Penjelasan Ayat – Ayat Tentang Puasa Dalam Al Quran

Di tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Ayat-ayat tentang puasa dalam al-Quran adalah surat al-Baqoroh dari ayat 183 hingga 187. Berikut ini akan disebutkan penjelasan dari tiap-tiap ayat tersebut.
AYAT KE-183 SURAT AL-BAQOROH
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (Q.S al-Baqoroh:183).
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang:
1. Sikap terhadap seruan : Wahai orang-orang yang beriman….
2. Definisi puasa
3. Puasa telah diwajibkan pula pada umat sebelum kita
4. Tujuan puasa untuk mencapai ketakwaan
PENJELASAN:
Sikap terhadap Seruan : “Wahai Orang-orang yang Beriman….”
Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:
إِذَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ” فَأَرْعِهَا سَمْعَكَ فَإِنَّهُ خَيْرٌ يَأْمُرُهُ، أَوْ شَرٌّ يَنْهَى عَنْهُ
“Jika engkau mendengar Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, maka pasang pendengaran baik-baik karena padanya (pasti terdapat) kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang akan dilarang” (riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’)
Setiap perintah dalam al-Quran pasti mengandung kebaikan, kemaslahatan, keberuntungan, manfaat, keindahan, keberkahan. Sedangkan setiap larangan dalam al-Quran pasti mengandung kerugian, kebinasaan, kehancuran, keburukan (disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir (1/200)).
Definisi Puasa
Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan kepada kalian as-Shiyaam (puasa)
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban puasa bagi orang-orang beriman umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Nanti dalam ayat-ayat berikutnya akan dijelaskan bahwa kewajiban puasa itu tidak untuk seluruh waktu, namun hanya pada hari-hari tertentu saja, yaitu pada bulan Ramadhan.
Puasa (dalam bahasa Arab disebut shiyaam atau shoum) memiliki definisi secara bahasa dan definisi secara syar’i. Definisi puasa secara bahasa adalah ‘menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu’. Dalam al-Quran, ada ayat yang menunjukkan penggunaan definisi puasa secara bahasa. Yaitu, perintah Allah kepada Maryam (ibunda Nabi Isa):
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
…sesungguhnya aku bernadzar puasa untuk arRahman (Allah) sehingga aku tidak akan berbicara pada hari ini dengan manusia manapun (Q.S Maryam:26)
Dalam ayat tersebut, Maryam bernadzar untuk puasa, namun dalam definisi secara bahasa, yaitu ‘menahan diri untuk tidak berbicara’.
Sedangkan definisi puasa secara syar’i adalah:
Beribadah kepada Allah disertai dengan niat dalam bentuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari (asy-Syarhul Mumti’ ala Zaadil Mustaqni’ (6/298)).
Puasa Telah Diwajibkan pula Pada Umat Sebelum Kita
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfiman:
…كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ…
…sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kalian…(Q.S al-Baqoroh:183)
Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa puasa adalah amalan yang diwajibkan tidak hanya bagi kaum muslimin umat Nabi Muhammad saja, namun juga pada umat sebelum kita.
Tidak didapati dalam hadits yang shahih tentang bagaimana tata cara berpuasa umat sebelum kita. Terdapat beberapa hadits, namun lemah. Seperti hadits Daghfal bin Handzhalah diriwayatkan atThobarony dan lainnya yang menyebutkan bahwa awalnya kaum Nashrani berpuasa Ramadhan, kemudian ada raja-raja mereka yang sakit dan bernadzar jika Allah beri kesembuhan akan menambah jumlah hari puasanya. Demikian berlangsung hingga kemudian jumlah hari puasa mereka menjadi 50 hari. Namun hadits tersebut lemah karena Daghfal bin Handzhalah bukanlah Sahabat Nabi menurut Imam Ahmad dan al-Bukhari, sehingga hadits tersebut masuk kategori mursal, terputus mata rantai periwayatannya.
Namun, pernyataan Allah bahwa puasa juga telah diwajibkan atas umat terdahulu memberikan manfaat penting:
1. Penambah semangat bagi kaum mukminin umat Nabi Muhammad, membuat mereka merasa ringan mengerjakan puasa. Karena pewajiban puasa tidak hanya khusus bagi mereka, namun juga umat sebelumnya. Sehingga umat Nabi Muhammad tidak akan berkata: Sungguh berat puasa ini, hanya kami yang dibebani dengan kewajiban ini.
2. Ibadah puasa adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Karena itu, Allah telah mensyariatkannya sejak dulu kala.
3. Pensyariatan puasa pada umat ini adalah yang terakhir kali, sebagai penyempurna terhadap syariat-syariat sebelumnya.
Tujuan Utama Puasa untuk Mencapai Ketakwaan
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfiman:
…لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
…agar kalian bertakwa (Q.S al-Baqoroh:183)
Ayat ini menunjukkan tujuan berpuasa adalah agar tercapai ketakwaan. Ibadah puasa yang dikerjakan dengan sebenarnya akan menghantarkan seseorang pada ketakwaan. Sedangkan ketakwaan adalah penghantar seseorang mendapatkan kesuksesan/ keberhasilan yang hakiki
…وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
… dan bertakwalah kepada Allah agar kalian sukses/ berhasil (Q.S alBaqoroh:189, Ali Imran:130, Ali Imran:200).
Maka tujuan inti dan utama dari berpuasa adalah untuk mencapai ketakwaan. Sedangkan manfaat lain yang akan dirasakan, seperti manfaat secara fisik terhadap tubuh, atau manfaat bagi kehidupan bermasyarakat, itu adalah efek tambahan yang mengikuti (disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam tafsir surat alBaqoroh).
Ayat ke-184 Surat al-Baqoroh
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(pada) hari-hari yang tertentu. Barangsiapa yang sakit atau safar, maka mengganti di hari lain. Bagi orang yang mampu, maka ia membayar fidyah memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (membayar kelebihan), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
PENJELASAN:
Jika Allah menyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa diwajibkan berpuasa bagi orang yang beriman, pada ayat ini dinyatakan bahwa pelaksanaan puasa yang diwajibkan itu bukanlah pada semua hari sepanjang tahun. Namun, hanya pada hari-hari yang ditentukan saja. Allah menyatakan: “(pada) hari-hari yang tertentu”.
Dalam ayat ini Allah juga menjelaskan bahwa tidak semua pihak mendapat kewajiban berpuasa di hari-hari tertentu itu. Bagi yang sedang sakit sehingga tidak bisa berpuasa atau sedang dalam perjalanan (safar), ia bisa mengganti di hari-hari lain selama tidak terlarang berpuasa di hari itu.
Allah menyatakan: …Barangsiapa yang sakit atau safar, maka mengganti di hari lain…
Ada beberapa kalimat dalam ayat ini yang telah dihapuskan hukumnya, yaitu:
Bagi orang yang mampu, maka ia membayar fidyah memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang membayar dengan kelebihan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Dulu, salah satu tahapan pewajiban berpuasa, setiap muslim diberi pilihan. Barangsiapa yang mau bisa berpuasa. Barangsiapa yang tidak berpuasa, bisa membayar fidyah. Jadi, dulunya tidak semua muslim langsung diwajibkan berpuasa.
Allah menyatakan dalam ayat ini, bahwa barangsiapa yang mampu berpuasa namun tidak memilih berpuasa, silakan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Namun, jika ia memilih berpuasa, itu lebih baik.
Membayar fidyah (memberi makan) bisa dalam bentuk siap saji (matang) seperti yang dilakukan oleh Anas bin Malik ketika sudah tua, bisa juga dalam bentuk makanan yang belum matang (bahan mentah makanan pokok), ukurannya setengah sha’, sesuai hadits Nabi dari Ka’ab bin Ujroh:
لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفَ صَاعٍ
…setiap orang miskin (diberi) setengah sho’ (H.R alBukhari no 1688 pada bab al-Ith’aam fil fidyah nishfu sho’ dan Muslim no 2080)
Ukuran setengah sho’ adalah setara dengan kurang lebih 1,5 kg (beras) per hari tidak berpuasa.
Membayar lebih banyak dari ukuran yang ditetapkan itu adalah lebih baik, sebagaimana dinyatakan Allah dalam ayat ini :
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
Barangsiapa yang membayar dengan kelebihan, maka itu adalah lebih baik baginya….
Misalkan, semestinya tanggungan seseorang adalah memberikan 1,5 kg per hari puasa yang ditinggalkan, namun dengan kerelaan hati ia lebihkan. Ia memberikan 3 kg per hari puasa yang ditinggalkan, maka ia termasuk mendapatkan pujian yang disebutkan dalam ayat ini.
Pensyariatan pembayaran fidyah masih terus berlaku bagi yang tidak mampu berpuasa dalam kondisi:
1. Tua renta, tidak mampu lagi berpuasa.
2. Sakit parah yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
3. Hamil atau menyusui, jika mengkhawatirkan keadaan janin atau bayinya.
Pendapat ini diriwayatkan dari beberapa Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar (lihat ad-Durrul Mantsur karya al-Imam as-Suyuthy)
Ayat ke-185 Surat al-Baqoroh
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas-penjelas dari petunjuk dan pembeda. Barangsiapa yang menyaksikan (datangnya) bulan itu maka berpuasalah. Barangsiapa yang sakit atau dalam safar (perjalanan jauh) maka (mengganti) di hari lain. Allah menginginkan bagimu kemudahan dan tidak menginginkan kesukaran untukmu. Dan hendaknya kalian sempurnakan bilangannya dan bertakbirlah (mengangungkan kebesaran) Allah sesuai dengan yang Allah berikan petunjuk kepada kalian agar kalian bersyukur (Q.S al-Baqoroh: 185)
Pada ayat ini terdapat beberapa permasalahan yang akan dijelaskan, yaitu:
  1. Ramadhan adalah bulan turunnya al-Quran.
  2. AlQuran sebagai petunjuk, penjelasan dari petunjuk, dan pembeda.
  3. Kewajiban berpuasa bagi yang mukim, tidak sakit, dan tidak berhalangan untuk puasa.
  4. Allah ulang keringanan tidak berpuasa bagi yang safar atau sakit
  5. Allah menginginkan kemudahan, dan tidak menginginkan kesulitan untuk kita.
  6. Menyempurnakan bilangan
  7. Bertakbir di akhir puasa sebagai bentuk syukur
  PENJELASAN:

