Beramal shalih
memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang
tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di
sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan menjadi sia-sia karena tidak
diterima Allah Subhanahuwata’ala, bahkan bisa jadi justru membuat Allah murka
karena cara beramal kita tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya telah
bimbing melalui Al Qur’an dan As-Sunnah.
Syarat
Diterimanya Amal oleh Allah Subhanahuwata’ala
Pertama,
amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah
Subhanahuwata’ala.
Allah
Subhanahuwata’ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)
Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)
Kedua dalil ini
sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah
ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata’ala. Amal tanpa
disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ala.
Kedua,
amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam.
Beliau
Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Dari dalil-dalil di
atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah
Subhanahuwata’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada,
maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Dari sini sangat
jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang
benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah
Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya
kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat (ingkar, red) kepada Allah
Subhanahuwata’ala dengan alasan ‘yang penting niatnya’.
Orang seperti
mereka akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan
harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (yaitu cara-cara
baru dalam beribadah mengada-ada, yang tidak ada contohnya dari Rasululah
Sholallohualaihiwasallam) dan bahkan perbuatan syirik tidak bisa kita salahkan,
karena beralasan kita tidak mengetahui bagaimana niatnya (karena bisa jadi
niatnya baik menurut pandangan mereka). Demikian juga dengan seseorang yang
mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang
melakukan bid’ah (cara beribadah yang sesat) dengan niat beribadah kepada Allah
Subhanahuwata’ala adalah perbuatan yang dibenarkan? Apakah orang yang meminta
petunjuk kepada kuburan-kuburan / makam wali dengan niat memuliakan wali itu
adalah perbuatan yang dibenarkan? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di
atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai
penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah
bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka
jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya,
juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan
tersebut.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)
Jadi dari ayat ini
Allah Subhanahuwata’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan bukan yang
paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai
dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam.
Wallahu a’lam.
Diringkas dan disederhanakan bahasanya
dari tulisan Ustadz Abdurrahman Lombok , untuk selengkapnya lihat tulisan
aslinya dihttp://www.asysyariah.com/print.php?id_online=2
0 komentar