(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)
Pertanyaan:
(Pertanyaan tertuju kepada Syaikh Muhammad bin Musa) “Dalam kitab anda, yaitu kitab Al-Bahts wal Istiqra’ fi Bida’il Qurra’, disebutkan bahwa termasuk perbuatan bid’ah adalah meniru suara (bacaan Al-Qur’an) seorang qari’. Kami mohon penjelasan dalam masalah ini, karena terkadang kami terpengaruh dengan bacaan guru-guru kami” .
Jawaban:
Meniru itu ada dua macam. Meniru yang dipaksa-paksakan, yaitu seorang pelajar meniru gurunya atau orang lain yang dikagumi. Contohnya, sekarang Anda dapatkan ada orang-orang yang meniru bacaan al Khushari. Seandainya mereka menirunya dengan sebaik-baiknya (maka itu baik, Red). Ada orang yang meniru Muhammad Rifa’at, ada orang yang meniru al Minsyawi, ada orang yang meniru al Fasi.
Dan meniru yang terkadang tidak dipaksakan, seperti seseorang yang selalu mendengar suara (bacaan) gurunya, atau seseorang shalat di belakang seseorang imam yang dikagumi suaranya. Ketika membaca al Qur‘an, dia mulai meniru bentuk suaranya atau menirunya dengan tanpa ada unsur kesengajaan.
Orang yang memaksakan diri dan sengaja untuk meniru, sehingga meniru suara syaikh yang dikaguminya menjadi tujuannya dan dia tidak perduli dengan hukum bacaan dan dengan ukuran (panjang bacaan) serta terus berusaha dan berlebihan untuk menyerupai (suara) syaikh, ini termasuk tercela.
Sedangkan orang yang senantiasa mendengar dari gurunya dan guru ini mengajarinya, dia membaca di hadapan gurunya dan gurunya membacakan al Qur‘an kepadanya, lalu nada bacaan gurunya mempengaruhinya dalam membaca al Qur‘an, maka seperti ini dimaafkan, insya Allâh.
Dan yang saya maksudkan (dalam buku itu), yaitu engkau berusaha keras meniru bacaan seorang syaikh, sehingga mengakibatkan pelanggaran hukum-hukum bacaan. Padahal masing-masing kita diberi suara (tertentu) oleh Allâh. Jika seandainya dia membaca al Qur‘an dengan metode yang benar, mempelajarinya dengan benar, lalu membaca sesuai dengan hukum-hukum bacaan, maka dia memiliki ciri suara tersendiri. Inilah yang saya maksudkan. Wallâhu a’lam.
(Syaikh Muhammad bin Musa alu an Nashr,
dalam acara Daurah Syar’iyyah V di Malang, 14-18 Februari 2006).
dalam acara Daurah Syar’iyyah V di Malang, 14-18 Februari 2006).
2 komentar
Penjelasannya kurang jelas pak ustadz... Jadi boleh nggak meniru bacaan orang yang kita kenal dan kagumi ? Dengan tajwid dan hukum bacaan yang benar ? Dengan maksud memelihara hafalan alquran tanp maksud lain seperti riya dan ingin dipuji ?
BalasHapusPenjelasannya kurang jelas pak ustadz... Jadi boleh nggak meniru bacaan orang yang kita kenal dan kagumi ? Dengan tajwid dan hukum bacaan yang benar ? Dengan maksud memelihara hafalan alquran tanp maksud lain seperti riya dan ingin dipuji ?
BalasHapus