Mukadimah
Pertama
Di dalam bagian ini, akan diterangkan
mengenai:
-
Makna istilah tafsir
-
Penggunaan kata ta’wil dengan makna tafsir
-
Tujuan mempelajari tafsir
-
Kedudukan ilmu tafsir
-
Dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu tafsir
[1]
Makna Istilah Tafsir
Secara bahasa tafsir bermakna menyingkap
sesuatu yang tertutupi. Adapun menurut istilah para ulama, yang dimaksud dengan
tafsir adalah menerangkan kandungan makna al-Qur’an al-Karim (lihat Ushul fi at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 25)
[2]
Ta’wil Dengan Makna Tafsir
Dalam Al-Qur’an, kata ta’wil terkadang
bermakna tafsir. Misalnya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Beritahukanlah kepada kami tentang
ta’wilnya. Sesungguhnya kami melihat engkau (wahai Yusuf) termasuk orang yang
pandai (mena’birkan mimpi).” (QS.
Yusuf: 36)
Demikian pula halnya dalam hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat mendoakan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, “Ya Allah, pahamkanlah dia dalam urusan agama dan ajarkanlah
kepadanya ilmu ta’wil.” (HR.
Bukhari dalam Kitab
al-Wudhu’, hadits no. 143, akan tetapi tambahan ‘ajarkanlah kepadanya ilmu
ta’wil’ tidak terdapat dalamShahihain, lihat Fath al-Bari [1/207])
[3]
Tujuan Mempelajari Tafsir
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, bahwa tujuan mempelajari tafsir adalah
untuk menggapai maksud yang terpuji dan memetik faidah yang agung yaitu:
membenarkan berita-berita yang terkandung di dalamnya, memetik manfaat darinya,
dan menerapkan hukum-hukumnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Dengan
demikian, seorang hamba akan bisa beribadah kepada Allah di atas landasan
bashirah/ilmu (lihat Ushul fi at-Tafsir,
hal. 26)
[4]
Kedudukan Ilmu Tafsir
Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan ayat yang dibawakan oleh Imam Bukharirahimahullah dalam Shahihnya (yang artinya), “(Wahai Rabbku) Tambahkanlah ilmu kepadaku.” Maka beliau mengatakan, “(Ayat ini) sangat jelas
menunjukkan keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta suatu tambahan kecuali tambahan
ilmu. Dan yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu syari’at yang membuahkan
faidah bagi mukallaf/orang yang mendapat beban syari’at yaitu dia akan bisa
memahami apa yang wajib dia kerjakan dalam urusan agamanya, baik dalam hal
ibadah maupun muamalah. Termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang Allah dan
sifat-sifat-Nya. Ilmu tentang perintah (ketaatan) yang wajib ditunaikan
kepada-Nya serta mensucikan Allah dari segala cela dan kekurangan. Poros ilmu
agama itu adalah pada ilmu tafsir, hadits, dan fikih…” (lihat Fath al-Bari [1/172]
cet. Dar al-Hadits)
[5]
Dalil-Dalil Keutamaan Ilmu Tafsir
Dalil Al-Qur’an:
Pertama.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(Ini adalah) Sebuah Kitab yang
Kami turunkan kepadamu (Muhammad) yang penuh dengan berkah agar supaya mereka
merenungkan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang memiliki akal pikiran mau
mengambil pelajaran darinya.” (QS.
Shaad: 29)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan bahwa
mempelajari ilmu tafsir adalah wajib. Sebab hikmah diturunkannya al-Qur’an ini
adalah untuk direnungkan oleh umat manusia dan supaya mereka bisa memetik
pelajaran-pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Sedangkan tadabbur itu sendiri
adalah sebuah usaha mencermati lafal-lafalnya untuk bisa mencapai kandungan
makna yang tersimpan di dalamnya. Apabila tidak seperti itu niscaya hikmah
diturunkannya al-Qur’an menjadi sirna. Sehingga al-Qur’an hanya akan menjadi
lafal-lafal yang tidak meninggalkan bekas pengaruh apapun dalam diri manusia.
Sebab tidak mungkin bisa memetik pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an
jika seorang tidak memahami kandungan makna-maknanya (lihat Ushul fi at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaiminrahimahullah, hal. 25)
Kedua.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka itu tidak
mentadabburi al-Qur’an, ataukah di dalam hati mereka terdapat
gembok-gemboknya?” (QS. Muhammad:
24)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menerangkan di dalam tafsirnya, bahwa maksud dari
gembok yang menutupi hati mereka itu adalah sesuatu yang menyebabkan keimanan
tidak bisa meresap ke dalam hati mereka, begitu pula kekafiran tidak bisa
keluar dari dalam hati mereka. Sebab Allah telah mengunci hati mereka, nas’alullahas salamah (lihatal-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/276])
Ketiga.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu
(Muhammad) adz-Dzikr (al-Qur’an) supaya kamu jelaskan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka itu dan mudah-mudahan mereka mau
memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa penjelasan yang diberikan oleh
Rasul -sebagaimana disebutkan dalam ayat ini- mencakup penjelasan lafal dan
penjelasan makna-maknanya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 441 cet. ar-Risalah)
Keempat.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian. Kemudian,
apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu
yang terbaik dan paling bagus akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘taatilah Allah’ adalah ikutilah Kitab-Nya, sedangkan ‘taatilah Rasul’ adalah ambillah Sunnah/ajaran beliau. Beliau juga
membawakan penjelasan Mujahid dan para ulama salaf yang lain, bahwa maksud dari ‘kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul’ adalah kembali kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim [2/250] cet. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kelima.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun masalah yang kalian
perselisihkan padanya maka keputusan hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maka apa pun yang telah diputuskan hukumnya
oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya maka
itulah kebenaran yang sejati, dan tidak ada lagi sesudah kebenaran itu kecuali
kesesatan.” (lihatTafsir Al-Qur’an Al-’Azhim [2/250] cet. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Dalil Hadits:
Pertama.
Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari
al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari
dalam Kitab
Fadha’il al-Qur’an, hadits no. 5027)
Kedua.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini
beberapa kelompok orang, dan Allah juga akan merendahkan dengannya sebagian
kelompok yang lain.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin, hadits no. 817)
Kesimpulan:
1.Tafsir adalah penjelasan terhadap
kandungan makna al-Qur’an
2.Terkadang istilah tafsir diungkapkan
dengan kata ta’wil
3.Dengan memahami tafsir maka seorang
akan bisa beribadah kepada Allah di atas ilmu
4.Ilmu tafsir termasuk pokok ilmu
syari’at
5.Ilmu tafsir memiliki banyak keutamaan
6.Hukum mempelajari tafsir adalah wajib
7.Memahami tafsir adalah kunci untuk
men-tadabburi al-Qur’an dan menggapai kemuliaan
8.Salah satu tugas rasul adalah
menafsirkan al-Qur’an untuk umat
9.Memahami tafsir adalah kunci untuk
menyelesaikan berbagai perselisihan di tengah umat
Mukadimah Kedua
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
- Kaitan ilmu
tafsir dengan ilmu hadits dan ilmu fikih
- Pengertian
istilah hadits
- Pengertian
istilah fikih
- Kaitan ilmu
tafsir dengan ilmu tauhid
- Kaitan surat
al-Fatihah dengan ilmu tauhid
[1] Kaitan Antara Tafsir,
Hadits, dan Fikih
Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa
poros ilmu agama adalah pada ketiga ilmu ini, yaitu: tafsir, hadits, dan fikih.
Dan sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para ulama juga bahwasanya hakikat
ilmu tafsir adalah penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan
memadukan kedua pengertian ini dapatlah kita simpulkan bahwa sesungguhnya
keberadaan ilmu hadits dan fikih juga memiliki fungsi yang sama, yaitu
menjelaskan kandungan al-Qur’an. Dengan kata lain, pada dasarnya ilmu hadits
dan fikih adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu tafsir. Sehingga orang yang
mempelajari hadits dan fikih pun pada hakikatnya sedang mempelajari tafsir.
Hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan
penjelas dan pemberi keterangan tambahan terhadap apa-apa yang telah dijelaskan
secara global di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu tidak mungkin bisa
memahami maksud al-Qur’an dengan baik dan sempurna jika tidak merujuk kepada
hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di sisi lain, untuk memahami secara detil aturan-aturan hukum
dan tata cara ibadah yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadits maka
dibutuhkan ilmu fikih yang telah menyusun hal itu secara lebih sistematis dan
spesifik. Dengan mempelajari fikih itulah kita akan bisa memahami bagaimana
tata cara beribadah dan bermuamalah yang perintahkan oleh Allah ta’ala dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada
umatnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu
(Muhammad) adz-Dzikr (al-Qur’an) supaya kamu jelaskan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka itu dan mudah-mudahan mereka mau
memikirkan.” (QS.
An-Nahl: 44)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada pada diri
Rasulullah itu teladan yang baik untuk kalian, yaitu bagi siapa saja yang
berharap kepada Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada
rasul itu, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 80)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia (Muhammad)
itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidak lain apa yang diucapkannya itu adalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya.”(QS. An-Najm: 3-4)
[2] Pengertian Istilah Hadits
Hadits secara bahasa bermakna sesuatu yang baru, kebalikan
dari sesuatu yang lama. Adapun hadits dalam istilah para ulama ahli hadits
adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan,
ataupun sifat. Terkadang hadits juga disebut dengan istilah lain, yaitu sunnah,
khabar, dan atsar (lihat al-Hadits
an-Nabawi, Dr. Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, hal. 137-138)
[3] Pengertian Istilah Fikih
Secara bahasa fikih artinya pemahaman. Sehingga fikih menurut
perspektif bahasa lebih luas daripada fikih menurut istilah ulama fikih (lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul,
hal. 13 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah)
Adapun secara istilah, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa fikih adalah mengetahui
hukum-hukum syari’at yang bersifat cabang/furu’ disertai dengan dalil-dalilnya
dari al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas (lihat Ibhaj al-Mu’minin bi Syarhi
Manhajis Salikin [1/41]
karya Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahullah).
Sebagian ulama yang lain, berpendapat bahwa penggunaan
istilah furu’ untuk ilmu fikih kurang tepat. Menurut mereka pembagian hukum
Islam menjadi ushul dan furu’ adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena
ia tidak memiliki landasan dari al-Kitab maupun as-Sunnah. Misalnya,
berdasarkan pembagian ini sebagian orang memasukkan sholat dalam kategori
perkara furu’. Padahal, sholat termasuk perkara ushul (pokok) yang sangat
mendasar. Oleh sebab itu Syaikh Utsaimin rahimahullah memilih mendefinisikan fikih sebagai:
mengetahui hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah -bukan furu’- dengan
dalil-dalilnya yang terperinci (lihat Syarh
Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 13)
Meskipun demikian, sebenarnya para ulama salaf tidak
membatasi penggunaan istilah fikih hanya pada hukum-hukum amaliah. Bahkan
mereka pun menyebut ilmu akidah sebagian bagian dari ilmu fikih, atau biasa
dikenal dengan sebutan fikih akbar. Oleh sebab itu sebagian ulama masa kini
seperti Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menyusun sebuah buku dalam masalah akidah
dengan judul Fiqh
al-Asma’ al-Husna (lihat
kitab beliau tersebut, hal. 11)
[4] Kaitan Ilmu Tafsir Dengan Ilmu Tauhid
Para ulama menjelaskan, bahwa sesungguhnya ayat-ayat
al-Qur’an jika dicermati secara seksama maka ia tidak pernah keluar dari
pembicaraan seputar tauhid. Sebab, ayat al-Qur’an itu terdiri dari beberapa
bentuk pembahasan:
- Ayat-ayat yang
berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang
biasa dikenal dengan istilah tauhid al-’ilmi al-khabari (tauhid ini telah
mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat)
- Ayat-ayat yang
berisi seruan untuk beribadah kepada Allah semata dan ajakan untuk mencampakkan
segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa disebut dengan istilah tauhid
al-iradi ath-thalabi (disebut juga tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah)
- Ayat-ayat yang
berisi perintah dan larangan serta pengharusan untuk taat kepada-Nya, maka ini
merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya (huquuqut tauhid wa
mukammilaatuhu). Inilah yang biasa dikenal dengan istilah hukum
syari’at atau fikih
- Ayat-ayat yang
berisi pemberitaan mengenai kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang
yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah berikan kepada mereka sewaktu di dunia
dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka kelak di akhirat. Maka itu semua
merupakan balasan atas ketauhidan yang telah diwujudkan oleh mereka selama
hidup di dunia
- Ayat-ayat yang
berisi berita tentang orang-orang musyrik serta hukuman yang Allah timpakan
kepada mereka ketika di dunia dan siksaan yang Allah berikan untuk mereka kelak
di akhirat. Maka ini merupakan balasan setimpal bagi orang yang menyimpang dari
hukum tauhid (lihat Syarh
al-’Aqidah ath-Thahawiyah karya
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 89 takhrij Syaikh al-Albani dan Fath al-Majid Syarh Kitab
at-Tauhid karya
Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 15)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa
terdapat kaitan yang sangat erat antara ilmu tafsir al-Qur’an dengan tauhid.
