Cara Mudah Meraih Titel Rabbani



“Tidak pantas bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, ‘Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,’ tetapi (ia berkata): ‘Jadilah kamu orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu mempelajarinya!” (Ali-Imran [3]: 79)

Sebab Turunnya Ayat
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma bercerita, suatu hari para pemuka agama dari kalangan Yahudi dan Nashrani (suku Najran) berkumpul memenuhi undangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Rafi al-Quradzhi, utusan dari Yahudi lalu berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau ingin kami menyembahmu layaknya kaum Nashara menyembah Isa bin Maryam? Selang sejenak seorang lelaki dari Nashrani ikut menimpali, “Benarkah wahai Muhammad, untuk tujuan itu kami dikumpulkan di sini?”

Mendengar demikian, Nabi lalu menjawab, “Maha Suci Allah, tidaklah mungkin saya mengajak kalian untuk menyembah selain Allah. Aku diutus kepada kalian bukan untuk itu dan Allah tidak pernah memerintahkan hal tersebut.” Ayat ini lalu turun dari langit menegaskan ulang pernyataan Nabi terkait dengan kisah di atas.
Sembahlah Allah, Jangan Duakan Dia

Larangan menyembah selain Allah tak hanya berlaku bagi para nabi dan utusan Allah. Tapi larangan tersebut berlaku secara umum. Jika Nabi saja sebagai utusan resmi dan orang terdekat dengan Allah dilarang, tentunya larangan itu lebih utama lagi ditujukan kepada umat manusia. Demikian perkataan Hasan al-Bashri yang dikutip oleh Imam Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, Dar at-Thayyibah, 1999).
Hal tersebut tidaklah layak dilakukan oleh seorang Muslim, sebagaimana yang terjadi pada golongan ahlu kitab. Mereka saling menyembah dan mengagungkan satu sama lain, utamanya kepada para rahib dan pendeta. Bahkan Nabi Isa Alahissalam yang awalnya hanya sebagai utusan Tuhan juga ikut menjadi “korban” dari penyimpangan kaum Nashrani. Mereka lalu tak segan menganggap Isa bin Maryam sebagai Tuhan yang layak disembah dan dimintai pertolongan.
Mencetak Umat Rabbani
Lewat ayat ini, secara tersurat Allah menegaskan adanya dua misi utama dari risalah Nabi kepada umat manusia, yakni mencegah manusia dari perbuatan syirik dan menjadikan mereka generasi rabbani.

Ibarat dua kutub magnet yang berbeda, tauhid dan syirik adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Sejak alam ini diciptakan oleh Allah hingga hari Kiamat nanti, ajaran tauhid dan syirik tak akan pernah bisa saling bertemu. Nilai-nilai syahadat seorang Muslim niscaya tergerus dengan sendirinya jika keimanannya kepada Allah perlahan mulai ternoda dengan perbuatan syirik. Sebaliknya sejarah juga mencatat, dogma kesyirikan yang pernah menguasai dunia bisa punah ketika risalah Islam datang dengan sinarnya yang benderang. Oleh karena itu, tak heran jika dalam banyak ayat, Allah Ta’ala senantiasa mengulang urgensi tauhid ini serta menerangkan bahaya yang bakal menimpa bagi seseorang yang masih berbalut dengan noda kesyirikan.
Selanjutnya, misi kedua risalah nubuwwah ini tak lain adalah menjadikan umat manusia sebagai umat rabbani. Menurut Al-Hasan al-Bashri, rabbani adalah kumpulan orang-orang bertakwa dan ahli ibadah. Sedang Ibnu Abbas berkata, rabbani adalah bentuk derivasi (turunan kata) dari “Rabb” atau “murabbi” yaitu orang yang mendidik dan memelihara manusia dalam kebaikan, mulai dari hal-hal terkecil hingga kepada perkara kebaikan yang besar.
Lebih jauh Abu Ja’far at-Thabari menambahkan, inilah rahasia mengapa iman itu tidak cukup hanya dengan keyakinan saja. Keimanan yang produktif mutlak menuntut lebih dari sekadar pengakuan semata. Sebab, dalam ayat ini Allah tidak lagi memerintahkan untuk “qulu” (ucapkanlah) tapi langsung mengatakan “kunu” (jadilah). Bagi seorang Muslim, capaian gelar rabbani tidak cukup hanya dengan klaim semata tanpa ada pembuktian dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ketika ia berupaya istiqamah menjaga ketaatan dan menebar kebaikan yang nyata di tengah masyarakat, niscaya persaksian itu terlahir dengan sendirinya dari orang-orang di sekitarnya.
Kiat Menjadi Umat Rabbani
Dalam syariat Islam, tak ada suatu perbuatan yang dilarang kecuali hal itu mudharat bagi manusia. Sebaliknya, seluruh perintah yang ada, pasti bermanfaat bagi manusia. Dalam ayat di atas, Allah menjabarkan langkah mudah meraih “level” rabbani tersebut. Ia bisa diperoleh dengan cara mengajarkan dan mendakwahkan agama ini.

Iman yang produktif—sekali lagi—tak mungkin membiarkan pemiliknya hanya santai apalagi bermalas-malasan. Dengan misi yang begitu mulia sebagai rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas, sejatinya menjadikan seseorang tak bisa tidur nyenyak gara-gara memikul amanah yang begitu berat.
Selain sebagai kewajiban, berdakwah dan beramal saleh juga menjadi konsekuensi dari adanya ilmu yang dimiliki oleh seorang Muslim. Dalam ayat ini, Allah kembali menegaskan hal itu dengan menggandeng kata mengajarkan al-Qur`an dan mempelajarinya, sebagai hujjah penegas bagi siapa saja yang ingin meraih predikat rabbani.
Dalam dimensi berislam; iman, ilmu, dan amal (dakwah) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meski masing-masing memiliki makna yang berbeda, namun layaknya sebuah bangunan utuh, masing-masing saling menguatkan tanpa bisa dipilah sendiri-sendiri. Keimanan yang kokoh hanya bisa lahir dari ilmu yang memadai. Sedangkan ilmu bisa menjadi bumerang jika tidak berasas keyakinan yang benar.
Selanjutnya, semangat berdakwah harus senantiasa bermula dari iman sebagai pondasi dasar dan ilmu sebagai bashirah (penerang) ketika menjalaninya. Sebagaimana ilmu dan iman, disebut benar jika ia teraplikasi dalam bentuk amal saleh dan ajakan kepada kebaikan itu sendiri.
Ayat ini juga menjadi celaan bagi seseorang yang hanya pandai berbicara tanpa mau mengamalkan ucapannya. Ia hanya puas dengan mengilmui ajaran Islam sedang ia sendiri menolak berislam dalam kehidupannya. Ilmu yang demikian, menurut Imam as-Syaukani, alih-alih mengantar pemiliknya menjadi sosok rabbani, tapi justru menjadi sebab awal kesengsaraan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.
Penutup
Untuk meraih titel rabbani, maka satu-satunya jalan adalah dengan mempelajari al-Qur`an dan mengajarkannya. Untuk hal ini, Nabi memberi garansi mulia kepada umatnya. “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” Adakah diantara kita yang tertarik? *Masykur, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Balikpapan. SUARA HIDYATULLAH JULI 2012

You Might Also Like

0 komentar