Tafsir Al-Fatihah


Mukadimah Pertama
Di dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
-        Makna istilah tafsir
-        Penggunaan kata ta’wil dengan makna tafsir
-        Tujuan mempelajari tafsir
-        Kedudukan ilmu tafsir
-        Dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu tafsir
[1] Makna Istilah Tafsir
Secara bahasa tafsir bermakna menyingkap sesuatu yang tertutupi. Adapun menurut istilah para ulama, yang dimaksud dengan tafsir adalah menerangkan kandungan makna al-Qur’an al-Karim (lihat Ushul fi at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 25)
[2] Ta’wil Dengan Makna Tafsir
Dalam Al-Qur’an, kata ta’wil terkadang bermakna tafsir. Misalnya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Beritahukanlah kepada kami tentang ta’wilnya. Sesungguhnya kami melihat engkau (wahai Yusuf) termasuk orang yang pandai (mena’birkan mimpi).” (QS. Yusuf: 36)
Demikian pula halnya dalam hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat mendoakan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, “Ya Allah, pahamkanlah dia dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ilmu ta’wil.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, hadits no. 143, akan tetapi tambahan ‘ajarkanlah kepadanya ilmu ta’wil’ tidak terdapat dalamShahihain, lihat Fath al-Bari [1/207])
[3] Tujuan Mempelajari Tafsir
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, bahwa tujuan mempelajari tafsir adalah untuk menggapai maksud yang terpuji dan memetik faidah yang agung yaitu:  membenarkan berita-berita yang terkandung di dalamnya, memetik manfaat darinya, dan menerapkan hukum-hukumnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Dengan demikian, seorang hamba akan bisa beribadah kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 26)
[4] Kedudukan Ilmu Tafsir
Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan ayat yang dibawakan oleh Imam Bukharirahimahullah dalam Shahihnya (yang artinya), “(Wahai Rabbku) Tambahkanlah ilmu kepadaku.” Maka beliau mengatakan, “(Ayat ini) sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta suatu tambahan kecuali tambahan ilmu. Dan yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu syari’at yang membuahkan faidah bagi mukallaf/orang yang mendapat beban syari’at yaitu dia akan bisa memahami apa yang wajib dia kerjakan dalam urusan agamanya, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Ilmu tentang perintah (ketaatan) yang wajib ditunaikan kepada-Nya serta mensucikan Allah dari segala cela dan kekurangan. Poros ilmu agama itu adalah pada ilmu tafsir, hadits, dan fikih…” (lihat Fath al-Bari [1/172] cet. Dar al-Hadits)
[5] Dalil-Dalil Keutamaan Ilmu Tafsir
Dalil Al-Qur’an:
Pertama.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(Ini adalah) Sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) yang penuh dengan berkah agar supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang memiliki akal pikiran mau mengambil pelajaran darinya.” (QS. Shaad: 29)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan bahwa mempelajari ilmu tafsir adalah wajib. Sebab hikmah diturunkannya al-Qur’an ini adalah untuk direnungkan oleh umat manusia dan supaya mereka bisa memetik pelajaran-pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Sedangkan tadabbur itu sendiri adalah sebuah usaha mencermati lafal-lafalnya untuk bisa mencapai kandungan makna yang tersimpan di dalamnya. Apabila tidak seperti itu niscaya hikmah diturunkannya al-Qur’an menjadi sirna. Sehingga al-Qur’an hanya akan menjadi lafal-lafal yang tidak meninggalkan bekas pengaruh apapun dalam diri manusia. Sebab tidak mungkin bisa memetik pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an jika seorang tidak memahami kandungan makna-maknanya (lihat Ushul fi at-Tafsir, Syaikh Ibnu Utsaiminrahimahullah, hal. 25)
Kedua.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka itu tidak mentadabburi al-Qur’an, ataukah di dalam hati mereka terdapat gembok-gemboknya?” (QS. Muhammad: 24)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menerangkan di dalam tafsirnya, bahwa maksud dari gembok yang menutupi hati mereka itu adalah sesuatu yang menyebabkan keimanan tidak bisa meresap ke dalam hati mereka, begitu pula kekafiran tidak bisa keluar dari dalam hati mereka. Sebab Allah telah mengunci hati mereka, nas’alullahas salamah (lihatal-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/276])
Ketiga.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) adz-Dzikr (al-Qur’an) supaya kamu jelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka itu dan mudah-mudahan mereka mau memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa penjelasan yang diberikan oleh Rasul -sebagaimana disebutkan dalam ayat ini- mencakup penjelasan lafal dan penjelasan makna-maknanya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 441 cet. ar-Risalah)
Keempat.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian. Kemudian, apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu yang terbaik dan paling bagus akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘taatilah Allah’ adalah ikutilah Kitab-Nya, sedangkan ‘taatilah Rasul’ adalah ambillah Sunnah/ajaran beliau. Beliau juga membawakan penjelasan Mujahid dan para ulama salaf yang lain, bahwa maksud dari ‘kembalikanlah kepada Allah dan Rasul’ adalah kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim [2/250] cet. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kelima.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun masalah yang kalian perselisihkan padanya maka keputusan hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maka apa pun yang telah diputuskan hukumnya oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya maka itulah kebenaran yang sejati, dan tidak ada lagi sesudah kebenaran itu kecuali kesesatan.” (lihatTafsir Al-Qur’an Al-’Azhim [2/250] cet. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Dalil Hadits:
Pertama.
Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an, hadits no. 5027)
Kedua.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini beberapa kelompok orang, dan Allah juga akan merendahkan dengannya sebagian kelompok yang lain.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin, hadits no. 817)
Kesimpulan:
1.Tafsir adalah penjelasan terhadap kandungan makna al-Qur’an
2.Terkadang istilah tafsir diungkapkan dengan kata ta’wil
3.Dengan memahami tafsir maka seorang akan bisa beribadah kepada Allah di atas ilmu
4.Ilmu tafsir termasuk pokok ilmu syari’at
5.Ilmu tafsir memiliki banyak keutamaan
6.Hukum mempelajari tafsir adalah wajib
7.Memahami tafsir adalah kunci untuk men-tadabburi al-Qur’an dan menggapai kemuliaan
8.Salah satu tugas rasul adalah menafsirkan al-Qur’an untuk umat
9.Memahami tafsir adalah kunci untuk menyelesaikan berbagai perselisihan di tengah umat

Mukadimah Kedua
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
-        Kaitan ilmu tafsir dengan ilmu hadits dan ilmu fikih
-        Pengertian istilah hadits
-        Pengertian istilah fikih
-        Kaitan ilmu tafsir dengan ilmu tauhid
-        Kaitan surat al-Fatihah dengan ilmu tauhid
[1] Kaitan Antara Tafsir, Hadits, dan Fikih
Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa poros ilmu agama adalah pada ketiga ilmu ini, yaitu: tafsir, hadits, dan fikih. Dan sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para ulama juga bahwasanya hakikat ilmu tafsir adalah penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan memadukan kedua pengertian ini dapatlah kita simpulkan bahwa sesungguhnya keberadaan ilmu hadits dan fikih juga memiliki fungsi yang sama, yaitu menjelaskan kandungan al-Qur’an. Dengan kata lain, pada dasarnya ilmu hadits dan fikih adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu tafsir. Sehingga orang yang mempelajari hadits dan fikih pun pada hakikatnya sedang mempelajari tafsir.
Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan penjelas dan pemberi keterangan tambahan terhadap apa-apa yang telah dijelaskan secara global di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu tidak mungkin bisa memahami maksud al-Qur’an dengan baik dan sempurna jika tidak merujuk kepada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di sisi lain, untuk memahami secara detil aturan-aturan hukum dan tata cara ibadah yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadits maka dibutuhkan ilmu fikih yang telah menyusun hal itu secara lebih sistematis dan spesifik. Dengan mempelajari fikih itulah kita akan bisa memahami bagaimana tata cara beribadah dan bermuamalah yang perintahkan oleh Allah ta’ala dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada umatnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) adz-Dzikr (al-Qur’an) supaya kamu jelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka itu dan mudah-mudahan mereka mau memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik untuk kalian, yaitu bagi siapa saja yang berharap kepada Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 80)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidak lain apa yang diucapkannya itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”(QS. An-Najm: 3-4)
[2] Pengertian Istilah Hadits
Hadits secara bahasa bermakna sesuatu yang baru, kebalikan dari sesuatu yang lama. Adapun hadits dalam istilah para ulama ahli hadits adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, ataupun sifat. Terkadang hadits juga disebut dengan istilah lain, yaitu sunnah, khabar, dan atsar (lihat al-Hadits an-Nabawi, Dr. Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, hal. 137-138)
[3] Pengertian Istilah Fikih
Secara bahasa fikih artinya pemahaman. Sehingga fikih menurut perspektif bahasa lebih luas daripada fikih menurut istilah ulama fikih (lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 13 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah)
Adapun secara istilah, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa fikih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at yang bersifat cabang/furu’ disertai dengan dalil-dalilnya dari al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas (lihat Ibhaj al-Mu’minin bi Syarhi Manhajis Salikin [1/41] karya Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahullah).
Sebagian ulama yang lain, berpendapat bahwa penggunaan istilah furu’ untuk ilmu fikih kurang tepat. Menurut mereka pembagian hukum Islam menjadi ushul dan furu’ adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena ia tidak memiliki landasan dari al-Kitab maupun as-Sunnah. Misalnya, berdasarkan pembagian ini sebagian orang memasukkan sholat dalam kategori perkara furu’. Padahal, sholat termasuk perkara ushul (pokok) yang sangat mendasar. Oleh sebab itu Syaikh Utsaimin rahimahullah memilih mendefinisikan fikih sebagai: mengetahui hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah -bukan furu’- dengan dalil-dalilnya yang terperinci (lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 13)
Meskipun demikian, sebenarnya para ulama salaf tidak membatasi penggunaan istilah fikih hanya pada hukum-hukum amaliah. Bahkan mereka pun menyebut ilmu akidah sebagian bagian dari ilmu fikih, atau biasa dikenal dengan sebutan fikih akbar. Oleh sebab itu sebagian ulama masa kini seperti Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menyusun sebuah buku dalam masalah akidah dengan judul Fiqh al-Asma’ al-Husna (lihat kitab beliau tersebut, hal. 11)
[4] Kaitan Ilmu Tafsir Dengan Ilmu Tauhid
Para ulama menjelaskan, bahwa sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an jika dicermati secara seksama maka ia tidak pernah keluar dari pembicaraan seputar tauhid. Sebab, ayat al-Qur’an itu terdiri dari beberapa bentuk pembahasan:
-        Ayat-ayat yang berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid al-’ilmi al-khabari (tauhid ini telah mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat)
-        Ayat-ayat yang berisi seruan untuk beribadah kepada Allah semata dan ajakan untuk mencampakkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa disebut dengan istilah tauhid al-iradi ath-thalabi (disebut juga tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah)
-        Ayat-ayat yang berisi perintah dan larangan serta pengharusan untuk taat kepada-Nya, maka ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya (huquuqut tauhid wa mukammilaatuhu). Inilah yang biasa dikenal dengan istilah hukum syari’at atau fikih
-        Ayat-ayat yang berisi pemberitaan mengenai kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah berikan kepada mereka sewaktu di dunia dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka kelak di akhirat. Maka itu semua merupakan balasan atas ketauhidan yang telah diwujudkan oleh mereka selama hidup di dunia
-        Ayat-ayat yang berisi berita tentang orang-orang musyrik serta hukuman yang Allah timpakan kepada mereka ketika di dunia dan siksaan yang Allah berikan untuk mereka kelak di akhirat. Maka ini merupakan balasan setimpal bagi orang yang menyimpang dari hukum tauhid (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 89 takhrij Syaikh al-Albani dan Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 15)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa terdapat kaitan yang sangat erat antara ilmu tafsir al-Qur’an dengan tauhid. Karena pada hakikatnya seluruh ayat al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, walaupun dari sudut yang berlainan. Bukankah di dalam al-Qur’an kita sering mendapati penyebutan nama-nama dan sifat-sifat-Nya? Bukankah di dalam al-Qur’an pula kita bisa menemukan bagaimana kisah-kisah para pejuang tauhid dan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka? Bukankah di dalam al-Qur’an pun kita temukan cerita tentang surga yang itu hanya akan dimasuki oleh orang yang bertauhid? Bukankah di dalam al-Qur’an kita juga menjumpai cerita tentang dahsyatnya neraka yang itu akan menjadi tempat tinggal tetap bagi orang yang tidak bertauhid?