Ramadhan Bulan Turunnya al-Quran

Allah turunkan al-Quran pertama kali di Lailatul Qodr (malam kemuliaan) pada sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami menurunkan (alQuran) pada Lailatul Qodr (Q.S al-Qodr:1)
Awalnya, AlQuran diturunkan secara utuh ke Baitul Izzah (suatu tempat di langit dunia) pada bulan Ramadhan. Kemudian secara berangsur-angsur diturunkan sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan: sebagai jawaban terhadap pertanyaan seseorang, sebagai teguran pada kaum muslimin, sebagai penghibur jiwa dan mengokohkan hati kaum muslimin, dan sebagainya. Turunnya al-Quran karena peristiwa-peristiwa tersebut terjadi bukan hanya pada bulan Ramadhan saja.
Dalam sebagian hadits dinyatakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam 25 Ramadhan.
وَأُنْزِلَ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Dan al-Quran diturunkan setelah melewati 24 dari Ramadhan (H.R Ahmad dari Watsilah bin Asqo’, al-Munawi menyatakan bahwa para perawinya terpercaya, dan dihasankan oleh al-Albany).
Sebagian Ulama menafsirkan makna hadits tersebut dengan pemahaman: al-Quran diturunkan pada malam 24 Ramadhan (as-Siiroh anNabawiyyah libni Katsir (1/393)). Karena itu, hadits di atas memiliki 2 penafsiran:
  1. Al-Quran diturunkan pada malam 25 Ramadhan. Ini adalah pendapat al-Hulaimi dan dinukil serta disepakati oleh adz-Dzahaby (Faidhul Qodiir karya al-Munawi).
  2. Al-Quran diturunkan pada malam 24 Ramadhan. Ini adalah pendapat yang dinukil Ibnu Katsir dalam as-Siroh anNabawiyyah karyanya (1/393)).
Pada bulan Ramadhan tersebut Jibril bertadarus al-Quran dengan Nabi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada Bab Keutamaan Bulan Ramadhan

AlQuran sebagai Petunjuk bagi Manusia

Dalam ayat ini, Allah menyatakan al-Quran sebagai:
  1. Petunjuk menuju al-haq. Barangsiapa yang menjadikannya sebagai petunjuk, akan terbimbing menuju al-haq.
  2. Dalil-dalil yang menjelaskan petunjuk tersebut, berupa penjelasan halal dan haram serta batasan-batasan syariat.
  3. Pembeda antara al-haq dengan kebatilan.
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
…sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas-penjelas dari petunjuk dan pembeda…(Q.S alBaqoroh:185)

Kewajiban berpuasa bagi yang mukim, tidak sakit, dan tidak berhalangan untuk puasa

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Maka barangsiapa yang mempersaksikan (masuknya) bulan (Ramadhan), berpuasalah
Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat ini merupakan pewajiban dari Allah bagi barangsiapa yang tinggal di tempat tinggalnya (mukim) dan dalam kondisi sehat pada saat masuknya bulan Ramadhan untuk berpuasa.
Potongan ayat ini sekaligus sebagai penghapus hukum tentang puasa di ayat sebelumnya: barangsiapa yang mau silakan berpuasa, barangsiapa yang mau silakan membayar fidyah meski mampu berpuasa. Setelah turunnya ayat ini, maka tidak ada pilihan lain bagi semua pihak yang mampu dan tidak berhalangan untuk berpuasa.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ كُنَّا فِي رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِينٍ حَتَّى أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }
Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu anhu bahwasanya beliau berkata: Kami dulu pada masa Ramadhan di masa Nabi shollallaahu alaihi wasallam (diperbolehkan): barangsiapa yang mau silakan berpuasa dan barangsiapa yang mau silakan berbuka (namun) membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Hingga turunnya ayat: …maka barangsiapa di antara kalian yang mempersaksikan (masuknya) bulan (Ramadhan) berpuasalah (H.R alBukhari dan Muslim, lafadznya sesuai riwayat Muslim)

Allah ulang penyebutan keringanan tidak berpuasa bagi yang safar atau sakit

Pada ayat sebelumnya (ayat 184), Allah telah memberikan keringanan bagi orang yang sakit atau safar untuk tidak berpuasa. Mengapa dalam ayat ini (ayat 185) diulang kembali penyebutannya?
…فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
…barangsiapa di antara kalian sakit atau safar, maka (mengganti sejumlah bilangan hari yang ditinggalkan) di hari lain (Q.S al-Baqoroh:184)
 وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
…dan barangsiapa yang sakit atay safar, maka mengganti sejumlah bilangan hari yang ditinggalkan) di hari lain (Q.S al-Baqoroh:185)
Jawabannya adalah:
Jika pada ayat 184 Allah menjelaskan keadaan puasa sebelumnya, yang boleh ada pilihan: berpuasa atau membayar fidyah, maka pada ayat 185 Allah hapuskan hukum pada ayat sebelumnya, bahwa semua yang menyaksikan masuknya Ramadhan harus berpuasa. Namun, Allah ulang penyebutan keringanan bagi yang sakit dan safar agar tidak terjadi anggapan bahwa orang yang sakit atau safar menjadi harus berpuasa karena hukumnya telah diubah (disarikan dari Taisiir al-Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’di).

Allah menginginkan kemudahan, dan tidak menginginkan kesulitan untuk kita

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
…Allah menginginkan untuk kalian kemudahan dan Dia tidak menginginkan bagi kalian kesulitan…(Q.S al-Baqoroh:185)
Allah berikan keringanan bagi orang yang sakit yang tidak mampu berpuasa untuk menggantinya di saat sudah sehat di hari yang lain.
Sebagian Ulama’ (dari kalangan Tabi’in) seperti al-Hasan al-Bashri dan Ibrahim anNakha-i memberikan batasan: jika seseorang sakit sehingga tidak mampu sholat dalam keadaan berdiri, maka pada saat itu ia boleh untuk tidak berpuasa (riwayat Ibnu Jarir atThobary)
Di antara kemudahan dari Allah adalah bolehnya tidak berpuasa bagi musafir, disyariatkannya meringkas sholat yang 4 rokaat menjadi 2 rokaat. Demikian juga bolehnya ibu hamil atau menyusui untuk tidak berpuasa jika tidak kuat dalam berpuasa.
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla meletakkan (keringanan) pada musafir (untuk mengerjakan) setengah sholat dan (keringanan) bagi musafir, wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Ka’ab)
Wanita yang hamil dan menyusui boleh untuk tidak berpuasa. Kalau mereka memilih untuk tidak berpuasa, apa yang harus dilakukan? Mengganti di waktu lain atau membayar fidyah?
Perlu dilihat keadaan yang mendasari alasan tidak berpuasa bagi ibu hamil dan menyusui. Alasannya bisa 2 macam, dan tiap macam konsekuensinya berbeda.
  1. Sebenarnya kuat berpuasa tapi karena mengkhawatirkan kondisi janin atau bayinya, maka ia tidak berpuasa. Dalam kondisi ini, membayar fidyah. Sebagaimana pendapat Sahabat Nabi Ibnu Abbas.
  2. Tidak kuat berpuasa karena lemah fisiknya. Kondisi seperti ini sama dengan orang yang sakit sementara dan musafir. Maka, boleh tidak berpuasa, dan mengganti di hari lain saat sudah kuat berpuasa. Sesuai hadits Abdullah bin Ka’ab riwayat Abu Dawud di atas.
Perincian ini sesuai dengan pendapat seorang Tabi’i al-Hasan al-Bashri rahimahullah.
Seorang musafir mendapat keringanan dari Allah untuk meringkas sholatnya yang asalnya 4 rokaat (Dzhuhur, Ashar, dan Isya) menjadi 2 rokaat saja. Jika ada yang berkata: keadaan safar di masa dulu penuh dengan penderitaan: panas, capek, kendaraan primitif dan tradisional, masa tempuh lama. Berbeda dengan sekarang yang sudah banyak kemudahan. Kendaraan ber-AC, jarak tempuh jadi singkat, tidak terlalu capek, dan berbagai kemudahan. Apakah masih relevan kemudahan itu bagi kita saat ini?
Jawabannya: Ya. Masih berlaku untuk kita saat ini dengan kondisi penuh kemudahan. Asalnya, perintah meringkas/ mengqoshor sholat itu pada saat timbul perasaan mencekam (tidak aman) di masa perang. Dalam kondisi itu boleh untuk mengqoshor sholat. Seperti disebutkan dalam anNisaa’ ayat 101.
Setelah kondisi aman, Umar kemudian bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Apakah keringanan dari Allah itu masih berlaku untuk kita pada saat kondisi sudah aman. Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
Itu adalah shodaqoh Allah untuk kalian, maka terimalah shodaqoh (dari)Nya (H.R Muslim dari Ya’la bin Umayyah)
Hal itu menunjukkan bahwa meski sekarang sudah demikian mudah, terimalah shodaqoh Allah tersebut. Tetap jalankan qoshor dalam sholat sebagai musafir (kecuali jika kita sholat di belakang penduduk setempat), demikian juga boleh bagi kita untuk tidak berpuasa jika status kita adalah musafir.
Sesungguhnya Allah senang jika seorang hamba mengambil keringanan yang Allah berikan, sebagaimana Allah benci jika kemaksiatan terhadapNya dilakukan
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
Sesungguhnya Allah senang jika keringanan (dari)Nya diambil, sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan terhadapNya dilakukan (H.R Ahmad, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Berapa jarak minimal perjalanan dikatakan safar? Ada banyak perbedaan pendapat para Ulama’ hingga mencapai lebih dari 20 pendapat tentang jarak safar. Namun, bisa dikerucutkan menjadi 2 pendapat yang kuat:
  1. Pendapat jumhur (mayoritas) Ulama’. Jaraknya jika dikonversikan dalam kilometer adalah kurang lebih 80 km.
  2. Tidak ada batasan jarak khusus. Patokannya adalah perhitungan berdasarkan kebiasaan (urf). Karena memang tidak ditemukan adanya batasan khusus dari alQuran maupun hadits yang shahih. Jika berdasarkan kebiasaan setempat hal itu terhitung safar (perjalanan luar kota), bukan sekedar perjalanan biasa, sehingga butuh bekal, dan sebagainya, maka itu terhitung safar. Jika tidak, maka belum termasuk safar. Berdasarkan kebiasaan kita di Indonesia, lintas Kabupaten/ Kota biasanya sudah dianggap safar. Dalam hadits Anas bin Malik riwayat Muslim, Nabi pernah mengqoshor sholat dalam jarak perjalanan 3 mil  atau 3 farsakh. Tiga mil adalah sekitar 4,5 km, sedangkan 3 farsakh adalah sekitar 13,5 km. Bisa saja hal itu dipahami bahwa pada jarak tersebut sudah tercapai perjalanan lintas daerah/kota. Misalkan, dari wilayah perbatasan menuju perbatasan yang terdekat. Wallaahu A’lam.  

