Membaca Al Qur’an adalah amalan
yang agung dan banyak keutamaannya. Dalam membaca Al Qur’an dikenal ilmu
tajwid. Bagaimanakah hukum ilmu tajwid ini? Apakah wajib membaca Al Qur’an
dengan menerapkan kaidah-kaidah tajwid?
Definisi
ilmu tajwid
Tajwid secara bahasa adalah
mashdar dari jawwada-yujawwidu, yang artinya membaguskan. Sedangkan
secara istilah, Imam Ibnul Jazari menjelaskan:
“tajwid adalah membaca dengan
membaguskan pelafalannya, yang terhindar dari keburukan pelafalan dan keburukan
maknanya, serta membaca dengan maksimal tingkat kebenarannya dan kebagusannya”
(An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr, 1/210).
Beliau juga menjelaskan hakekat
dari ilmu tajwid,
“maka tajwid itu merupakan
penghias bacaan, yaitu dengan memberikan hak-hak, urutan dan tingkatan yang
benar kepada setiap huruf, dan mengembalikan setiap huruf pada tempat keluarnya
dan pada asalnya, dan menyesuaikan huruf-huruf tersebut pada setiap keadaannya,
dan membenarkan lafadznya dan memperindah pelafalannya pada setiap
konteks, menyempurnakan bentuknya. tanpa berlebihan, dan tanpa
meremehkan” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr, 1/212).
Hukum
ilmu tajwid
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin pernah ditanya, “apakah seorang Muslim boleh membaca Al Qur’an tanpa
berpegangan pada kaidah-kaidah tajwid?”. Beliau menjawab:
“Ya, itu dibolehkan. Selama
tidak terjadi lahn (kesalahan bacaan) di dalamnya. Jika
terjadi lahn maka wajib untuk memperbaik lahn-nya tersebut. Adapun tajwid,
hukumnya tidak wajib. Tajwid itu untuk memperbagus pelafalan saja, dan untuk
memperbagus bacaan Al Qur’an. Tidak diragukan bahwa tajwid itu baik, dan lebih
sempurna dalam membaca Al Qur’an. Namun kalau kita katakan ‘barangsiapa yang
tidak membaca Al Qur’an dengan tajwid maka berdosa‘ ini adalah perkataan
yang tidak ada dalilnya. Bahkan dalil-dalil menunjukkan hal yang berseberangan
dengan itu.
Yaitu bahwasanya Al Qur’an
diturunkan dalam 7 huruf, hingga setiap manusia membacanya dengan gaya bahasa
mereka sendiri. Sampai suatu ketika, dikhawatirkan terjadi perselisihan dan
persengketaan di antara kaum Muslimin, maka disatukanlah kaum Muslimin dalam
satu qira’ah dengan gaya bahasa Qura’isy di zaman Amirul Mukminin Utsman bin
Affan radhiallahu’anhu. Dan ini merupakan salah satu keutamaan beliau (Utsman),
dan jasa beliau, serta bukti perhatian besar beliau dalam masa kekhalifahannya
untuk mempersatukan umat dalam satu qira’ah. Agar tidak terjadi perselisihan di
tengah umat.
Kesimpulannya, membaca Al Qur’an
dengan tajwid tidaklah wajib. Yang wajib adalah membaca harakat dan mengucapkan
huruf sesuai yang sebagaimana mestinya. Misalnya, tidak mengganti huruf ra’ (ر)
dengan lam (ل), atau huruf dzal (ذ) diganti zay (ز),
atau semisal itu yang merupakan perkara yang terlarang”. (Fatawa Nurun ‘alad
Darbi, 5/2, Asy Syamilah).