[5] Kaitan Surat al-Fatihah Dengan Ilmu Tauhid
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah memaparkan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, balasan atasnya, dan juga membicarakan tentang syirik, pelakunya dan hukuman atas mereka. Maka, Alhamdulillahi Rabbil ‘alaminadalah tauhid. Ar-Rahmanir Rahim juga tauhid. Maaliki yaumid diin pun tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in pun tentang tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim pun mengajarkan tauhid yang di dalamnya berisi permohonan petunjuk menuju jalan orang yang bertauhid. Mereka itulah Alladzina an’amta ‘alaihim. Adapun Ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin adalah orang-orang memisahkan diri dari tauhid (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 89-90)
Dari sinilah, maka kita bisa memahami betapa agungnya surat al-Fatihah ini. Di dalamnya terkandung pokok-pokok ajaran Islam, pokok-pokok ajaran tauhid. Mentauhidkan Allah sebagai satu-satunya Rabb, yang mencipta, memelihara, mengatur dan menguasai alam semesta. Mentauhidkan Allah sebagai pemilik nama-nama dan sifat-sifat yang terindah, yang tidak diserupai oleh makhluk-Nya. Mentauhidkan Allah dalam hal ibadah, dalam hal isti’anah/memohon pertolongan. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantungnya hati, tumpuan rasa takut dan harapan, puncak rasa cinta dan perendahan diri. Menjadikan hidayah kepada tauhid sebagai cita-cita terbesar dan kenikmatan yang senantiasa diidam-idamkan. Dan menjadikan penyimpangan dari tauhid sebagai musibah dan malapetaka yang paling dikhawatirkan. Allahul musta’aan.
Kesimpulan:
1.  Ilmu hadits dan fikih memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu tafsir
2.  Hadits merupakan penafsiran ajaran al-Qur’an dalam kehidupan
3.  Fikih merupakan penjelasan terhadap hukum-hukum al-Qur’an
4.  Ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan ilmu tafsir karena inti ajaran al-Qur’an adalah tauhid
5.  Surat al-Fatihah adalah surat yang berisi pokok-pokok ajaran tauhid


Mukadimah Ketiga
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Rujukan dalam menafsirkan al-Qur’an
Penunjukan makna dari suatu lafal/ungkapan
Metode pengambilan tafsir
Hukum menafsirkan al-Qur’an semata-mata dengan logika
Haruskah menguji hadits dengan al-Qur’an?
[1] Rujukan Dalam Menafsirkan al-Qur’an
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur’an dapat diperoleh dengan bersandar kepada hal-hal berikut:
Kalam Allah (al-Qur’an itu sendiri), yaitu suatu ayat diafsirkan oleh ayat yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur’an maka Allah pula yang paling mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya
Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman Allah
Perkataan para sahabat radhiyallahu’anhum, terutama ahli tafsir diantara mereka. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran
Perkataan para tabi’in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena umat manusia yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi’in dan mereka itu lebih bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu, pada masa tabi’in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi’in lebih mendekati kebenaran dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berpaling dari madzhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang bertentangan dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal itu, bahkan tergolong pelaku kebid’ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang boleh jadi kesalahannya itu mendapatkan ampunan.”
Penunjukan makna secara syari’at maupun secara bahasa yang terkandung di dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan antara makna suatu kata dalam istilah syari’at dan pengertian bahasa maka yang lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari’at karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil (lihat Ushul fi at-Tafsir karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 27-29)
[2] Penunjukan Makna Dari Suatu Ungkapan
Para ulama menjelaskan, bahwa suatu lafal atau ungkapan memiliki tiga sisi penunjukan makna (dilalah), yaitu:
Dilalah muthobaqoh; yaitu makna tersurat yang bisa langsung ditangkap dari suatu ungkapan dan menunjukkan kepada keseluruhan makna yang tercakup padanya. Misalnya, kata ‘rumah’ yang menunjukkan makna suatu bangunan lengkap dengan bagian-bagiannya.
Dilalah tadhammun; yaitu makna tersirat yang terkandung di dalam suatu ungkapan dan hanya menunjukkan kepada sebagian makna yang tercakup padanya. Misalnya, kata ‘rumah’ yang menunjukkan keberadaan dinding, atap atau bagian rumah yang lain. Atau kata ‘buku’ yang menunjukkan kepada kertas yang merupakan bagian penyusun buku.
