بسم الله الرحمن الرحيم
KEUTAMAAN MEMBACA SURAH AL-IKHLAS
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّها لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ » رواه البخاري.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya
surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya
kedudukan surah al-Ikhlas dan besarnya keutamaan orang yang membacanya, karena
surah ini mengandung nama-nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha
sempurna, sehingga orang yang membaca dan menghayatinya dengan seksama berarti
dia telah mengagungkan dan memuliakan Allah ‘Azza wa
Jalla[2]. Oleh karena itu, dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita tentang seorang shahabat radhiallahu ‘anhu yang senang membaca
surah ini karena sifat-sifat Allah ‘Azza wa
Jalla yang dikandungnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sampaikanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya”[3].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil
dari hadits ini:
- Surah ini dinamakan surah al-Ikhlas karena
mengandung tauhid (pengkhususan ibadah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala semata-semata),
sehingga orang yang membaca dan merenungkannya berarti telah mengikhlaskan
agamanya untuk Allah Tabaraka wa Ta’ala semata. Atau karena Allah ‘Azza wa
Jalla mengikhlaskan (mengkhususkan) surah ini bagi
dari-Nya (hanya berisi nama-nama dan sifat-sifat-Nya) tanpa ada penjelasan
lainnya[4].
- Surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga
al-Qur’an karena pembahasan/kandungan al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu: tauhid, hukum-hukum syariat Islam dan berita tentang makhluk, sedangkan
surah al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid[5].
- Makna sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“…sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an” adalah dalam hal ganjaran pahala, dan
bukan berarti membacanya tiga kali cukup sebagai pengganti mambaca
al-Qur’an[6].
- Hadits ini adalah salah satu dalil yang
menunjukkan bahwa al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat
yang lain dan satu surah dengan surah lainnya), jika ditinjau dari segi isi dan
kandungannya[7].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin
berkata: “Pembahasan masalah ini harus diperinci dengan penjelasan berikut: jika
ditinjau dari (segi) zat yang mengucapkan/berfirman (dengan al-Qur-an) maka
al-Qur-an tidak berbeda-beda keutamaannya, karena zat yang mengucapkannya adalah
satu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun jika ditinjau dari (segi) kandungan dan pembahasannya maka
al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain). Surat
al-Ikhlash yang berisi pujian bagi Allah ‘Azza wa
Jalla karena mengandung (penyebutan) nama-nama dan
sifat-sifat Allah (tentu) tidak sama dari segi kandungannya dengan surat
al-Masad (al-Lahab) yang berisi penjelasan (tentang) keadaan Abu
Lahab.
Demikian pula al-Qur-an berbeda-beda
keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain) dari segi pengaruhnya (terhadap
hati manusia) dan kekuatan/ketinggian uslub (gaya bahasanya). Karena kita
dapati di antara ayat-ayat al-Qur-an ada yang pendek tetapi berisi nasehat dan
berpengaruh besar bagi hati manusia, sementara kita dapati ayat lain yang jauh
lebih panjang, akan tetapi tidak berisi kandungan seperti ayat tadi”[8].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1432
H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, Lc., M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
Artikel www.manisnyaiman.com
[1] HSR al-Bukhari (no. 4726, 6267 dan 6939).
[2] Lihat kitab “Fathul Baari” (13/357).
[3] HSR al-Bukhari (no. 6940) dan Muslim (no. 813).
[4] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157).
[5] Lihat kitab “Fathul Baari” (9/61) dan ” Syarhul aqiidatil
waasithiyyah” (1/158).
[6] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah”
(1/157-158).
[7] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ul
fataawa” (17/211-212) dan imam Ibnul Qayyim dalam “Syifa-ul ‘aliil” (hal.
272).
[8] Kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/164-165).
0 komentar