    Menyempurnakan Bilangan Puasa

    Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
    …وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ…
    …dan sempurnakanlah bilangannya…(Q.S alBaqoroh:185)
    Allah perintahkan kaum mukminin yang mampu dan tidak berhalangan berpuasa untuk menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadhan dengan puasa sebulan penuh. Bilangan hari Ramadhan bisa 29 hari atau 30 hari.
    Nabi pernah mengisyaratkan dengan jari-jari tangan beliau bahwa jumlah bilangan hari dalam sebulan adalah 29 atau 30 hari, sebagaimana hadits dari Ibnu Umar:
    الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا )يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ)
    Bulan itu begini dan begini (yaitu: kadangkala 29 hari, kadangkala 30 hari) (H.R al-Bukhari dan Muslim)
    Potongan ayat ini merupakan penjelasan agar tidak terjadi dalam pikiran seseorang yang berpuasa bahwa kewajiban puasa Ramadhan cukup terpenuhi dengan berpuasa pada sebagian hari saja tanpa harus menyempurnakan bilangan hari sebulan penuh (disarikan dari Tafsir as-Sa’di)
    Kita menyaksikan keadaan yang menyedihkan. Sebagian saudara kita ada yang bersemangat puasa pada awal-awal bulan. Namun, masuk pertengahan, tidak sedikit yang meninggalkan puasa. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua…
    Jumlah hari pada bulan hijriyah kadang 29 hari kadang 30 hari tergantung apakah terlihat hilal masuknya bulan berikutnya atau tidak. Jika terhalangi penglihatan oleh awan dan semisalnya, maka disempurnakan jumlah harinya menjadi 30 hari.

    Bertakbir di akhir puasa sebagai bentuk syukur

    Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
    …وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
    …dan bertakbirlah (mengagungkan kebesaran) Allah atas petunjukNya kepada kalian dan agar kalian bersyukur (Q.S al-Baqoroh:185)
    Allah perintahkan untuk bersyukur atas nikmat-Nya yang telah memberikan hidayah kepada seseorang sehingga bisa menyempurnakan puasa. Salah satu bentuk syukur itu dengan bertakbir dari sejak dipastikan masuknya Syawwal (berdasarkan rukyat hilal) pada malam Ied hingga menjelang sholat Iedul Fithri.
    Pada banyak ayat yang lain Allah perintahkan bagi seseorang untuk banyak berdizkir menyebut Allah, jika telah menyelesaikan suatu ibadah tertentu. Contoh, selesai melaksanakan sholat, perbanyaklah dzikir:
    فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ
    Jika kalian telah menyelesaikan sholat, berdzikirlah (menyebut) Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring (Q.S anNisaa’:103).
    فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
    Jika telah ditunaikan sholat (Jumat) maka bertebaranlah di muka bumi, carilah keutamaan dari Allah, dan berdzikirlah yang banyak agar kalian sukses/ berhasil (Q.S alJumu’ah:10)
    Demikian juga saat menyelesaikan manasik haji, Allah perintahkan perbanyak dzikir:
    فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا
    Jika kalian telah menyelesaikan manasik kalian, berdzikirlah menyebut Allah seperti kalian menyebut ayah-ayah kalian atau lebih banyak lagi (Q.S al-Baqoroh:200)
    (Nukilan faidah ayat-ayat di atas diambil dari Tafsir Ibnu Katsir)
    Maka takbir, tahlil, tahmid yang dikumandangkan setelah selesainya pelaksanaan puasa Ramadhan adalah bagian dari perintah itu. Sebagai bentuk syukur atas hidayah Allah bagi kita dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan tersebut.

    Ayat ke-186 Surat al-Baqoroh

    وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
    Dan jika hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku menjawab seruan orang yang berdoa jika berdoa kepadaKu, maka hendaknya ia memenuhi seruanKu dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (Q.S al-Baqoroh:186)
    Pada ayat ini akan dijelaskan 3 hal:
    1. Kaitan doa dengan puasa.
    2. Kedekatan Allah dengan hambaNya.
    3. Allah pasti menjawab doa seorang hamba.
    4. Memenuhi seruan Allah dan beriman kepadaNya adalah sebab mendapatkan hidayah
    5. Berdoa langsung kepada Allah tanpa perantara
    PENJELASAN:

    Kaitan Doa dengan Puasa

    Ayat ini adalah ayat tentang berdoa yang terletak di antara ayat-ayat yang menjelaskan hukum tentang puasa. Ayat 183-185 adalah tentang puasa. Ayat ini adalah ayat ke-186. Sedangkan ayat ke-187 juga menjelaskan tentang puasa. Karena itu, para Ulama’ menjelaskan adanya kaitan yang sangat erat antara puasa dengan ibadah berdoa.
    Pada saat berpuasa, disunnahkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih ditekankan lagi pada saat berbuka puasa.
    ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
    Tiga (kelompok) orang yang tidak ditolak doanya: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka, dan doa orang yang terdzhalimi (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, sebagian Ulama menghasankannya berdasarkan penguatan dari jalur lain)