Dilalah iltizam; yaitu makna tersirat yang secara tidak langsung bisa dipetik dari suatu ungkapan dan merupakan konsekuensi sesuatu ungkapan (di luar substansi ungkapan tersebut). Misalnya, nama Allah ar-Rahman yang secara muthobaqohberarti Dzat Yang Maha Penyayang yaitu Allah itu sendiri. Adapun secaratadhammun maka nama ar-Rahman menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat rahmah/kasih sayang dan kasih sayang-Nya maha luas. Apabila dilihat secarailtizam, maka nama ar-Rahman menunjukkan bahwa syari’at yang Allah tetapkan adalah salah satu bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Selain itu, dengan dilalah iltizam -disebut juga dengan dilalah talazum- kita bisa menyimpulkan bahwa Allah ta’ala memiliki sifat hidup, berkuasa, berilmu, berkehendak, dan memiliki kebijaksanaan yang maha sempurna. Karena tidak mungkin Allah bisa mewujudkan rahmat-Nya yang begitu luas dan mencakup seluruh makhluk jika sifat-sifat itu tidak melekat pada diri-Nya (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu bi Tafsir al-Qur’an oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 34-35 dan al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla oleh Kamilah al-Kiwari, hal. 102-104)
[3] Metode Pengambilan Tafsir
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dan pemberi arahan bagi mereka. Pada segala waktu dan masa ia akan tetap menunjukkan kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh sebab itu, wajib bagi kaum muslimin untuk menerima dan mengambil pelajaran dari Kalam Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu’anhum. Sesungguhnya para sahabat, apabila membaca kurang lebih sepuluh ayat, maka mereka tidaklah melampauinya kecuali setelah memahami keimanan, ilmu, dan amalan yang terkandung di dalamnya. Sehingga mereka pun mengejawantahkan kandungan ayat-ayat tersebut ke dalam realitas kehidupan. Apabila ayat itu berisi berita, maka mereka pun meyakini kebenarannya. Apabila ayat itu berisi perintah dan larangan, maka mereka pun menundukkan hawa nafsu mereka kepadanya. Mereka berusaha untuk menerapkan kandungan ayat-ayat tersebut kepada segala kenyataan dan kejadian yang mereka saksikan, baik yang mereka alami sendiri ataupun yang dialami oleh orang lain. Setelah itu, mereka berusaha berintrospeksi diri; apakah mereka sudah melaksanakan kandungan ayat-ayat tersebut dengan baik ataukah justru sebaliknya? Kemudian, mereka mencari cara untuk bisa konsisten melaksanakan amal-amal yang bermanfaat dan bagaimana cara agar bisa menyempurnakan kekurangan yang masih melekat pada dirinya. Mereka pun mencari cara untuk bisa terbebas dari hal-hal yang membahayakan dan mencelakakan dirinya. Dengan cara itulah para sahabat bisa memetik hidayah dari ilmu-ilmu yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka berakhlak dengannya dan beradab dengan adab yang diajarkan olehnya. Mereka meyakini, bahwa al-Qur’an ini adalah ucapan dari Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib maupun yang tampak, suatu ucapan yang ditujukan oleh Allah kepada mereka, sehingga mereka tertuntut untuk memahami makna-maknanya dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Inilah metode para sahabat dalam memahami tafsir (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu bi Tafsir al-Qur’an, hal. 17-18)
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain menuturkan kepada kami, bahwasanya dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah mereka pelajari pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata: Maka kami mempalajari al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus secara bersamaan.” (lihat Ushul fi at-Tafsiroleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
[4] Hukum Menafsirkan Dengan Logika Belaka
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat dari Imam Tirmidzi, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,“Barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan logikanya semata hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2951, beliau mengatakan: hadits hasan). Maksud dari hadits ini adalah; barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an -menafsirkan al-Qur’an- dengan mengemukakan suatu pendapat yang dia mengetahui bahwasanya kebenaran bertentangan dengan pendapatnya itu maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka. Namun, tidaklah termasuk dalam larangan ini siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan kompetensi ilmu syari’at yang dikuasainya, seperti penafsiran dari sisi bahasa, dari sisi ilmu nahwu, dari sisi fikih dan lain sebagainya yang berlandaskan pada kaidah-kaidah ilmiah, karena orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan landasan ilmu-ilmu tersebut tidaklah disebut sebagai orang yang menafsirkan al-Qur’an semata-mata dengan logika (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi rahimahullah [1/57-58])
[5] Haruskah Menguji Hadits Dengan al-Qur’an?
Para ulama membagi hadits dalam kaitannya dengan al-Qur’an menjadi 3 bagian:
as-Sunnah al-Mu’akkidah, yaitu hadits-hadits yang serupa dengan muatan al-Qur’an dari segala sisi, seperti halnya wajibnya sholat karena hal itu telah terbukti berdasarkan dalil al-Kitab maupun as-Sunnah
as-Sunnah al-Mubayyinah atau al-Mufassirah, yaitu hadits-hadits yang menjelaskan secara rinci sesuatu yang disebutkan secara mujmal/global oleh al-Qur’an
as-Sunnah al-Istiqlaliyah atau az-Za’idah, yaitu hadits-hadits yang memberikan tambahan keterangan yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an, seperti mengharamkan sesuatu yang didiamkan hukumnya oleh al-Qur’an atau mewajibkan sesuatu yang didiamkan hukumnya oleh al-Qur’an (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 123 oleh Dr. Muhammad bin Husain al-Jizanihafizhahullah)
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat dari Abu Dawud dari al-Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuatu yang serupa dengannya bersamanya. Ketahuilah, hampir-hampir ada orang yang kekenyangan seraya berbaring di atas pembaringannya lalu dia mengatakan: Cukuplah kalian berpegang dengan al-Qur’an. Apa saja yang kalian temukan di dalamnya sesuatu yang halal maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian temukan di dalamnya sesuatu yang haram maka haramkanlah…” (HR. Abu Dawud no. 4604) (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/65])
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya hadits tidak perlu diuji atau dibandingkan terlebih dulu dengan al-Kitab (al-Qur’an), karena hadits itu apabila ia telah terbukti keabsahan riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjadi hujjah dengan sendirinya.” Beliau berkata, “Adapun riwayat yang dibawakan oleh sebagian orang bahwa beliau bersabda: “Apabila datang kepada kalian suatu hadits maka ujilah ia dengan Kitabullah. Apabila ia sesuai dengannya maka ambillah. Dan apabila ia tidak cocok maka tolaklah ia.” Maka ini adalah hadits yang batil, tidak ada sumbernya sama sekali.”(lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/66])