Karena pada hakikatnya seluruh ayat al-Qur’an membicarakan tentang tauhid,
walaupun dari sudut yang berlainan. Bukankah di dalam al-Qur’an kita sering mendapati
penyebutan nama-nama dan sifat-sifat-Nya? Bukankah di dalam al-Qur’an pula kita
bisa menemukan bagaimana kisah-kisah para pejuang tauhid dan kemuliaan yang
Allah berikan kepada mereka? Bukankah di dalam al-Qur’an pun kita temukan
cerita tentang surga yang itu hanya akan dimasuki oleh orang yang bertauhid?
Bukankah di dalam al-Qur’an kita juga menjumpai cerita tentang dahsyatnya
neraka yang itu akan menjadi tempat tinggal tetap bagi orang yang tidak
bertauhid?
[5] Kaitan Surat al-Fatihah Dengan Ilmu Tauhid
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah
adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di
dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan
risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi
mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah
terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh
al-Mumti’ [2/82])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah memaparkan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah
membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, balasan atasnya, dan juga membicarakan
tentang syirik, pelakunya dan hukuman atas mereka. Maka, Alhamdulillahi Rabbil ‘alaminadalah
tauhid. Ar-Rahmanir
Rahim juga
tauhid. Maaliki
yaumid diin pun
tauhid. Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in pun
tentang tauhid. Ihdinash
shirathal mustaqim pun
mengajarkan tauhid yang di dalamnya berisi permohonan petunjuk menuju jalan
orang yang bertauhid. Mereka itulah Alladzina
an’amta ‘alaihim. Adapun Ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin adalah orang-orang memisahkan diri dari
tauhid (lihat Syarh
al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 89-90)
Dari sinilah, maka kita bisa memahami betapa agungnya surat
al-Fatihah ini. Di dalamnya terkandung pokok-pokok ajaran Islam, pokok-pokok
ajaran tauhid. Mentauhidkan Allah sebagai satu-satunya Rabb, yang mencipta,
memelihara, mengatur dan menguasai alam semesta. Mentauhidkan Allah sebagai
pemilik nama-nama dan sifat-sifat yang terindah, yang tidak diserupai oleh
makhluk-Nya. Mentauhidkan Allah dalam hal ibadah, dalam hal isti’anah/memohon
pertolongan. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantungnya hati,
tumpuan rasa takut dan harapan, puncak rasa cinta dan perendahan diri.
Menjadikan hidayah kepada tauhid sebagai cita-cita terbesar dan kenikmatan yang
senantiasa diidam-idamkan. Dan menjadikan penyimpangan dari tauhid sebagai
musibah dan malapetaka yang paling dikhawatirkan. Allahul musta’aan.
Kesimpulan:
1. Ilmu hadits dan fikih memiliki kaitan yang sangat
erat dengan ilmu tafsir
2. Hadits merupakan penafsiran ajaran al-Qur’an dalam
kehidupan
3. Fikih merupakan penjelasan terhadap hukum-hukum
al-Qur’an
4. Ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan ilmu tafsir
karena inti ajaran al-Qur’an adalah tauhid
5. Surat al-Fatihah adalah surat yang berisi
pokok-pokok ajaran tauhid
Mukadimah Ketiga
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Rujukan dalam menafsirkan al-Qur’an
Penunjukan makna dari suatu lafal/ungkapan
Metode pengambilan tafsir
Hukum menafsirkan al-Qur’an semata-mata dengan logika
Haruskah menguji hadits dengan al-Qur’an?
[1] Rujukan Dalam
Menafsirkan al-Qur’an
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur’an dapat
diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:
Kalam Allah (al-Qur’an itu sendiri), yaitu suatu ayat diafsirkan oleh ayat
yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur’an maka Allah pula yang paling
mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya
Perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau
adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka
beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman
Allah
Perkataan para sahabat radhiyallahu’anhum, terutama ahli
tafsir diantara mereka. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka dan di
masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam
mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi
sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran
Perkataan para tabi’in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan
tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena umat manusia
yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi’in dan mereka itu lebih
bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu,
pada masa tabi’in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam
bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi’in lebih mendekati kebenaran
dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berpaling dari
madzhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang
bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal
itu, bahkan tergolong pelaku kebid’ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang
boleh jadi kesalahannya itu mendapatkan ampunan.”
Penunjukan makna secara syari’at maupun secara bahasa yang terkandung di
dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan
antara makna suatu kata dalam istilah syari’at dan pengertian bahasa maka yang
lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari’at karena al-Qur’an diturunkan
untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila
terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut
memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil (lihat Ushul fi at-Tafsir karya Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah, hal. 27-29)
[2] Penunjukan
Makna Dari Suatu Ungkapan
Para ulama menjelaskan, bahwa suatu lafal atau ungkapan memiliki tiga sisi
penunjukan makna (dilalah), yaitu:
Dilalah muthobaqoh; yaitu makna
tersurat yang bisa langsung ditangkap dari suatu ungkapan dan menunjukkan
kepada keseluruhan makna yang tercakup padanya. Misalnya, kata ‘rumah’ yang
menunjukkan makna suatu bangunan lengkap dengan bagian-bagiannya.
Dilalah
tadhammun; yaitu makna tersirat yang terkandung di dalam suatu ungkapan dan hanya
menunjukkan kepada sebagian makna yang tercakup padanya. Misalnya, kata ‘rumah’
yang menunjukkan keberadaan dinding, atap atau bagian rumah yang lain. Atau
kata ‘buku’ yang menunjukkan kepada kertas yang merupakan bagian penyusun buku.
Dilalah iltizam; yaitu makna
tersirat yang secara tidak langsung bisa dipetik dari suatu ungkapan dan
merupakan konsekuensi sesuatu ungkapan (di luar substansi ungkapan tersebut).
Misalnya, nama Allah ar-Rahman yang secara muthobaqohberarti Dzat Yang Maha Penyayang yaitu Allah itu
sendiri. Adapun secaratadhammun maka nama ar-Rahman menunjukkan bahwa Allah
memiliki sifat rahmah/kasih sayang dan kasih sayang-Nya maha luas. Apabila
dilihat secarailtizam, maka nama ar-Rahman
menunjukkan bahwa syari’at yang Allah tetapkan adalah salah satu bukti kasih
sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Selain itu, dengan dilalah iltizam -disebut juga dengan dilalah talazum- kita bisa
menyimpulkan bahwa Allah ta’ala memiliki sifat hidup,
berkuasa, berilmu, berkehendak, dan memiliki kebijaksanaan yang maha sempurna.