    Kedekatan Allah dengan HambaNya

    وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
    Dan jika hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat…(Q.S al-Baqoroh:186)
    Allah sangat dekat dengan hambaNya meski Dia berada di puncak ketinggian. Allah sangat dekat dengan hambaNya, karena Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Berkuasa, Maha Mengetahui segala perbuatan hambaNya.
    Allah dekat, akan selalu menjawab doa atau dzikir seorang hamba, meski hamba itu mengucapkan dengan kalimat yang sangat lirih tak terdengar oleh orang lain di sekelilingnya.
    مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ صَدَّقَهُ رَبُّهُ فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا وَأَنَا أَكْبَرُ وَإِذَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا وَحْدِي وَإِذَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ قَالَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا وَحْدِي لَا شَرِيكَ لِي وَإِذَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ قَالَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا لِيَ الْمُلْكُ وَلِيَ الْحَمْدُ وَإِذَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِي
    Barangsiapa yang mengucapkan: Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Allah Yang Paling Besar. Tuhannya akan membenarkan ucapan itu dan berfirman: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Aku dan Akulah Yang Paling Besar. Jika hamba itu mengucapkan : Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Allah satu-satunya, Allah akan berfirman: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Aku satu-satunya. Jika hamba itu mengucapkan: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Allah satu-satunya tidak ada sekutu bagiNya, Allah akan berfirman: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Aku tidak ada sekutu bagiKu. Jika hamba itu mengucapkan: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Allah, hanya bagiNyalah kekuasaan dan pujian, Allah berfirman: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Aku, hanya bagiKu-lah kekuasaan dan pujian. Jika hamba itu mengucapkan: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Allah dan tiada daya dan kekuatan kecuali (atas pertolongan) Allah, Allah berfirman: Tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Aku dan tiada daya dan kekuatan kecuali (atas pertolongan) Ku (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan al-Albany)
    Demikian juga saat seorang hamba membaca al-Fatihah, setiap ayat yang dibaca akan dijawab oleh Allah.
    Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi:
    قَسَمْتُ الصَّلاَةَ  بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي َوقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ قَالَ هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ قَالَ هذا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ  
    “ Aku membagi AsSholaah (AlFatihah) antara Aku dengan hambaKu menjadi 2 bagian dan bagi hambaKu ia mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengucap :  Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin, Allah berfirman : ‘ HambaKu telah memujiKu’. Jika seorang hamba mengucapkan : ar-Rohmaanir Rohiim , Allah berfirman : ‘ HambaKu telah memujaKu. Jika hambaKu mengucapkan : Maaliki Yaumid Diin, Allah berfirman : ‘HambaKu telah mengagungkan Aku ’,  dan kemudian  Dia berkata selanjutnya : “HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaKu. Jika seorang hamba mengatakan : Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin, Allah menjawab : Ini adalah antara diriKu dan hambaKu, hambaKu akan mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengatakan : Ihdinasshiroothol Mustaqiim. Shiroothol ladziina an’amta ‘alaihim. Ghoiril maghdluubi ‘alaihim walad dhoolliin    
    Allah menjawab : Ini adalah untuk hambaKu, dan baginya apa yang ia minta (H.R Muslim)
    Rasakanlah kedekatan Allah ini ketika kita berdzikir dan berdoa. Rasakanlah bahwa Allah menjawab seruan kita dalam dzikir atau doa itu. Berdoalah dengan penuh ketundukan dan suara yang lirih, tidak dikeraskan.
    ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
    Berdoalah kepada Tuhanmu dengan ketundukan dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (Q.S al-A’raaf:55)
    وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ 
    Dan sebutlah (Nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (Q.S al-A’raaf:205)
    Pada saat perjalanan perang Khaibar, sebagian Sahabat mengeraskan dzikir takbirnya dengan mengucapkan: Allaahu Akbar Allaahu Akbar laa Ilaaha Illallah. Nabi yang mengetahui hal itu bersabda:
    ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
    Rendahkanlah suara kalian. Sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli atau tidak ada, sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar Maha Dekat, dan Dia bersama kalian (H.R alBukhari no 3883 dan Muslim no 4873).
    Mengeraskan dzikir hanyalah pada saat-saat disyariatkan untuk mengeraskannya, seperti pada saat talbiyah haji, takbir setelah dipastikan masuknya bulan Syawwal hingga menjelang sholat Ied, bacaan keras dzikir sebagai bentuk pengajaran, dan sebagainya.
    Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa jika Rasul mengeraskan bacaan dzikir setelah selesai sholat, hal itu sekedar untuk mengajarkan kepada para Sahabat tentang bacaan-bacaan dzikir yang disyariatkan.
    Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
    وَأَحْسَبُهُ إنَّمَا جَهَرَ قَلِيلًا لِيَتَعَلَّمَ النَّاسُ مِنْهُ
    Aku mengira bahwasanya Nabi sedikit mengeraskan bacaan (dzikir selesai sholat) untuk mengajarkan kepada manusia….(al-Umm (1/127))
    Namun, secara asal ucapan dzikir dan doa adalah tidak dikeraskan.

    Allah Pasti Menjawab Doa/ Seruan Seorang Hamba

    أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ…
    Aku akan menjawab seruan orang yang berdoa ketika berdoa kepadaKu (Q.S al-Baqoroh:186)
    Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa semua doa dari hambaNya pasti dijawab oleh Allah. Karena setiap doa hamba pasti dijawab oleh Allah, maka tidak akan pernah ada ruginya orang yang berdoa.
    Jawaban Allah terhadap doa seorang hamba bisa dalam bentuk:
    1. Allah segerakan terkabulnya doa.
    2. Allah simpan doa itu sebagai perbendaharaan pahala di akhirat
    3. Allah halangi suatu keburukan atau marabahaya menimpa dia, sesuai kadar yang setara dengan permintaan yang dimintanya. Artinya, dengan adanya doa tersebut, meski tidak secara langsung terlihat hasil seperti yang diminta, ia terhindar dari suatu keburukan dengan sebab doa itu.
    Salah satu dari ketiga hal itu bisa tercapai jika seseorang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan silaturrahmi.
    مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذًا نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ
     Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan silaturrahmi kecuali Allah akan beri salah satu dari 3 hal: Bisa saja Allah segerakan terkabulnya doa, atau Allah simpan sebagai perbendaharaan pahala di akhirat, atau Allah palingkan darinya keburukan semisal (yang diminta dalam doa). Para Sahabat berkata: Kalau begitu, kami akan memperbanyak (doa). Rasul bersabda: Allah lebih banyak lagi (H.R atTirmidzi, Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim dan dinyatakan bahwa sanad-sanadnya jayyid(baik) oleh al-Bushiry)