Dengan demikian, apa yang
disebutkan sebagian ulama qiraat, bahwa wajib membaca Al Qur’an dengan tajwid,
yaitu semisal wajib membaca dengan ikhfa, idgham, izhar dan lainnya, adalah hal
yang kurang tepat dan membutuhkan dalil syar’i untuk mewajibkannya. Yang tepat
adalah, ilmu tajwid wajib dalam kadar yang bisa menghindari seseorang dari
kesalahan makna dalam bacaannya. Terdapat penjelasan yang bagus dalam Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah :
“para ulama muta’akhirin merinci
antara wajib syar’i dengan wajib shina’i dalam
masalah tajwid. Wajib syar’i (kewajiban yang dituntut oleh syariat)
adalah yang jika meninggalkannya dapat menjerumuskan pada perubahan struktur
kalimat atau makna yang rusak. Dan wajib shina’i adalah
hal-hal yang diwajibkan para ulama qiraat untuk menyempurnakan kebagusan
bacaan.
Maka apa yang disebutkan pada
ulama qiraat dalam kitab-kitab ilmu tajwid mengenai wajibnya berbagai hukum
tajwid, bukanlah demikian memahaminya. Seperti idgham, ikhfa’, dan seterusnya,
ini adalah hal-hal yang tidak berdosa jika meninggalkannya menurut mereka.
Asy Syaikh Ali Al Qari setelah
beliau menjelaskan bahwa makharijul huruf berserta sifat-sifat dan hal-hal yang
terkait dengannya itu adalah hal yang berpengaruh dalam bahasa arab, beliau
berkata: ‘hendaknya setiap orang memperhatikan semua kaidah-kaidah makharijul
huruf ini. Wajib hukumnya dalam kadar yang bisa menyebabkan perubahan struktur
kalimat dan kerusakan makna. Sunnah hukumnya dalam kadar yang bisa memperbagus
pelafalan dan pengucapan ketika membacanya'” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 10/179).
Maka tidak benar sikap sebagian
orang yang menyalahkan bacaan Al Qur’an dari orang-orang yang belum pernah
mendapatkan pelajaran tajwid yang mendalam, padahal bacaan mereka masih dalam
kadar yang sudah memenuhi kadar wajib, yaitu tidak rusak makna dan susunan
katanya. Bahkan sebagian orang ada yang merasa tidak sah shalat di belakang
imam yang tidak membaca dengan tajwid. Dan ada pula sebagian pengajar tajwid
yang menganggap tidak sah bacaan Al Qur’an setiap orang yang tidak menerapkan
semua kaidah-kaidah tajwid dengan sempurna. Ini adalah sikap-sikap yang kurang
bijak yang disebabkan oleh kurangnya ilmu. Wallahul musta’an.
Makna
ayat “bacalah secara tartil”
Sebagian orang yang menganggap
wajibnya menerapkan kaidah tajwid secara mutlak, berdalil dengan ayat:
“dan bacalah Al Qur’an dengan
tartil” (QS. Al Muzammil: 4).
Tartil di sini dimaknai dengan
hukum-hukum tajwid. Kita simak penjelasan para ulama tafsir mengenai ayat ini.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
“dan firman-Nya: ‘dan bacalah
Al Qur’an dengan tartil‘, maksudnya bacalah dengan pelan karena itu bisa
membantu untuk memahaminya dan men-tadabburi-nya” (Tafsir Ibni Katsir, 8/250).
Imam Ath Thabari juga menjelaskan:
“dan firman-Nya: ‘dan bacalah
Al Qur’an dengan tartil‘, maksudnya Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan:
perjelaslah jika engkau membaca Al Qur’an dan bacalah dengan tarassul (pelan
dan hati-hati)” (Tafsir Ath Thabari, 23/680).
As Sa’di menjelaskan:
“‘dan bacalah Al Qur’an dengan
tartil‘, karena membaca dengan tartil itu adalah membaca yang disertai
tadabbur dan tafakkur, hati bisa tergerak karenanya, menghamba dengan
ayat-ayat-Nya, dan tercipta kewaspadaan dan kesiapan diri yang sempurna kepadanya”
(Taisir Karimirrahman, 892).
Demikian yang dijelaskan para
ulama ahli tafsir mengenai makna tartil. Maka kurang tepat jika ayat ini
dijadikan dalil untuk mewajibkan untuk membaca Al Qur’an dengan kaidah-kaidah
tajwid secara mutlak.
Semoga bermanfaat. Wallahu
a’lamu bis shawab.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar