiri dari 30 juz besar, yang secara keseluruhan setelah adanya peringkasan dari penulisnya membutuhkan 3.000 lembar kertas. Kemudian dengan takdir Allah, manuskrip dari tafsir ini ditemukan kembali dalam keadaan utuh di masa raja Hamud bin Al-Amir Abdur Rasyid, salah satu raja Najd, yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia barat dan timur hingga kini.
Kalau melihat komentar dan pujian ulama terhadap tafsir ini, kita akan mendapatinya sebagai tafsir yang telah disepakati mereka sebagai tafsir yang sangat tinggi kualitasnya dan sebuah tafsir yang harus dijadikan rujukan bagi para pencari tafsir Al Qur’an. Misalnya Al-Imam As-Suyuthi t berkomentar, “Ia adalah tafsir yang paling baik dan besar, memuat pendapat-pendapat ulama, dan sekaligus menguatkan dari pendapat-pendapat itu, dan (memuat –red) uraian nahwu serta istinbath hukum. Maka dengan kelebihannya, ia menempati kualitas teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya.” (Al-Itqan, 2/190)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Umat Islam sepakat bahwa tidak ada seorang pun yang menulis tafsir sekaliber Tafsir At-Thabari” (Al-Itqan, 2/190). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Adapun tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari. Hal ini karena ia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak mengandung kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya…” (Fatawa Ibnu Taimiyyah, 2/192) dan banyak pujian ulama lainnya.
Jadi, Tafsir Ath-Thabari bisa dikatakan sebagai tafsir pertama dilihat dari waktu penulisan dan penyusunan keilmuannya. Karena kitab tersebut merupakan tafsir pertama yang sampai kepada kita di saat tafsir-tafsir yang mendahuluinya telah lenyap ditelan perputaran jaman sehingga tidak sampai ke tangan kita. Adapun dilihat dari sisi penyusunan keilmuannya, maka ia adalah tafsir yang memiliki ciri khas yang ditemukan oleh penulisnya yang kemudian ia tempuh sebagai metode tersendiri hingga ia persembahkan kepada umat manusia sebagai sebuah karya yang agung.
Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibnu Jarir (kunyah Ath-Thabari) mengingkari tafsiran dengan logika semata. Pada umumnya, ia membawakan riwayat-riwayat dengan sanadnya sampai shahabat atau tabi’in, memperhatikan ijma’ ulama, mengindahkan perbedaan pendapat bacaan ayat-ayat, kisah-kisah Israiliyyat (jika beliau kritik sanadnya maka perlu diteliti kisahnya), tidak membahas masalah yang tidak memberi faidah keilmuan, merujuk kepada bahasa Arab asli dalam menafsirkan kata dalam satu ayat yang kurang jelas, serta bersandar pada syair-syair bahasa Arab untuk mendukung tafsirnya.
Wallahu a’lam.- http://asysyariah.com
Tafsir Ath-Thabari memuat istinbath (pengambilan) hukum, menyampaikan perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama, dan memilih pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat itu dengan sisi pandang yang didasarkan kepada pandangan logika dan pembahasan nash ilmiah yang teliti.
Tafsir yang pada awalnya hampir tak terdeteksi rimbanya ini terdiri dari 30 juz besar, yang secara keseluruhan setelah adanya peringkasan dari penulisnya membutuhkan 3.000 lembar kertas. Kemudian dengan takdir Allah, manuskrip dari tafsir ini ditemukan kembali dalam keadaan utuh di masa raja Hamud bin Al-Amir Abdur Rasyid, salah satu raja Najd, yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia barat dan timur hingga kini.
Kalau melihat komentar dan pujian ulama terhadap tafsir ini, kita akan mendapatinya sebagai tafsir yang telah disepakati mereka sebagai tafsir yang sangat tinggi kualitasnya dan sebuah tafsir yang harus dijadikan rujukan bagi para pencari tafsir Al Qur’an. Misalnya Al-Imam As-Suyuthi t berkomentar, “Ia adalah tafsir yang paling baik dan besar, memuat pendapat-pendapat ulama, dan sekaligus menguatkan dari pendapat-pendapat itu, dan (memuat –red) uraian nahwu serta istinbath hukum. Maka dengan kelebihannya, ia menempati kualitas teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya.” (Al-Itqan, 2/190)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Umat Islam sepakat bahwa tidak ada seorang pun yang menulis tafsir sekaliber Tafsir At-Thabari” (Al-Itqan, 2/190). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Adapun tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari. Hal ini karena ia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak mengandung kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya…” (Fatawa Ibnu Taimiyyah, 2/192) dan banyak pujian ulama lainnya.
Jadi, Tafsir Ath-Thabari bisa dikatakan sebagai tafsir pertama dilihat dari waktu penulisan dan penyusunan keilmuannya. Karena kitab tersebut merupakan tafsir pertama yang sampai kepada kita di saat tafsir-tafsir yang mendahuluinya telah lenyap ditelan perputaran jaman sehingga tidak sampai ke tangan kita. Adapun dilihat dari sisi penyusunan keilmuannya, maka ia adalah tafsir yang memiliki ciri khas yang ditemukan oleh penulisnya yang kemudian ia tempuh sebagai metode tersendiri hingga ia persembahkan kepada umat manusia sebagai sebuah karya yang agung.
Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibnu Jarir (kunyah Ath-Thabari) mengingkari tafsiran dengan logika semata. Pada umumnya, ia membawakan riwayat-riwayat dengan sanadnya sampai shahabat atau tabi’in, memperhatikan ijma’ ulama, mengindahkan perbedaan pendapat bacaan ayat-ayat, kisah-kisah Israiliyyat (jika beliau kritik sanadnya maka perlu diteliti kisahnya), tidak membahas masalah yang tidak memberi faidah keilmuan, merujuk kepada bahasa Arab asli dalam menafsirkan kata dalam satu ayat yang kurang jelas, serta bersandar pada syair-syair bahasa Arab untuk mendukung tafsirnya.
Wallahu a’lam.- http://asysyariah.com
0 komentar