Tujuh belas kali dalam sehari semalam




AL FAATIHAH
(Pembukaan)
MUQADDIMAH
Surat “Al Faatihah” (Pembukaan) yang diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat adalah surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surat-surat yang ada dalam Al Qur’an dan termasuk golongan Surat Makkiyyah.
Surat ini disebut “Al Faatihah” (Pembukaan), karena dengan surat inilah dibuka dan dimulainya Al Qur’an.
Dinamakan “Ummul Qur’an” (induk Al Qur’an) atau “Ummul Kitaab” (induk Al Kitaab) karena dia merupakan induk bagi semua isi Al Qur’an, serta menjadi inti sari dari kandungan Al Qur’an dan karena itu diwajibkan membacanya pada tiap-tiap shalat. Dinamakan pula “As Sab’ul matsaany” (tujuh yang berulang-ulang) karena ayatnya tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.
Surat ini mengandung beberapa unsur pokok yang mencerminkan seluruh isi Al Qur’an, yaitu:
1. Keimanan:
Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat dalam ayat 2, di mana dinyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan ucapan syukur atas sesuatu ni’mat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber segala ni’mat yang terdapat dalam alam ini.
Di antara ni’mat itu ialah: ni’mat menciptakan, ni’mat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata “Rabb” dalam kalimat “Rabbul-’aalamiin tidak hanya berarti “Tuhan” dan “Penguasa”, tetapi juga mengandung arti tarbiyah yaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala ni’mat yang dilihat oleh seorang dalam dirinya sendiri dan dalam segala alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhanlah Yang Maha Berkuasa di alam ini. Pendidikan, penjagaan dan penumbuhan oleh Allah di alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka di dalam surat Al Faatihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu: Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Yang dimaksud dengan “Yang menguasai hari pembalasan” ialah pada hari itu Allahlah Yang berkuasa, segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya sambil mengharap ni’mat dan takut kepada siksaan-Nya.
Hal ini mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. “Ibadat” yang terdapat pada ayat 5 semata-mata ditujukan kepada Allah, selanjutnya lihat catatan ayat 5 surat Al Faatihah.
2. Hukum-hukum:
Jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maksud “hidayah” di sini ialah hidayah yang menjadi sebab dapatnya keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, baik yang mengenai keyakinan maupun akhlak, hukum-hukum dan pelajaran.
3. Kisah-kisah:
Kisah para nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang Allah. Sebahagian besar dari ayat-ayat Al Qur’an memuat kisah-kisah para nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang Allah. Yang dimaksud dengan orang yang diberi ni’mat dalam ayat ini, ialah para nabi, para shiddieqiin (orang-orang yang sungguh-sungguh beriman), syuhadaa (orang-orang yang mati syahid), shaalihiin (orang-orang yang saleh).
Orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat, ialah golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Perincian dari yang telah disebutkan di atas terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an pada surat-surat yang lain.

AL-FAATIHAH (PEMBUKAAN)
Surat ke 1 : 7 ayat
JUZ 1
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1]
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3]
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
مَـالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
4. Yang menguasai[4] hari pembalasan[5]
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah[6] dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan[7]
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
6. Tunjukilah kami[8] jalan yang lurus,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni‘mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (orang-orang yang mengetahui kebenaran dan meninggalkannya), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena ketidaktahuan dan kejahilan).
[9]
PENUTUP
Surat “Al Faatihah” ini melengkapi unsur-unsur pokok syari’at Islam, kemudian dijelaskan perinciannya oleh ayat-ayat Al Qur’an yang 113 surat berikutnya.
Persesuaian surat ini dengan surat “Al Baqarah” dan surat-surat sesudahnya ialah surat Al Faatihah merupakan titik-titik pembahasan yang akan diperinci dalam surat Al Baqarah dan surat-surat yang sesudahnya.
Di bahagian akhir surat “Al Faatihah” disebutkan permohonan hamba supaya diberi petunjuk oleh Tuhan ke jalan yang lurus, sedang Surat “Al Baqarah” dimulai dengan penunjukan “Al Kitab” (Al Qur’an) yang sempurna sebagai pedoman menuju jalan yang dimaksudkan itu.