    Memenuhi Seruan Allah dan Beriman kepadaNya adalah Sebab Mendapatkan Hidayah

    فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
    Maka penuhilah (seruan)Ku dan berimanlah kepadaKu agar mereka mendapatkan hidayah (Q.S al-Baqoroh:186)
    Barangsiapa yang ingin mendapatkan petunjuk untuk kemaslahatan dunia dan akhiratnya, maka hendaknya memenuhi seruan Allah, taat pada perintahNya dan menjauhi laranganNya. Diiringi pula dengan iman kepada Allah sebagai pondasi utama.
    Sebaik apapun perbuatan seseorang jika tidak dilandasi oleh iman, niscaya tidak akan bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya. Jika seorang berbuat baik, banyak membantu, tidak mengganggu orang lain, namun tidak ada iman dalam dirinya (bukan seorang muslim), maka tidak akan ada pahala untuknya di akhirat. Ia hanya akan mendapatkan balasan kebaikan oleh Allah di dunia saja.
    إِنَّ الْكَافِرَ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً أُطْعِمَ بِهَا طُعْمَةً مِنْ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَإِنَّ اللَّهَ يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِي الْآخِرَةِ وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِي الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِه
    Sesungguhnya seorang Kafir jika melakukan suatu perbuatan kebaikan akan dirasakan untuknya (nikmat) di dunia. Sedangkan orang mukmin (jika berbuat kebaikan) sesungguhnya Allah simpankan perbendaharaan (hasil) kebaikan-kebaikannya di akhirat dan Allah beri balasan dalam bentuk rezeki di dunia karena ketaatannya (H.R Muslim dari Anas bin Malik)
    Ada beberapa hal yang menjadi penghalang terkabulnya doa seseorang, di antaranya adalah:
    1. Harta berasal dari yang haram
    … ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ…
    Kemudian Nabi menceritakan keadaan seseorang yang melakukan safar panjang, rambutnya kusut, mukanya berdoa, menengadahkan tangan ke langit dan berkata: Wahai Rabbku, wahai Rabbku. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi asupan gizi dari yang haram, maka bagaimana bisa diterima doanya?! (H.R Muslim)
    1. Tidak yakin dalam doanya (hatinya lalai).
    ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
    Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai lagi main-main (H.R atTirmidzi, dishahihkan al-Hakim dan dihasankan al-Albany)
    1. Tergesa-gesa.
    يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
    Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa dengan mengatakan: Aku telah berdoa tapi tidak dikabulkan (H.R alBukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
    1. Doanya mengandung dosa atau memutuskan silaturrahmi
    مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ …
    Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan silaturrahmi kecuali Allah akan beri 3 kemungkinan…..(H.R atTirmidzi, Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim dan dinyatakan bahwa sanad-sanadnya jayyid(baik) oleh al-Bushiry)

    Berdoa Langsung Kepada Allah Tanpa Perantara

    Ada sebuah faidah yang disampaikan oleh sebagian Ulama bahwa : setiap ayat dalam alQur’an yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tentang syariat/ hukum, Allah selalu memerintahkan kepada NabiNya :katakanlah…..namun khusus untuk pertanyaan tentang Allah, dan bagaimana berdoa kepada Allah, Nabi tidak diperintahkan dengan: katakanlah…
    Silakan disimak beberapa contoh ayat berikut:
    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
    Mereka bertanya kepadamu tentang bulat sabit, katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji….(Q.S alBaqoroh:189).
    يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
    Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infaqkan, katakanlah bahwa apa yang kalian infaqkan dari kebaikan adalah untuk kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil….(Q.S alBaqoroh:215)
    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
    Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan al-haram, katakanlah bahwa berperang di dalamnya adalah dosa besar…(Q.S alBaqoroh: 217).
    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
    Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa di dalam keduanya terdapat dosa besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, sedangkan dosa keduanya adalah lebih besar dibandingkan manfaatnya, dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infaqkan katakanlah: yang lebih dari keperluan (Q.S alBaqoroh: 219)
    يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
    Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang dihalalkan untuk mereka, katakanlah: dihalalkan bagi kalian yang baik-baik….(Q.S alMaidah:4)
    يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ
    Mereka bertanya kepadamu tentang hari kiamat kapan terjadinya. Katakanlah: sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia…”
    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ
    Mereka bertanya kepadamu tentang harta rampasan perang, Katakanlah bahwa harta rampasan perang itu untuk Allah dan RasulNya…(Q.S al-Anfaal: 1).
    وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيض
    Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah: Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh…(Q.S alBaqoroh:222)
    Setiap ada pertanyaan dari kaum muslimin kepada Nabi tentang hukum atau tata cara dalam syariat Allah menjawab dengan firmanNya: katakanlah…Hal itu menunjukkan bahwa seorang muslim tidak bisa menjalankan syariat Allah tanpa perantaraan bimbingan dan tuntunan dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak bisa membuat inovasi sendiri dalam ibadah.
    Namun, ketika pertanyaan dari kaum muslimin adalah tentang Allah dan bagaimana cara berdoa kepada Allah, Allah tidak menyatakan: katakanlah….Hal ini menunjukkan bahwa berdoa kepada Allah adalah langsung (tanpa perantara) karena Allah Maha Dekat dengan hambaNya.
    وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ
    “ Dan jika hamba-hambaKu bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa “ (Q.S AlBaqoroh : 186)
    Faidah tersebut disampaikan Syaikh Abdurrozzaq dalam ceramah Syarh al-Adabil Mufrad dan Syarh Tsalatsatil Ushul, menukil penjelasan al-Imam as-Suyuthy dalam al-Itqon.