Karena tidak mungkin Allah bisa mewujudkan rahmat-Nya yang begitu luas dan
mencakup seluruh makhluk jika sifat-sifat itu tidak melekat pada diri-Nya
(lihat al-Qawa’id al-Hisan
al-Muta’alliqatu bi Tafsir al-Qur’an oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 34-35 dan al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id
al-Mutsla oleh Kamilah al-Kiwari, hal. 102-104)
[3] Metode
Pengambilan Tafsir
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa
al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dan
pemberi arahan bagi mereka. Pada segala waktu dan masa ia akan tetap
menunjukkan kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh sebab itu, wajib bagi kaum
muslimin untuk menerima dan mengambil pelajaran dari Kalam Allah sebagaimana
yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu’anhum. Sesungguhnya para
sahabat, apabila membaca kurang lebih sepuluh ayat, maka mereka tidaklah
melampauinya kecuali setelah memahami keimanan, ilmu, dan amalan yang
terkandung di dalamnya. Sehingga mereka pun mengejawantahkan kandungan
ayat-ayat tersebut ke dalam realitas kehidupan. Apabila ayat itu berisi berita,
maka mereka pun meyakini kebenarannya. Apabila ayat itu berisi perintah dan
larangan, maka mereka pun menundukkan hawa nafsu mereka kepadanya. Mereka
berusaha untuk menerapkan kandungan ayat-ayat tersebut kepada segala kenyataan
dan kejadian yang mereka saksikan, baik yang mereka alami sendiri ataupun yang
dialami oleh orang lain. Setelah itu, mereka berusaha berintrospeksi diri;
apakah mereka sudah melaksanakan kandungan ayat-ayat tersebut dengan baik
ataukah justru sebaliknya? Kemudian, mereka mencari cara untuk bisa konsisten
melaksanakan amal-amal yang bermanfaat dan bagaimana cara agar bisa
menyempurnakan kekurangan yang masih melekat pada dirinya. Mereka pun mencari
cara untuk bisa terbebas dari hal-hal yang membahayakan dan mencelakakan
dirinya. Dengan cara itulah para sahabat bisa memetik hidayah dari ilmu-ilmu
yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka berakhlak dengannya dan
beradab dengan adab yang diajarkan olehnya. Mereka meyakini, bahwa al-Qur’an
ini adalah ucapan dari Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib maupun yang
tampak, suatu ucapan yang ditujukan oleh Allah kepada mereka, sehingga mereka
tertuntut untuk memahami makna-maknanya dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
Inilah metode para sahabat dalam memahami tafsir (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu
bi Tafsir al-Qur’an, hal. 17-18)
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada kami
seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain menuturkan kepada
kami, bahwasanya dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah
mereka pelajari pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka
berkata: Maka kami mempalajari al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus secara
bersamaan.” (lihat Ushul fi
at-Tafsiroleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
[4] Hukum
Menafsirkan Dengan Logika Belaka
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat
dari Imam Tirmidzi, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,“Barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an
dengan logikanya semata hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2951, beliau mengatakan:
hadits hasan). Maksud dari hadits ini adalah; barangsiapa yang berbicara
tentang al-Qur’an -menafsirkan al-Qur’an- dengan mengemukakan suatu pendapat
yang dia mengetahui bahwasanya kebenaran bertentangan dengan pendapatnya itu
maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka. Namun, tidaklah
termasuk dalam larangan ini siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
kompetensi ilmu syari’at yang dikuasainya, seperti penafsiran dari sisi bahasa,
dari sisi ilmu nahwu, dari sisi fikih dan lain sebagainya yang berlandaskan
pada kaidah-kaidah ilmiah, karena orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan
landasan ilmu-ilmu tersebut tidaklah disebut sebagai orang yang menafsirkan
al-Qur’an semata-mata dengan logika (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam
al-Qurthubi rahimahullah [1/57-58])
[5] Haruskah
Menguji Hadits Dengan al-Qur’an?
Para ulama membagi hadits dalam kaitannya dengan al-Qur’an menjadi 3
bagian:
as-Sunnah
al-Mu’akkidah, yaitu hadits-hadits yang serupa dengan muatan al-Qur’an dari segala sisi,
seperti halnya wajibnya sholat karena hal itu telah terbukti berdasarkan dalil
al-Kitab maupun as-Sunnah
as-Sunnah
al-Mubayyinah atau al-Mufassirah, yaitu hadits-hadits
yang menjelaskan secara rinci sesuatu yang disebutkan secara mujmal/global oleh
al-Qur’an
as-Sunnah
al-Istiqlaliyah atau az-Za’idah, yaitu hadits-hadits
yang memberikan tambahan keterangan yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an,
seperti mengharamkan sesuatu yang didiamkan hukumnya oleh al-Qur’an atau
mewajibkan sesuatu yang didiamkan hukumnya oleh al-Qur’an (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, hal. 123 oleh Dr. Muhammad bin Husain al-Jizanihafizhahullah)
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat
dari Abu Dawud dari al-Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan
al-Kitab dan sesuatu yang serupa dengannya bersamanya. Ketahuilah,
hampir-hampir ada orang yang kekenyangan seraya berbaring di atas
pembaringannya lalu dia mengatakan: Cukuplah kalian berpegang dengan al-Qur’an.
Apa saja yang kalian temukan di dalamnya sesuatu yang halal maka halalkanlah.
Dan apa saja yang kalian temukan di dalamnya sesuatu yang haram maka
haramkanlah…” (HR. Abu Dawud no.
4604) (lihat al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an [1/65])
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya
hadits tidak perlu diuji atau dibandingkan terlebih dulu dengan al-Kitab
(al-Qur’an), karena hadits itu apabila ia telah terbukti keabsahan riwayatnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjadi hujjah dengan sendirinya.” Beliau berkata, “Adapun riwayat yang dibawakan oleh
sebagian orang bahwa beliau bersabda: “Apabila datang kepada kalian suatu
hadits maka ujilah ia dengan Kitabullah. Apabila ia sesuai dengannya maka
ambillah. Dan apabila ia tidak cocok maka tolaklah ia.” Maka ini adalah hadits
yang batil, tidak ada sumbernya sama sekali.”(lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/66])
Kesimpulan:
1.Dalam menafsirkan al-Qur’an harus memperhatikan penjelasan dari ayat dan
hadits serta keterangan para ulama
2.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in (salafus shalih) adalah generasi yang lebih
memahami tafsir al-Qur’an daripada generasi sesudahnya
3.Merenungi kandungan al-Qur’an akan membuahkan banyak manfaat dalam
kehidupan
4.Tujuan mempelajari al-Qur’an adalah untuk memetik kandungan ilmu, amal, dan
iman
5.Mempelajari al-Qur’an dilakukan secara bertahap
6.Tidak boleh menafsirkan al-Qur’an semata-mata bermodal logika dan
mengabaikan syari’at
7.Hadits memiliki peranan yang sangat besar dalam menjelaskan dan memberikan
keterangan tambahan terhadap hukum-hukum al-Qur’an
Mukadimah Keempat
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Kewajiban mengikuti manhaj para sahabat
Cara salafus shalih mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah
Ahli tafsir diantara para sahabat dan tabi’in
Salafus shalih adalah imam dalam ilmu dan amal
Ilmu-ilmu yang menopang ilmu tafsir
[1] Kewajiban
Mengikuti Manhaj Sahabat
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Orang-orang
yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada-Nya…” (QS. At-Taubah: 100)
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa
yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain
jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan menelantarkan dia dalam
kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam Jahannam.
Sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)
Allah ta’ala berfirman mengenai
para Sahabat dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu
ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18).
Ibnu Katsir rahimahullahmenyebutkan di dalam
tafsirnya [7/262] bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah
setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan- adalah 1400 orang.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para
sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)
Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga
generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Ayat-ayat di atas membimbing kita untuk mengikuti mereka dengan baik. Jalan
yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka
adalah sumber kesesatan. Adapun istilahsalafi merupakan
penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana telah
dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansaab dan adz-Dzahabi dalam
kitabnya Siyar A’lamin
Nubala’ . Seperti contohnya pujian adz-Dzahabi terhadap Imam
ad-Daruquthni, “Lelaki ini
tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak
suka membicarakannya. Beliau adalah seorang salafi.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh
al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim)
Salafiyah adalah sebuah manhaj/metode beragama. Ia
bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana yang disangka oleh
sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang
terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para
Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara
ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam hal tazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)
Syaikhul Islam mengatakan, “Tidaklah
tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia
dengannya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah
disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran
itu sendiri.” (Majmu’
Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh
al-Albani, hal. 16)
[2] Cara Salafus
Shalih Mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah
Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman meriwayatkan, dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila
belajar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami
tidaklah mempelajari sepuluh ayat lain yang diturunkan berikutnya kecuali
setelah kami pelajari apa yang terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan
oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyepakatinya (lihat catatan kaki al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])
Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya di dalam al-Mushannaf, dari Abu
Abdirrahman as-Sulami. Beliau berkata, “Dahulu apabila kami mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, maka
tidaklah kami mempelajari sepuluh ayat berikutnya sampai kami memahami
kandungan halal dan haram, serta perintah dan larangan yang terdapat di
dalamnya.”(disebutkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, lihat al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an [1/68])
Imam Abu Bakar al-Anbari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin
Mas’udradhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Sesungguhnya kami mengalami kesulitan
dalam menghafalkan al-Qur’an tetapi mudah bagi kami mengamalkannya. Dan kelak
akan datang kaum setelah kami, ketika itu begitu mudah menghafalkan al-Qur’an
tetapi sulit bagi mereka mengamalkannya.” (disebutkan oleh Imam
al-Qurthubi rahimahullah, lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/69])
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ulama hadits berpesan, tidak
semestinya seorang penimba ilmu hadits mencukupkan diri dengan mendengar dan
mencatat hadits tanpa mengetahui dan memahami kandungannya. Sebab hal itu akan
membuang tenaganya dalam keadaan dia tidak mendapatkan apa-apa. Hendaknya dia
menghafalkan hadits secara bertahap. Sedikit demi sedikit seiring dengan
perjalanan siang dan malam.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])
Ma’mar mengatakan: Aku pernah mendengar az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara
instan maka ia akan hilang dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh
dengan menekuni satu atau dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])
Tatkala begitu banyak orang yang menimba hadits pada masa al-A’masy maka
ada yang berkata kepada beliau, “Wahai
Abu Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau
menjawab, “Janganlah kamu
lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya akan mati. Sepertiga lagi
akan disibukkan dengan pekerjaan. Dan sepertiganya lagi, dari setiap seratus
orang hanya akan ada satu orang yang berhasil -menjadi ulama-.”(lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi
as-Sunnah an-Nabawiyah oleh Hatim bin ‘Arif al-’Auni hafizhahullah, hal. 28)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu
hendaklah dia mendalaminya dengan baik, supaya ilmu-ilmu yang rumit tidak
menjadi sirna.” (lihatNasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)
Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau
pun ditanya, “Sampai kapan
kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi
as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)
[3] Ahli tafsir
diantara para sahabat dan tabi’in
Diantara para sahabat yang masyhur sebagai ahli tafsir adalah keempat
khalifah sesudah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hanya saja riwayat tafsir dari ketiga khalifah yang pertama tidak
sebanyak riwayat tafsir yang dibawakan oleh ‘Ali bin Abi Thalibradhiyallahu’anhu. Hal itu dikarenakan
pada masa itu mereka tersibukkan dengan urusan khilafah dan sedikitnya
kebutuhan periwayatan pada masa itu dan juga masih banyak orang yang memahami
tafsirnya. Selain itu, para sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir di
kalangan para sahabat adalah Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin ‘Abbasradhiyallahu’anhuma (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 33-34)
Adapun para ulama tafsir di kalangan tabi’in cukup banyak, diantara mereka
adalah:
Para ulama Mekah yang berguru kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, semacam Mujahid,
‘Ikrimah, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah
Para ulama Madinah yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, semacam Zaid bin
Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi.
Para ulama Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, semacam Qotadah,
‘Alqomah, dan asy-Sya’bi (lihat Ushul
fi at-Tafsir, hal. 37)
[4] Salafus Shalih
adalah imam dalam ilmu dan amal
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut
ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya
ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan
dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut
ilmu.” (lihat Tsamrat
al-’Ilmi al-’Amal, hal.
44-45)
Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah
ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah
khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 142). Beliau juga mengatakan, “Cukuplah
rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena
kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22).
Oleh
sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun
dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan
keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang
dekat.” (QS.
an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya
kepada para sahabat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat
ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada
Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum
meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)
[5] Ilmu-ilmu yang menopang ilmu tafsir
Untuk
bisa memahami ilmu tafsir dengan baik, maka dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang
menjadi penopang dan pendukung atasnya, antara lain:
Ilmu
akidah atau tauhid, hal ini akan membentengi diri dari penyimpangan akidah
Ilmu
as-Sunnah atau hadits beserta fikihnya, sebagai penjelas terhadap ajaran
al-Qur’an
Ilmu
bahasa arab -terutama nahwu dan shorof- dan ushul fikih (lihat Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’anoleh
Manna’ al-Qaththan, hal. 329-331 dengan ringkas dan sedikit penambahan)
Kesimpulan:
1.Wajib mengikuti metode salafus shalih dalam memahami tafsir al-Qur’an
2.Metode yang benar dalam memahami tafsir al-Qur’an adalah dengan memahami
kandungan ayat dan hadits secara bertahap, sedikit demi sedikit, dan
terus-menerus sampai mati
3.Diantara para sahabat yang masyhur dalam hal tafsir adalah Ibnu Mas’ud,
Ibnu ‘Abbas, dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhum beserta murid-murid
mereka dari kalangan tabi’in seperti Qotadah, Mujahid, dan Abul ‘Aliyah rahimahumullah
4.Salafus shalih tidak hanya menjadi teladan dalam hal ilmu, namun mereka
juga menjadi teladan dalam hal amal. Sebab ilmu merupakan sarana menuju amal
5.Diantara ilmu terpenting yang harus dikaji bagi orang yang ingin mendalami
tafsir adalah ilmu tauhid, hadits, fikih, ushul fikih, dan bahasa arab.
