Sudah menjadi
tabiatnya, manusia lebih sering menuntut daripada menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya. Bahkan jika hak mereka telah terpenuhi sekalipun, tak tergambar
rasa syukur sedikitpun pada sebagian mereka.
Manusia
dan Asal Kejadiannya
Tidak ada yang
memungkiri bahwa manusia berasal dari setetes air yang hina, jijik, dan kotor.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji dengan penciptaan dari air yang kotor ini,
apakah manusia itu akan mau ingat asal muasalnya lalu merenunginya, ataukah dia
lupa lalu tertipu dengan dirinya sendiri? (Tafsir As-Sa’di hal. 833)
Juga agar manusia
sadar dan tidak menyombongkan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Dia
telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang
nyata.” (An-Nahl: 4)
“Dan
apakah manusia tidak memerhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes air
(mani) maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (Yasin: 77)
Telah diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari t (no. 3208 dan 6594) serta Muslim t (no. 2643) dari
sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu:
“Setiap
orang dari kalian dihimpun penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari menjadi
mani, kemudian menjadi darah seperti itu juga, dan kemudian menjadi daging
seperti itu juga.”
Manusia
dan Tabiatnya
Di dalam Al-Qur`an
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan tabiat buruk manusia agar mereka
berusaha keluar dari tabiat tersebut lalu memperbaiki diri. Berusaha menjadi
orang yang selalu berada dalam bimbingan ilmu Islam. Hal ini tidak bertentangan
dengan keterangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa mereka diciptakan di atas
fitrah.
Di antara
tabiat-tabiat tersebut adalah:
a.
Berkeluh kesah, kikir, dan rakus.
“Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan
ia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Ma’arij: 19-22)
“Dan
apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan
diri; tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.”(Fushshilat: 51)
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Dan
jika anak Adam memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga
dan tidak ada yang menuntaskan keinginannya kecuali tanah.”1
b.
Selalu menzalimi dirinya lagi jahil
“Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah Subhanahu Wa
Ta’ala).”(Ibrahim: 34)
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab:
72)
“Ketahuilah,
sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup.”(Al-‘Alaq: 6-7)
c.
Banyak ingkar
“Sesungguhnya
manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (Al-‘Adiyat: 6)
d.
Tergesa-gesa
“Manusia
telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu
tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan
segera.” (Al-Anbiya`: 37)
e.
Tidak berterima kasih
“Adapun
manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila
Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku telah
menghinakanku’.” (Al-Fajr:
15-16)
Manusia
Menuntut Hak
Dengan kejelekan
tabiatnya, akan bisa dibayangkan apa yang akan diperbuat manusia saat menuntut
kemerdekaan dan semua hak tanpa memerhatikan kewajiban dan hak orang lain. Dia
mengharapkan haknya dipenuhi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, namun dia justru
bermaksiat kepada-Nya. Dia mengharapkan kecintaan dari semua pihak, tetapi dia
sendiri menzalimi orang lain, dan begitu seterusnya. Jika setiap manusia tidak
berusaha meluruskan sifat-sifat dan tabiatnya niscaya ia akan terus berada
dalam kerusakan. Sehingga jika akhirnya manusia harus merasakan akibatnya,
janganlah sekali-kali mengambinghitamkan orang lain.
“Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
“Maka
barangsiapa yang menemukan balasannya adalah kebaikan, hendaklah dia memuji
Allah. Barangsiapa yang menjumpai balasannya adalah selain itu (kejelekan) maka
janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”2
Manusia
Diciptakan untuk Menuntut Hak?
Manusia diciptakan
oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk sebuah tujuan yang agung dan besar, mulia
dan tinggi. Karena tujuan inilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para rasul,
menurunkan kitab-kitab-Nya, menciptakan langit dan bumi, surga dan neraka,
menentukan adanya hari hisab, ganjaran kebaikan dan timbangan amal. Tujuan yang
mulia ini telah disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam kitab-Nya:
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Karena tujuan
inilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mempersiapkan ganjaran yang besar atas
jerih payahnya dalam mengemban tugas di dunia ini. Beribadah merupakan
kewajiban yang besar di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sekaligus merupakan
hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang paling besar. Jika manusia menuntut
hak-haknya, maka janganlah ia menutup mata dari hak Penciptanya. Manusia wajib
mengutamakan hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari hak selain-Nya.
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal
radhuyallahu anhu:
“Hai
Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak hamba atas Allah?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau berkata: “Hak
Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun.”3
“Dan
Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra`: 23)
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa`: 36)
“Katakanlah:
‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia’.” (Al-An’am: 151)
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala Mengutus Para Nabi untuk Menyampaikan Hak Allah Subhanahu
Wa Ta’ala
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengutus para nabi dan rasul dengan satu misi, memberitahu segenap
hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan besarnya hak Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, serta jangan sekali-kali mereka menghancurkan dan menyia-nyiakannya.
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)
Jenis hak inilah
yang ditentang oleh kebanyakan orang. Oleh karena inilah, Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.
“Dan
Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku maka sembahlah
Aku olehmu sekalian’.” (Al-Anbiya`:
25)
Asy-Syaikh As-Sa’di
t mengatakan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa hujjah-Nya
telah tegak di hadapan seluruh umat. Tiada satupun dari umat terdahulu ataupun
belakangan melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus kepada mereka
seorang rasul, yang semuanya berada di atas satu dakwah dan satu agama, yaitu
beribadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tiada sekutu bagi-Nya.”