Kesimpulan:
1.Dalam menafsirkan al-Qur’an harus memperhatikan penjelasan dari ayat dan hadits serta keterangan para ulama
2.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in (salafus shalih) adalah generasi yang lebih memahami tafsir al-Qur’an daripada generasi sesudahnya
3.Merenungi kandungan al-Qur’an akan membuahkan banyak manfaat dalam kehidupan
4.Tujuan mempelajari al-Qur’an adalah untuk memetik kandungan ilmu, amal, dan iman
5.Mempelajari al-Qur’an dilakukan secara bertahap
6.Tidak boleh menafsirkan al-Qur’an semata-mata bermodal logika dan mengabaikan syari’at
7.Hadits memiliki peranan yang sangat besar dalam menjelaskan dan memberikan keterangan tambahan terhadap hukum-hukum al-Qur’an

Mukadimah Keempat
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Kewajiban mengikuti manhaj para sahabat
Cara salafus shalih mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah
Ahli tafsir diantara para sahabat dan tabi’in
Salafus shalih adalah imam dalam ilmu dan amal
Ilmu-ilmu yang menopang ilmu tafsir
[1] Kewajiban Mengikuti Manhaj Sahabat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya…” (QS. At-Taubah: 100)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan menelantarkan dia dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam Jahannam. Sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)
Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18). Ibnu Katsir rahimahullahmenyebutkan di dalam tafsirnya [7/262] bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan- adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)
Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Ayat-ayat di atas membimbing kita untuk mengikuti mereka dengan baik. Jalan yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah sumber kesesatan. Adapun istilahsalafi merupakan penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansaab dan adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ Seperti contohnya pujian adz-Dzahabi terhadap Imam ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalah seorang salafi.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim)
Salafiyah adalah sebuah manhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam hal tazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)
Syaikhul Islam mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia dengannya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16)
[2] Cara Salafus Shalih Mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah
Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami tidaklah mempelajari sepuluh ayat lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami pelajari apa yang terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyepakatinya (lihat catatan kaki al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])
Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya di dalam al-Mushannaf, dari Abu Abdirrahman as-Sulami. Beliau berkata, “Dahulu apabila kami mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, maka tidaklah kami mempelajari sepuluh ayat berikutnya sampai kami memahami kandungan halal dan haram, serta perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya.”(disebutkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])
Imam Abu Bakar al-Anbari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas’udradhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Sesungguhnya kami mengalami kesulitan dalam menghafalkan al-Qur’an tetapi mudah bagi kami mengamalkannya. Dan kelak akan datang kaum setelah kami, ketika itu begitu mudah menghafalkan al-Qur’an tetapi sulit bagi mereka mengamalkannya.” (disebutkan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/69])
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ulama hadits berpesan, tidak semestinya seorang penimba ilmu hadits mencukupkan diri dengan mendengar dan mencatat hadits tanpa mengetahui dan memahami kandungannya. Sebab hal itu akan membuang tenaganya dalam keadaan dia tidak mendapatkan apa-apa. Hendaknya dia menghafalkan hadits secara bertahap. Sedikit demi sedikit seiring dengan perjalanan siang dan malam.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])
Ma’mar mengatakan: Aku pernah mendengar az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara instan maka ia akan hilang dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh dengan menekuni satu atau dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])
Tatkala begitu banyak orang yang menimba hadits pada masa al-A’masy maka ada yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau menjawab, “Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya akan mati. Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Dan sepertiganya lagi, dari setiap seratus orang hanya akan ada satu orang yang berhasil -menjadi ulama-.”(lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah oleh Hatim bin ‘Arif al-’Auni hafizhahullah, hal. 28)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu hendaklah dia mendalaminya dengan baik, supaya ilmu-ilmu yang rumit tidak menjadi sirna.” (lihatNasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)
Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)
[3] Ahli tafsir diantara para sahabat dan tabi’in
Diantara para sahabat yang masyhur sebagai ahli tafsir adalah keempat khalifah sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja riwayat tafsir dari ketiga khalifah yang pertama tidak sebanyak riwayat tafsir yang dibawakan oleh ‘Ali bin Abi Thalibradhiyallahu’anhu. Hal itu dikarenakan pada masa itu mereka tersibukkan dengan urusan khilafah dan sedikitnya kebutuhan periwayatan pada masa itu dan juga masih banyak orang yang memahami tafsirnya. Selain itu, para sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir di kalangan para sahabat adalah Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin ‘Abbasradhiyallahu’anhuma (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 33-34)
Adapun para ulama tafsir di kalangan tabi’in cukup banyak, diantara mereka adalah:
Para ulama Mekah yang berguru kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, semacam Mujahid, ‘Ikrimah, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah
Para ulama Madinah yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, semacam Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi.
Para ulama Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, semacam Qotadah, ‘Alqomah, dan asy-Sya’bi (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 37)
[4] Salafus Shalih adalah imam dalam ilmu dan amal
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 142). Beliau juga mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22).