Diantara itu semua maka kaidah bahasa arab (nahwu dan shorof) adalah kunci untuk
memahami ilmu-ilmu syari’at yang lain
Mukadimah Kelima
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai keutamaan surat al-Fatihah:
- Surat paling agung
- Rukun dalam sholat
- Bacaan untuk meruqyah
- Induk ayat-ayat al-Qur’an
- Rahasia ajaran al-Qur’an
[1] Surat Paling
Agung
Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung di dalam
al-Qur’an, sebelum kamu keluar masjid?”. Lalu beliau menggandeng tanganku, ketika kami
hendak keluar aku berkata, “Wahai
Rasulullah! Tadi anda berkata: Aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling
agung dalam al-Qur’an?”. Beliau pun bersabda,“Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (surat
al-Fatihah), itulah tujuh ayat yang diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan
bacaan yang agung (al-Qur’an al-’Azhim) yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5006])
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidaklah Allah menurunkan di dalam Taurat,
Injil, maupun al-Qur’an, sesuatu yang menyamai Ummul Kitab; yaitu as-Sab’u
al-Matsani.” (HR. Ibnu Khuzaimah
dalam Kitab ash-Sholah [501] sanadnya sahih)
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh Kami
telah mengaruniakan kepadamu (Muhammad) as-Sab’u al-Matsani (tujuh ayat yang
diulang-ulang) dan al-Qur’an al-’Azhim (bacaan yang agung).” (QS. al-Hijr: 87)
Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Ibnu Abi
Mulaikah, Hasan al-Bashri, Mujahid, Qotadah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu
Hajar, dan lain-lain menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan as-Sab’u al-Matsani adalah surat al-Fatihah
(lihat Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim [4/382], al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an [1/293], Syarh
Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [10/245], Fath al-Bari [8/184], Syarh
as-Sunnah [3/50])
[2] Rukun Sholat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang mengerjakan sholat dan tidak
membaca Ummul Qur’an (surat al-Fatihah) di dalamnya maka sholat itu pincang.” Beliau mengatakannya tiga kali. Pincang artinya
tidak sempurna (HR. Muslim dalam Kitab
ash-Sholah [395])
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak sah sholat orang yang tidak
membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah).”(HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan [756] dan Muslim
dalam Kitab ash-Sholah [394]). Dalam riwayat
Muslim juga diriwayatkan dengan lafal, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an.”
Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya
membaca surat al-Fatihah dalam sholat, dan bahwasanya ia termasuk rukun; sholat
tidak sah tanpanya. Dan menurut pendapat yang benar ia wajib dibaca dalam
setiap raka’at, berdasarkan hadits orang yang keliru sholatnya dimana Nabi
bersabda, “Kemudian lakukanlah itu dalam semua sholatmu.” (HR. Bukhari [724]
dan Muslim [397]).” (lihat Taudhih
al-Ahkam[1/664], lihat juga keterangan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarh al-Mumti’ [2/82-85] atauShifat ash-Sholah hal. 70, dan keterangan Syaikh al-Albani dalam Talkhish Shifat Sholat Nabi, hal. 17)
[3] Bacaan Untuk
Meruqyah
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan
bahwa suatu ketika sekelompok Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam
perjalanan. Kemudian mereka melewati sebuah kabilah arab. Mereka meminta
disambut seperti layaknya tamu, tetapi permintaan itu ditolak oleh kabilah
tersebut. Namun, setelah itu mereka bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang pandai meruqyah? Karena pemimpin
kabilah terkena sengatan binatang berbisa atau tertimpa musibah.” Salah seorang lelaki
diantara rombongan pun berkata, “Iya.” Dia pun mendatanginya
dan meruqyahnya dengan Fatihatul
Kitab hingga sembuh. Setelah itu diberikanlah sejumlah kambing sebagai upah
atasnya, tetapi orang itu enggan menerimanya. Dia mengatakan, “Tidak, sampai aku ceritakan hal ini
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia pun menemui
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan melaporkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku
tidak meruqyah kecuali dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) saja.” Beliau pun tersenyum
seraya bersabda, “Darimana
kamu tahu bahwa ia adalah ruqyah?”. Kemudian beliau memerintahkan, “Ambillah pemberian mereka, dan
sisihkan juga jatahku bersama kalian.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an[5007] dan Muslim
dalam Kitab as-Salam [2201])
Ibnu Hajar menukil penjelasan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim berkata, “Apabila terbukti bahwa sebagian
ucapan memiliki keistimewaan dan manfaat maka bagaimana lagi dengan ucapan
Rabbul ‘alamin. Apalagi al-Fatihah; yang tidaklah diturunkan di dalam al-Qur’an
maupun kitab-kitab yang lain suatu surat yang semisal dengannya. Sebab surat
ini telah mengandung segala kandungan makna kitab suci. Ia mengandung
penyebutan pokok-pokok nama Allah dan simpul utamanya. Ia juga mengandung
penetapan adanya negeri akherat, penyebutan tauhid dan kebutuhan yang sangat
besar terhadap Rabb (Allah) untuk memberikan pertolongan dan hidayah kepadanya.