(Tafsir As-Sa’di hal. 393)
Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab t berkata dalam Kitab At-Tauhid: “Bahwa agama para nabi adalah
satu.”
Manusia
Memiliki Hak Atas Pencipta-Nya
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala telah mempersiapkan berbagai hak bagi hamba-hamba-Nya yang melaksanakan
tugas dalam memenuhi hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun hak ini –sebagaimana
yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t–: “Orang yang taat
berhak mendapatkan ganjaran adalah pemberian hak yang merupakan keutamaan dan
nikmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bukan sebuah bentuk timbal balik
sebagaimana yang berlaku pada makhluk. Sebagian orang mengatakan tidak ada
istilah pemberian hak, akan tetapi sebuah janji, dan janji-Nya adalah benar.
Adapula sebagian orang yang menetapkan hak lebih dari makna yang telah
ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah (seperti):
“Dan
Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”(Ar-Rum: 47)
Akan tetapi Ahlus
Sunnah mengatakan Dialah Allah yang telah mewajibkan atas diri-Nya untuk
memberikan rahmat dan hak. Tidak ada seorangpun dari makhluk-Nya yang
mewajibkan-Nya.” (Fathul Majid hal. 41)
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala telah berjanji dan Dia tidak akan mengingkari janji untuk memenuhi
hak-hak bagi orang yang taat kepada-Nya:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikit.” (An-Nisa`:
124)
“Adapun
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik
sebagai balasan dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari
perintah-perintah Kami.” (Al-Kahfi:
88)
“Dan
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, benar-benar akan Kami hapuskan
dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”(Al-‘Ankabut: 7)
Mu’tazilah,
Jabriyyah, Qadariyyah, dan Hak
Tidak ada
seorangpun yang telah mencium bau As-Sunnah meragukan kesesatan mereka dalam
agama dan (menganggap) mereka dari kalangan kaum muslimin. Mereka tersesat
karena sesatnya jalan mereka dalam beragama. Pada edisi-edisi yang telah lewat
telah dibahas dengan tuntas –alhamdulillah– siapakah Mu’tazilah, Qadariyyah,
dan Jabriyyah berikut paham-paham mereka.
Dalam hal hak,
Qadariyyah dan Mu’tazilah mengatakan: “Wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk
menunaikan hak bagi makhluk-Nya, karena hamba itu sendiri yang memilih ketaatan
kepada-Nya tanpa Dia menjadikan mereka taat.” Artinya, hamba-hamba ini wajib
untuk mendapatkan balasan sekalipun Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mewajibkan
atas diri-Nya.
Jabriyyah
menyatakan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mewajibkan atas diri-Nya
(memberikan) rahmat, karena Allah-lah satu-satunya yang berkuasa dan berbuat
dalam kekuasaan-Nya. Maka tidak ada hak bagi seorang hamba atas Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, namun ini disebutkan hanya dalam bahasa kiasan.”
Adapun ahlul haq
dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
menjanjikan akan membalas mereka, tanpa ada seorangpun dari makhluk-Nya yang
mewajibkan atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan Dialah yang menentukan rahmat
bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah yang mewajibkan atas diri-Nya
sendiri.” (Fathul Majid hal. 41)
Manusia
Menuntut Hak, Melanggar Hak
Hak yang ditanggung
manusia teramat banyak. Semua hak ini terhimpun dalam wujud ketaatan kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Artinya, jika manusia itu menaati segala aturan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, perintah-Nya mereka kerjakan dan
larangan-larangan-Nya mereka tinggalkan, niscaya dia telah melepaskan dirinya
dari kewajiban. Dia telah berbuat sesuatu yang besar untuk mendapatkan haknya.
1. Manusia melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Yakni dengan
melakukan berbagai bentuk kesyirikan dalam beribadah kepada-Nya, kekufuran
dengan berbagai macam coraknya, kemaksiatan dengan berbagai macam warnanya.
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan:
“Seandainya
mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” (Al-An’am:
88)
Telah diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no.18), Ibnu Majah (no. 3034) dan
disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 7339) dan Al-Irwa`
(7/89-91) dengan syahid-syahid (pendukung-pendukung)nya, serta dihasankan dalam
Shahih Al-Adabul Mufrad (no. 14), dari sahabat Abud Darda` z, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Janganlah
kamu menyekutukan Allah sedikitpun walaupun kamu dipotong dan dibakar.”
2.
Manusia Melanggar Hak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
Yakni dengan
melanggar segala bimbingannya, menentang segala perintahnya, menyelisihi
sunnah-sunnahnya, serta mengambil petunjuk selain dari petunjuk beliau.
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no.
7280) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu:
“Setiap
umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Mereka bertanya: “Siapa
yang enggan itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Barangsiapa taat kepadaku
maka dialah yang mau masuk surga dan barangsiapa yang memaksiatiku maka dialah
yang enggan.”
3.
Manusia melanggar hak agamanya
Dengan melanggar
segala aturan dan merusak kesempurnaannya. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan:
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Saudaraku…
Hak apakah yang
engkau tuntut, sementara hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, rasul dan agama-Nya
engkau runtuhkan? Tunaikanlah kewajibanmu sebelum menuntut dan membela hakmu.
Hakmu pasti terpenuhi jika engkau melaksanakan kewajiban dengan pengajaran
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Wallahu a’lam.
Sumber :
Menuntut Hak dengan Menghancurkan Hak,
Tabiat Manusia, (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
http://www.asysyariah.com/syariah/akidah/262-menuntut-hak-dengan-menghancurkan-hak-tabiat-manusia-akidah-edisi-42.html - http://kebunhidayah.wordpress.com
0 komentar