(1) Berarti: saya memulai membaca Al Faatihah ini dengan menyebut nama Allah. Tiap-tiap pekerjaan yang baik itu hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah, seperti: makan, minum, menyembelih binatang untuk dimakan dan sebagainya. Allah ialah nama Zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya; yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tetapi makhluk membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu dari nama Allah, yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian, bahwa Allah senantiasa bersifat rahmat yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
(2) Alhamdu (segala puji). Memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakan dengan kemauannya sendiri. Maka memuji Allah berarti: menyanjung-Nya karena perbuatan-Nya yang baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap ni’mat yang diberikannya. Kita menghadapkan segala puji kepada Allah ialah karena Allah adalah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
(3) Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang dita’ati Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara. Lafazh “rabb” tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan kecuali kalau ada sambungannya, seperti: rabbul-bait (tuan rumah). `Alamin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai-bagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
(4) Maalik (Yang menguasai), dengan memanjangkan “mim” ia berarti: pemilik (yang empunya). Dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan “mim”) berarti raja.
(5) Yaumiddin (hari pembalasan): hari yang di waktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa’ dan sebagainya.
(6) Na’budu diambil dari kata ’ibaadat: kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan tentang kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
(7) Nasta‘iin (minta pertolongan), diambil dari kata isti‘aanah: mengharap bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup diselesaikan dengan tenaga sendiri.
(8) Ihdina (tunjukilah kami), diambil dari kata hidaayat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufiq.
(9) Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Segala puji adalah hak Allah, Yang telah mengutus manusia-manusia pilihan untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Shalawat dan keselamatan kita panjatkan untuk Nabi kita, teladan dan panutan kita, Muhammad bin Abdullah al-Qurasyi, demikian juga kepada para sahabatnya dan pengikut jalan hidup mereka.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. al-Ma’idah : 102).
Amma ba’du. Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan di dalam agama, dan setiap perkara yang diada-adakan -dalam ajaran agama- itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.
Tujuh belas kali dalam sehari, bukanlah angka yang sedikit untuk sebuah perbuatan. Kalau ada orang yang membutuhkan makan dalam sehari semalam sampai tujuh belas kali niscaya akan kita katakan bahwa orang itu kurang normal. Sebab pada umumnya orang hanya makan dua, atau tiga kali dalam sehari semalam. Demikian juga, apabila ada seorang yang mengkonsumsi obat dalam sehari semalam sampai tujuh belas kali, maka niscaya penyakit yang diderita orang itu adalah penyakit yang sangat memerlukan pengobatan secara terus menerus. Demikian pula, apabila seseorang setiap hari meminta sesuatu sebanyak tujuh belas kali, maka tentu saja sesuatu itu sangatlah diperlukan olehnya, lebih daripada kebutuhan orang kepada makan dan minum, atau obat sekalipun.
Saudaraku -semoga Allah membimbing kita- hidayah menuju jalan yang lurus adalah sesuatu yang kita butuhkan setiap saat. Bukankah dalam setiap raka’at shalat kita diperintahkan untuk membaca surat al-Fatihah yang di dalamnya kta berdoa kepada Allah setiap harinya hingga tujuh belas kali, ‘Ihdinas shirathal mustaqim’ (Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus). Jangan anda kira bahwa hidayah itu barang yang sepele dan remeh. Bukankah anda tahu bagaimana kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya yaitu Abu Thalib agar dia mau masuk Islam? Namun ternyata ajakan beliau tidak bisa melunakkan hati pamannya untuk menerima Islam. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari al-Musayyab radhiyallahu’anhu, dia menuturkan bahwa saat kematian akan menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata; ‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman)
Hidayah -ikhwah sekalian- bukan di tangan manusia, akan tetapi ia ada di tangan Rabb yang menguasai dan membolak-balikkan hati manusia. Allah akan membolak-balikkan hati mereka sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh-Nya maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash : 56).
Semoga Allah menetapkan kita di atas jalan yang lurus, jalan Nabi dan para sahabatnya, dalam hal ilmu maupun amal, dalam hal keikhlasan maupun mengikuti tuntunan, dalam hal sabar maupun syukur, dalam hal ucapan maupun perbuatan, ketika sendiri maupun bersama orang. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
http://abumushlih.com / http://abihumaid.wordpress.com

You Might Also Like

0 komentar