Ia juga menyebutkan doa yang paling utama yaitu permintaan hidayah menuju jalan
yang lurus; yang merangkum kesempurnaan ma’rifat kepada-Nya, pengesaan
kepada-Nya, dan beribadah kepada-Nya dengan melakukan apa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya serta istiqomah di
atasnya. Surat ini pun bercerita tentang berbagai kelompok manusia dan
pengklasifikasian mereka menjadi: Golongan yang diberikan nikmat yaitu yang
mengenali kebenaran dan mengamalkannya, Golongan yang dimurkai karena mereka
berpaling dari kebenaran setelah mengetahuinya, dan Golongan yang tersesat
karena tidak mengetahui kebenaran. Selain itu surat ini juga mengandung
penetapan takdir, syari’at, nama-nama Allah, hari kiamat, taubat, penyucian
jiwa, perbaikan hati, dan bantahan bagi semua kelompok ahlul bid’ah. Maka
sangatlah pantas bagi sebuah surat yang sebagian keutamaannya saja sudah
semacam ini untuk digunakan sebagai obat bagi segala macam penyakit, wallahu
a’lam.” (lihat Fath al-Bari [10/224] cet. Dar
al-Hadits)
[4] Induk Ayat-Ayat
al-Qur’an
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ummul Qur’an itu adalah tujuh ayat yang sering
diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan al-Qur’an al-’Azhim (bacaan yang
agung).” (HR. Bukhari dalam Kitab Tafsir al-Qur’an [4704]) (lihat juga Tafsir al-Imam asy-Syafi’i [1/188-189,192] cet.
Dar at-Tadmuriyah, Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim [4/382] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ia juga disebut dengan Ummul
Qur’an/Induk al-Qur’an; sebab induk dari sesuatu itu adalah pokok/sumber yang
menjadi tempat kembali/rujukan sesuatu tersebut. Makna-makna ayat al-Qur’an
semuanya kembali kepada apa yang terkandung di dalam surat ini.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 6 cet. Dar
al-Imam Ahmad, lihat juga Fath
al-Bari [8/181] cet. Dar al-Hadits)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an;
dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah
mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir,
jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara
yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini.
Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menerangkan, bahwa dakwah seluruh para nabi ‘alaihimus salam memiliki tiga pokok
landasan yang serupa dan ketiga hal itu pun menjadi fokus perhatian al-Qur’an
serta maksud utama yang tersimpan di dalamnya. Ketiga hal itu adalah: tauhid,
nubuwwat/kenabian, dan al-Ma’aad/hari kebangkitan setelah kematian atau
mengimani hari pembalasan (lihat Manhaj
al-Anbiyaa’ fi ad-Da’wah ila Allah, hal. 38-39)
[5] Menyimpan
Rahasia Ajaran al-Qur’an
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian
salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan rahasia
surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in’. Bagian yang
pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik.
Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas
diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan]
kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak
ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa
tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam
sholat kita Iyyaka na’budu
wa iyyaka nasta’in. Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya
bahwa Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sembahlah Dia
dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123). Allah ta’alaberfirman (yang
artinya), “Kepada-Nya lah
aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (QS. Hud: 88). Tidak
mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])
Kesimpulan:
1.Al-Fatihah merupakan surat paling agung dalam al-Qur’an
2.Al-Fatihah wajib dibaca setiap kali sholat, tidak sah sholat tanpanya
3.Al-Fatihah bisa digunakan untuk mengobati orang yang sakit
4.Al-Fatihah mengandung intisari kandungan ajaran para nabi yaitu tauhid,
kenabian, dan hari kebangkitan
5.Al-Fatihah menyimpan rahasia ajaran Islam yaitu ibadah dan tawakal
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Nama-nama surat
al-Fatihah
Waktu turunnya
surat al-Fatihah
Jumlah ayat dalam
surat al-Fatihah
Apakah basmalah
termasuk al-Fatihah?
Membaca basmalah
dengan lirih
[1] Nama-Nama
Surat al-Fatihah
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan
nama-nama yang dipakai para ulama untuk menyebut surat yang agung ini:
-al-Fatihah
(pembuka); maksudnya adalah pembuka al-Kitab
-Ummul Kitab (induk
al-Kitab)
-Ummul Qur’an (induk
al-Qur’an)
-al-Hamdu (pujian)
-ash-Sholah (pilar
dalam sholat)
-ar-Ruqyah (bacaan
untuk mengobati)
-Asas al-Qur’an
-al-Waqiyah
(penjaga)
-al-Kafiyah (yang
mencukupi) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/101] cet. Dar
Thaibah)
[2] Waktu
Turunnya Surat al-Fatihah
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,
bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Inilah yang dipegang
oleh Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Abul ‘Aliyah. Sebagian ulama lain, semacam Abu
Hurairah, Mujahid, Atho’ bin Yasar, dan az-Zuhri, berpendapat bahwa al-Fatihah
turun di Madinah. Ada pula yang berpendapat bahwa ia turun dua kali, sekali di
Mekah dan sekali di Madinah. Namun, pendapat yang tepat adalah surat ini
diturunkan di Mekah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya),“Sungguh telah Kami berikan kepadamu tujuh ayat yang
diulang-ulang.” (QS. Al-Hijr: 87). Karena surat al-Hijr ini turun di
Mekah dengan kesepakatan para ulama (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/101]
cet. Dar Thaibah dan Tafsir al-Qurthubi [1/177])
[3] Jumlah Ayat
Dalam Surat al-Fatihah
Imam al-Qurthubi rahimahullah menerangkan,
bahwa umat Islam telah sepakat bahwasanya surat al-Fatihah ini terdiri dari
tujuh ayat. Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam
tafsirnya (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an[1/176] dan Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim [1/101])
[4] Apakah
Basmalah Termasuk Dalam al-Fatihah?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Aku
telah membagi sholat -surat al-Fatihah- antara diri-Ku dengan hamba-Ku menjadi
dua bagian, dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.”Apabila hamba
itu membaca alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, maka Allah ta’ala berfirman,“Hamba-Ku
telah memuji-Ku.” Apabila dia membaca ar-Rahmanir Rahim,
maka Allah ta’alaberfirman, “Hamba-Ku telah menyanjung
diri-Ku.” Apabila dia membaca maaliki yaumid din, maka
Allah ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah mengagungkan
diri-Ku.” Apabila dia membacaiyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,
maka Allah berfirman, “Inilah bagian untuk-Ku dan sebagian lagi untuk
hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan apa yang dia minta.”Apabila
dia membaca ihdinash shirathal mustaqim shirathalladzina an’amta
‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wal ladh dhaalliin, maka Allah
berfirman, “Inilah bagian hamba-Ku, dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan
apa yang dia minta.” (HR. Muslim no. 395)
Syaikh Abdullah
al-Bassam berkata, “Ini adalah dalil yang sahih dan sangat jelas yang
menunjukkan bahwasanya basmalah bukan termasuk al-Fatihah, oleh sebab itu ia
tidak disebutkan. Pendapat inilah yang lebih kuat dan benar, wallahu a’lam.” (lihat Taudhih
al-Ahkam [1/671]). Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,
“Hadits ini merupakan riwayat paling jelas dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwabismillahirrahmaanirrahiim bukan
termasuk ayat dalam surat al-Fatihah, sehingga ia mejadi pemutus bagi masalah
yang diperselisihkan.” (lihat al-Istidzkar [4/202])
Syaikh Shalih
al-Fauzan berkata, “Surat al-Fatihah ada tujuh ayat. Tiga setengah ayat untuk
Allah; yaitu berisi sanjungan kepada Allah. Adapun tiga setengah ayat
berikutnya untuk hamba; yaitu dimulai dari firman-Nya ‘wa iyyaka
nasta’in’ hingga akhir surat.” (lihatSyarh Ba’dhu Fawa’id Surah
al-Fatihah, hal. 6 cet. Dar al-Imam Ahmad)
Meskipun demikian,
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa basmalah termasuk
al-Fatihah. Imam Ibnu Khuzaimah di dalam kitab Shahihnya membuat
bab dengan judul,“Bab. Penyebutan Dalil Yang Menunjukkan Bahwa
Bismillahirrahmanirrahim Adalah Ayat Dari Fatihatul Kitab (Surat al-Fatihah).” Kemudian
beliau menyebutkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha. Beliau
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdi dalam
sholat membaca bismillahirrahmanirrahim. Beliau menganggapya satu
ayat.alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, dua ayat. Adapun Iyyaka
nasta’in maka beliau -Ummu Salamah- mengumpulkan kelima jarinya
-maksudnya ayat kelima, pent- (HR. Ibnu Khuzaimah no. 493)
Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Rahawaih, Abu Tsaur, dan Abu ‘Ubaid juga berpendapat bahwa basmalah termasuk
ayat dalam surat al-Fatihah. Ishaq bin Manshur berkata: Aku pernah bertanya
kepada Ishaq bin Rahawaih, “Apabila seseorang melakukan beberapa kali
sholat dengan tidak membaca bismillahirrahmaanirrahiim beserta alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin, bagaimana?”. Beliau menjawab, “Dia harus mengulang
semua sholat tersebut.” (lihatal-Istidzkar [4/206])
[5] Melirihkan
Bacaan Basmalah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
beliau berkata, “Aku sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Aku tidak pernah mendengar seorang pun
diantara mereka membaca bismillahirrahmaanirrahiim.” (HR. Bukhari no.