Oleh sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)
[5] Ilmu-ilmu yang menopang ilmu tafsir
Untuk bisa memahami ilmu tafsir dengan baik, maka dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang menjadi penopang dan pendukung atasnya, antara lain:
Ilmu akidah atau tauhid, hal ini akan membentengi diri dari penyimpangan akidah
Ilmu as-Sunnah atau hadits beserta fikihnya, sebagai penjelas terhadap ajaran al-Qur’an
Ilmu bahasa arab -terutama nahwu dan shorof- dan ushul fikih (lihat Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’anoleh Manna’ al-Qaththan, hal. 329-331 dengan ringkas dan sedikit penambahan)
Kesimpulan:
1.Wajib mengikuti metode salafus shalih dalam memahami tafsir al-Qur’an
2.Metode yang benar dalam memahami tafsir al-Qur’an adalah dengan memahami kandungan ayat dan hadits secara bertahap, sedikit demi sedikit, dan terus-menerus sampai mati
3.Diantara para sahabat yang masyhur dalam hal tafsir adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhum beserta murid-murid mereka dari kalangan tabi’in seperti Qotadah, Mujahid, dan Abul ‘Aliyah rahimahumullah
4.Salafus shalih tidak hanya menjadi teladan dalam hal ilmu, namun mereka juga menjadi teladan dalam hal amal. Sebab ilmu merupakan sarana menuju amal
5.Diantara ilmu terpenting yang harus dikaji bagi orang yang ingin mendalami tafsir adalah ilmu tauhid, hadits, fikih, ushul fikih, dan bahasa arab. Diantara itu semua maka kaidah bahasa arab (nahwu dan shorof) adalah kunci untuk memahami ilmu-ilmu syari’at yang lain


Mukadimah Kelima
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai keutamaan surat al-Fatihah:
-        Surat paling agung
-        Rukun dalam sholat
-        Bacaan untuk meruqyah
-        Induk ayat-ayat al-Qur’an
-        Rahasia ajaran al-Qur’an
[1] Surat Paling Agung
Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung di dalam al-Qur’an, sebelum kamu keluar masjid?”. Lalu beliau menggandeng tanganku, ketika kami hendak keluar aku berkata, “Wahai Rasulullah! Tadi anda berkata: Aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam al-Qur’an?”. Beliau pun bersabda,“Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (surat al-Fatihah), itulah tujuh ayat yang diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan bacaan yang agung (al-Qur’an al-’Azhim) yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5006])
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidaklah Allah menurunkan di dalam Taurat, Injil, maupun al-Qur’an, sesuatu yang menyamai Ummul Kitab; yaitu as-Sab’u al-Matsani.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab ash-Sholah [501] sanadnya sahih)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengaruniakan kepadamu (Muhammad) as-Sab’u al-Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan al-Qur’an al-’Azhim (bacaan yang agung).” (QS. al-Hijr: 87)
Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Ibnu Abi Mulaikah, Hasan al-Bashri, Mujahid, Qotadah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Hajar, dan lain-lain menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan as-Sab’u al-Matsani adalah surat al-Fatihah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/382], al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/293], Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [10/245], Fath al-Bari [8/184], Syarh as-Sunnah [3/50])
[2] Rukun Sholat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang mengerjakan sholat dan tidak membaca Ummul Qur’an (surat al-Fatihah) di dalamnya maka sholat itu pincang.” Beliau mengatakannya tiga kali. Pincang artinya tidak sempurna (HR. Muslim dalam Kitab ash-Sholah [395])
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah).”(HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan [756] dan Muslim dalam Kitab ash-Sholah [394]). Dalam riwayat Muslim juga diriwayatkan dengan lafal, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an.”
Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya membaca surat al-Fatihah dalam sholat, dan bahwasanya ia termasuk rukun; sholat tidak sah tanpanya. Dan menurut pendapat yang benar ia wajib dibaca dalam setiap raka’at, berdasarkan hadits orang yang keliru sholatnya dimana Nabi bersabda, “Kemudian lakukanlah itu dalam semua sholatmu.” (HR. Bukhari [724] dan Muslim [397]).” (lihat Taudhih al-Ahkam[1/664], lihat juga keterangan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarh al-Mumti’ [2/82-85] atauShifat ash-Sholah hal. 70, dan keterangan Syaikh al-Albani dalam Talkhish Shifat Sholat Nabi, hal. 17)
[3] Bacaan Untuk Meruqyah
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika sekelompok Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam perjalanan. Kemudian mereka melewati sebuah kabilah arab. Mereka meminta disambut seperti layaknya tamu, tetapi permintaan itu ditolak oleh kabilah tersebut. Namun, setelah itu mereka bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang pandai meruqyah? Karena pemimpin kabilah terkena sengatan binatang berbisa atau tertimpa musibah.” Salah seorang lelaki diantara rombongan pun berkata, “Iya.” Dia pun mendatanginya dan meruqyahnya dengan Fatihatul Kitab hingga sembuh. Setelah itu diberikanlah sejumlah kambing sebagai upah atasnya, tetapi orang itu enggan menerimanya. Dia mengatakan, “Tidak, sampai aku ceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak meruqyah kecuali dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) saja.” Beliau pun tersenyum seraya bersabda, “Darimana kamu tahu bahwa ia adalah ruqyah?”. Kemudian beliau memerintahkan, “Ambillah pemberian mereka, dan sisihkan juga jatahku bersama kalian.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an[5007] dan Muslim dalam Kitab as-Salam [2201])