743 dan Muslim no. 399, lafal Muslim). Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa
Anas bin Malikradhiyallahu’anhu berkata, “Aku telah sholat
di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman.
Tidaklah aku mendengar seorang pun diantara mereka yang mengeraskan bacaan
bismillahirrahmaanirrahiim.” (HR. an-Nasa’i no. 907, ad-Daruquthni no.
1199, Ibnu Khuzaimah no. 495, sanadnya disahihkan Syaikh al-Albani, dan
haditsnya disahihkan pula oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dkk. lihat Sunan
ad-Daruquthni [2/91] cet. ar-Risalah)
Imam at-Tirmidzi
berkata, “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan para Sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan
yang lainnya. Dan juga diamalkan olah para tabi’in sesudah mereka. Inilah yang
dianut oleh Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. Mereka
berpendapat bahwa tidak perlu mengeraskan bacaan bismillahirrahmaanirrahim.
Mereka berkata; hendaknya dia membacanya dalam dirinya sendiri.” (lihat Sunan
at-Tirmidzi, hal. 70 cet. Maktabah al-Ma’arif)
Di dalam al-Istidzkar [4/212]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan riwayat bahwa
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu tidak mengeraskan bacaanbismillahirrahmaanirrahiim akan
tetapi beliau mengeraskan bacaan alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (HR.
Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no. 2601). Dari Ikrimah, Ibnu
Abbasradhiyallahu’anhuma berkata, “Mengeraskan bacaan
bismillahirrahmaanirrahim adalah bacaan orang arab badui.” (HR.
Abdurazzaq dalam al-Mushannaf no. 2605)
Abu ath-Thayyib
berkata, “Adapun mengeraskan bacaan basmalah memang diriwayatkan bahwa hal itu
dilakukan oleh sekelompok kaum salaf. Dalam Syarh Tirmidzi, Ibnu Sayyidin Nas
telah menyebutkan deretan nama-nama mereka dan nama-nama ulama lain yang
berpendapat melirihkan bacaannya. Pendapat yang benar adalah hadits-hadits yang
menunjukkan melirihkan bacaan sangat kuat dari segi sanad. Maka pendapat
terpilih adalah melirihkan bacaan, meskipun mengeraskannya juga diperbolehkan…”
(lihat Sunan ad-Daruquthni beserta at-Ta’liq al-Mughni
‘ala ad-Daruquthni [2/91] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Syaikh al-Utsaimin
menjelaskan bahwa pendapat yang terkuat adalah tidak mengeraskanbasmalah.
Sehingga yang lebih sesuai tuntunan adalah membacanya dengan lirih; sebab ia
bukanlah termasuk al-Fatihah. Kemudian, apabila seorang kadang-kadang
mengeraskannya maka hal itu tidaklah mengapa menurut pendapat sebagian ulama.
Walaupun sebenarnya yang secara tegas terbukti berdasarkan riwayat adalah Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengeraskannya. Inilah yang lebih utama untuk
diikuti. Akan tetapi, seandainya ada orang yang mengeraskannya dalam rangka
menjaga persatuan bersama suatu kaum yang bermadzhab mengeraskannya,
mudah-mudahan hal itu tidak mengapa (lihat Fatawa Arkan al-Islam,
hal. 316-317, lihat juga keterangan yang indah dari Imam az-Zaila’i dalam Nashbu
ar-Rayah [1/328] cet. Mu’assasah ar-Rayyan)
Kesimpulan:
1.Surat al-Fatihah
memiliki banyak nama, dan hal ini menunjukkan keagungan surat ini. Sebagaimana
hari kiamat memiliki banyak nama, yang menunjukkan betapa agung dan besarnya
peristiwa di hari kiamat nanti.
2.al-Fatihah termasuk
surat Makiyah; yaitu surat yang diturunkan di Mekah sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dan sebagaimana mayoritas
ayat-ayat Makiyah, surat al-Fatihah berisi penekanan tentang tauhid dan hari
kebangkitan
3.al-Fatihah terdiri
dari tujuh ayat dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja para ulama berbeda
pendapat apakah basmalah termasuk surat al-Fatihah atau bukan.
Pendapat yang lebih dikuatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah dan
para ulama yang lain bahwasanya basmalah bukan termasuk bagian
dari surat al-Fatihah
4.Meskipun bukan
termasuk bagian surat al-Fatihah, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkan kepada kita untuk membaca basmalah sebelum
membaca surat al-Fatihah dengan lirih sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits-hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
apa yang dipraktekkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum
ajma’in. Allahu a’lam
Sumber:
http://abumushlih.com/tafsir-al-fatihah
Sumber:
http://abumushlih.com/tafsir-al-fatihah
1 komentar
Sangat bermanfaat sekali ! Jazakumullah khairan.
BalasHapus