Ibnu Hajar menukil penjelasan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim berkata, “Apabila terbukti bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan manfaat maka bagaimana lagi dengan ucapan Rabbul ‘alamin. Apalagi al-Fatihah; yang tidaklah diturunkan di dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab yang lain suatu surat yang semisal dengannya. Sebab surat ini telah mengandung segala kandungan makna kitab suci. Ia mengandung penyebutan pokok-pokok nama Allah dan simpul utamanya. Ia juga mengandung penetapan adanya negeri akherat, penyebutan tauhid dan kebutuhan yang sangat besar terhadap Rabb (Allah) untuk memberikan pertolongan dan hidayah kepadanya. Ia juga menyebutkan doa yang paling utama yaitu permintaan hidayah menuju jalan yang lurus; yang merangkum kesempurnaan ma’rifat kepada-Nya, pengesaan kepada-Nya, dan beribadah kepada-Nya dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya serta istiqomah di atasnya. Surat ini pun bercerita tentang berbagai kelompok manusia dan pengklasifikasian mereka menjadi: Golongan yang diberikan nikmat yaitu yang mengenali kebenaran dan mengamalkannya, Golongan yang dimurkai karena mereka berpaling dari kebenaran setelah mengetahuinya, dan Golongan yang tersesat karena tidak mengetahui kebenaran. Selain itu surat ini juga mengandung penetapan takdir, syari’at, nama-nama Allah, hari kiamat, taubat, penyucian jiwa, perbaikan hati, dan bantahan bagi semua kelompok ahlul bid’ah. Maka sangatlah pantas bagi sebuah surat yang sebagian  keutamaannya saja sudah semacam ini untuk digunakan sebagai obat bagi segala macam penyakit, wallahu a’lam.” (lihat Fath al-Bari [10/224] cet. Dar al-Hadits)
[4] Induk Ayat-Ayat al-Qur’an
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ummul Qur’an itu adalah tujuh ayat yang sering diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan al-Qur’an al-’Azhim (bacaan yang agung).” (HR. Bukhari dalam Kitab Tafsir al-Qur’an [4704]) (lihat juga Tafsir al-Imam asy-Syafi’i [1/188-189,192] cet. Dar at-Tadmuriyah, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/382] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ia juga disebut dengan Ummul Qur’an/Induk al-Qur’an; sebab induk dari sesuatu itu adalah pokok/sumber yang menjadi tempat kembali/rujukan sesuatu tersebut. Makna-makna ayat al-Qur’an semuanya kembali kepada apa yang terkandung di dalam surat ini.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 6 cet. Dar al-Imam Ahmad, lihat juga Fath al-Bari [8/181] cet. Dar al-Hadits)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menerangkan, bahwa dakwah seluruh para nabi ‘alaihimus salam memiliki tiga pokok landasan yang serupa dan ketiga hal itu pun menjadi fokus perhatian al-Qur’an serta maksud utama yang tersimpan di dalamnya. Ketiga hal itu adalah: tauhid, nubuwwat/kenabian, dan al-Ma’aad/hari kebangkitan setelah kematian atau mengimani hari pembalasan (lihat Manhaj al-Anbiyaa’ fi ad-Da’wah ila Allah, hal. 38-39)
[5] Menyimpan Rahasia Ajaran al-Qur’an
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in’. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwa Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123). Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (QS. Hud: 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])
Kesimpulan:
1.Al-Fatihah merupakan surat paling agung dalam al-Qur’an
2.Al-Fatihah wajib dibaca setiap kali sholat, tidak sah sholat tanpanya
3.Al-Fatihah bisa digunakan untuk mengobati orang yang sakit
4.Al-Fatihah mengandung intisari kandungan ajaran para nabi yaitu tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan
5.Al-Fatihah menyimpan rahasia ajaran Islam yaitu ibadah dan tawakal

Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
Nama-nama surat al-Fatihah
Waktu turunnya surat al-Fatihah
Jumlah ayat dalam surat al-Fatihah
Apakah basmalah termasuk al-Fatihah?
Membaca basmalah dengan lirih
[1] Nama-Nama Surat al-Fatihah
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan nama-nama yang dipakai para ulama untuk menyebut surat yang agung ini:
-al-Fatihah (pembuka); maksudnya adalah pembuka al-Kitab
-Ummul Kitab (induk al-Kitab)
-Ummul Qur’an (induk al-Qur’an)
-al-Hamdu (pujian)
-ash-Sholah (pilar dalam sholat)
-ar-Ruqyah (bacaan untuk mengobati)
-Asas al-Qur’an
-al-Waqiyah (penjaga)
-al-Kafiyah (yang mencukupi) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/101] cet. Dar Thaibah)
[2] Waktu Turunnya Surat al-Fatihah
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Inilah yang dipegang oleh Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Abul ‘Aliyah. Sebagian ulama lain, semacam Abu Hurairah, Mujahid, Atho’ bin Yasar, dan az-Zuhri, berpendapat bahwa al-Fatihah turun di Madinah. Ada pula yang berpendapat bahwa ia turun dua kali, sekali di Mekah dan sekali di Madinah. Namun, pendapat yang tepat adalah surat ini diturunkan di Mekah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),“Sungguh telah Kami berikan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang.” (QS. Al-Hijr: 87). Karena surat al-Hijr ini turun di Mekah dengan kesepakatan para ulama (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/101] cet. Dar Thaibah dan Tafsir al-Qurthubi [1/177])
[3] Jumlah Ayat Dalam Surat al-Fatihah
Imam al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, bahwa umat Islam telah sepakat bahwasanya surat al-Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat. Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an[1/176] dan Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/101])
[4] Apakah Basmalah Termasuk Dalam al-Fatihah?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Aku telah membagi sholat -surat al-Fatihah- antara diri-Ku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.”Apabila hamba itu membaca alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, maka Allah ta’ala berfirman,“Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Apabila dia membaca ar-Rahmanir Rahim, maka Allah ta’alaberfirman, “Hamba-Ku telah menyanjung diri-Ku.” Apabila dia membaca maaliki yaumid din, maka Allah ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah mengagungkan diri-Ku.” Apabila dia membacaiyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, maka Allah berfirman, “Inilah bagian untuk-Ku dan sebagian lagi untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan apa yang dia minta.”Apabila dia membaca ihdinash shirathal mustaqim shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wal ladh dhaalliin, maka Allah berfirman, “Inilah bagian hamba-Ku, dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan apa yang dia minta.” (HR. Muslim no. 395)
Syaikh Abdullah al-Bassam berkata, “Ini adalah dalil yang sahih dan sangat jelas yang menunjukkan bahwasanya basmalah bukan termasuk al-Fatihah, oleh sebab itu ia tidak disebutkan. Pendapat inilah yang lebih kuat dan benar, wallahu a’lam.” (lihat Taudhih al-Ahkam [1/671]). Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan riwayat paling jelas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwabismillahirrahmaanirrahiim bukan termasuk ayat dalam surat al-Fatihah, sehingga ia mejadi pemutus bagi masalah yang diperselisihkan.” (lihat al-Istidzkar [4/202])
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Surat al-Fatihah ada tujuh ayat. Tiga setengah ayat untuk Allah; yaitu berisi sanjungan kepada Allah. Adapun tiga setengah ayat berikutnya untuk hamba; yaitu dimulai dari firman-Nya ‘wa iyyaka nasta’in’ hingga akhir surat.” (lihatSyarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 6 cet. Dar al-Imam Ahmad)
Meskipun demikian, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa basmalah termasuk al-Fatihah. Imam Ibnu Khuzaimah di dalam kitab Shahihnya membuat bab dengan judul,“Bab. Penyebutan Dalil Yang Menunjukkan Bahwa Bismillahirrahmanirrahim Adalah Ayat Dari Fatihatul Kitab (Surat al-Fatihah).” Kemudian beliau menyebutkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha. Beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdi dalam sholat membaca bismillahirrahmanirrahim. Beliau menganggapya satu ayat.alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, dua ayat. Adapun Iyyaka nasta’in maka beliau -Ummu Salamah- mengumpulkan kelima jarinya -maksudnya ayat kelima, pent- (HR. Ibnu Khuzaimah no. 493)
Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Rahawaih, Abu Tsaur, dan Abu ‘Ubaid juga berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat al-Fatihah. Ishaq bin Manshur berkata: Aku pernah bertanya kepada Ishaq bin Rahawaih, “Apabila seseorang melakukan beberapa kali sholat dengan tidak membaca bismillahirrahmaanirrahiim beserta alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, bagaimana?”. Beliau menjawab, “Dia harus mengulang semua sholat tersebut.” (lihatal-Istidzkar [4/206])
[5] Melirihkan Bacaan Basmalah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Aku tidak pernah mendengar seorang pun diantara mereka membaca bismillahirrahmaanirrahiim.” (HR. Bukhari no. 743 dan Muslim no. 399, lafal Muslim). Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Anas bin Malikradhiyallahu’anhu berkata, “Aku telah sholat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Tidaklah aku mendengar seorang pun diantara mereka yang mengeraskan bacaan bismillahirrahmaanirrahiim.” (HR. an-Nasa’i no. 907, ad-Daruquthni no. 1199, Ibnu Khuzaimah no. 495, sanadnya disahihkan Syaikh al-Albani, dan haditsnya disahihkan pula oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dkk. lihat Sunan ad-Daruquthni [2/91] cet. ar-Risalah)
Imam at-Tirmidzi berkata, “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan yang lainnya. Dan juga diamalkan olah para tabi’in sesudah mereka. Inilah yang dianut oleh Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu mengeraskan bacaan bismillahirrahmaanirrahim. Mereka berkata; hendaknya dia membacanya dalam dirinya sendiri.” (lihat Sunan at-Tirmidzi, hal. 70 cet. Maktabah al-Ma’arif)
Di dalam al-Istidzkar [4/212] Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu tidak mengeraskan bacaanbismillahirrahmaanirrahiim akan tetapi beliau mengeraskan bacaan alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no. 2601). Dari Ikrimah, Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma berkata, “Mengeraskan bacaan bismillahirrahmaanirrahim adalah bacaan orang arab badui.” (HR. Abdurazzaq dalam al-Mushannaf no. 2605)
Abu ath-Thayyib berkata, “Adapun mengeraskan bacaan basmalah memang diriwayatkan bahwa hal itu dilakukan oleh sekelompok kaum salaf. Dalam Syarh Tirmidzi, Ibnu Sayyidin Nas telah menyebutkan deretan nama-nama mereka dan nama-nama ulama lain yang berpendapat melirihkan bacaannya. Pendapat yang benar adalah hadits-hadits yang menunjukkan melirihkan bacaan sangat kuat dari segi sanad. Maka pendapat terpilih adalah melirihkan bacaan, meskipun mengeraskannya juga diperbolehkan…” (lihat Sunan ad-Daruquthni beserta at-Ta’liq al-Mughni ‘ala ad-Daruquthni [2/91] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Syaikh al-Utsaimin menjelaskan bahwa pendapat yang terkuat adalah tidak mengeraskanbasmalah. Sehingga yang lebih sesuai tuntunan adalah membacanya dengan lirih; sebab ia bukanlah termasuk al-Fatihah. Kemudian, apabila seorang kadang-kadang mengeraskannya maka hal itu tidaklah mengapa menurut pendapat sebagian ulama. Walaupun sebenarnya yang secara tegas terbukti berdasarkan riwayat adalah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeraskannya. Inilah yang lebih utama untuk diikuti. Akan tetapi, seandainya ada orang yang mengeraskannya dalam rangka menjaga persatuan bersama suatu kaum yang bermadzhab mengeraskannya, mudah-mudahan hal itu tidak mengapa (lihat Fatawa Arkan al-Islam, hal. 316-317, lihat juga keterangan yang indah dari Imam az-Zaila’i dalam Nashbu ar-Rayah [1/328] cet. Mu’assasah ar-Rayyan)
Kesimpulan:
1.Surat al-Fatihah memiliki banyak nama, dan hal ini menunjukkan keagungan surat ini. Sebagaimana hari kiamat memiliki banyak nama, yang menunjukkan betapa agung dan besarnya peristiwa di hari kiamat nanti.
2.al-Fatihah termasuk surat Makiyah; yaitu surat yang diturunkan di Mekah sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dan sebagaimana mayoritas ayat-ayat Makiyah, surat al-Fatihah berisi penekanan tentang tauhid dan hari kebangkitan
3.al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah basmalah termasuk surat al-Fatihah atau bukan. Pendapat yang lebih dikuatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah dan para ulama yang lain bahwasanya basmalah bukan termasuk bagian dari surat al-Fatihah
4.Meskipun bukan termasuk bagian surat al-Fatihah, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk membaca basmalah sebelum membaca surat al-Fatihah dengan lirih sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dipraktekkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’inAllahu a’lam

Sumber:
http://abumushlih.com/tafsir-al-fatihah









You Might Also Like

1 komentar