    Ayat ke-187 Surat al-Baqoroh

    أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
    Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari (bulan) puasa berhubungan (badan) dengan istri-istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan nafsu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kalian. Maka sekarang silakan berhubungan badan dengan mereka dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untuk kalian. Dan makan dan minumlah hingga tampak jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datangnya) malam. (Tetapi) janganlah kalian berhubungan (badan) dengan mereka pada saat kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa (Q.S al-Baqoroh:187)
    Pada ayat ini akan dijelaskan beberapa hal, yaitu:
    1. Tahapan-tahapan pensyariatan puasa bagi umat Nabi Muhammad.
    2. Boleh melakukan hal-hal yang membatalkan puasa di waktu malam.
    3. Tidak mengapa seseorang masih dalam keadaan junub atau suci haid pada saat fajar dan kemudian mandi setelah itu
    4. Istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri
    5. Allah Maha Mengetahui kebutuhan manusia dan memaafkan mereka
    6. Carilah dari pergaulan suami istri itu sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kalian
    7. Kesalahpahaman sebagian Sahabat dalam mengartikan ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’
    8. Larangan berhubungan badan dengan istri pada saat I’tikaf di masjid
    PENJELASAN:

    Tahapan-tahapan Pensyariatan Puasa pada Umat Nabi Muhammad

    Pensyariatan puasa pada umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam melalui beberapa tahapan:
    1. Puasa 3 hari tiap bulan dan puasa Asyura sebagai kewajiban. Pada saat itu belum diwajibkan puasa di bulan Ramadhan.
    2. Diwajibkan puasa Ramadhan bagi yang mampu dengan pilihan: boleh berpuasa atau tidak berpuasa tapi membayar fidyah.
    3. Diwajibkan berpuasa Ramadhan bagi semua orang yang mampu. Tidak diberi pilihan lagi. Boleh makan dan minum  sejak berbuka hingga tidur malam. Kalau sudah tidur malam atau sholat Isya’, maka tidak boleh lagi melakukan hal-hal yang dilarang di siang hari.
    4. Diwajibkan berpuasa Ramadhan bagi semua orang yang mampu pada siang harinya. Sedangkan pada malam hari (dari terbenam matahari hingga menjelang terbit fajar) boleh melakukan hal-hal yang terlarang dilakukan di siang harinya.
    (tahapan-tahapan ini didasarkan pada hadits Muadz bin Jabal yang diriwayatkan oleh Ahmad no 21107. Pada hadits Muadz tahapan puasa adalah 3 tahapan, namun yang ketiga dibagi lagi menjadi 2 tahapan, sehingga pada paparan di atas disebutkan 4 tahapan).
    Pada saat diberlakukannya tahapan ke-3 di atas, terjadi beberapa peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan para Sahabat menerapkan puasa pada waktu itu. Pada waktu itu, bolehnya berbuka adalah hingga tidur malam atau sholat Isya. Kalau sudah tidur, atau tertidur di malam hari, setelah bangunnya tidak boleh lagi makan dan minum serta berhubungan suami istri, meski masih belum masuk fajar Subuh. Hingga turunlah ayat ke 187 dari surat al-Baqoroh ini.
    عَنِ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ  { فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ }
    Dari al-Bara’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Dulu para Sahabat (Nabi) Muhammad shollallaahu alaihi wasallam jika berpuasa, kemudian datang waktu berbuka, kemudian tidur sebelum berbuka, tidak bisa makan di malam itu maupun pada siang (keesokan) harinya. Sesungguhnya Qoys bin Shirmah al-Anshary berpuasa kemudian datang waktu berbuka, ia mendatangi istrinya dan berkata: Apakah engkau memiliki makanan? Istrinya berkata: Tidak. Tapi aku akan mencarikan untukmu. Pada siang harinya Qoys bekerja (keras), hingga ia tertidur (menunggu datangnya istrinya). Kemudian istrinya datang. Ketika istrinya melihatnya (telah tertidur), istrinya berkata : kerugian bagimu. Keesokan harinya ketika tiba pertengahan siang, ia pingsan. Maka diceritakanlah hal itu kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kemudian turunlah ayat : …<< dihalalkan bagi kalian berhubungan (badan) dengan istri kalian pada malam (bulan) puasa>>, maka bergembiralah para Sahabat dengan kegembiraan yang sangat. Dan turun pula ayat << makan dan minumlah hingga nampak jelas benang putih dari benang hitam >>(H.R al-Bukhari)
    Setelah turunnya ayat ini (ayat ke-187 dari surat alBaqoroh), maka dihalalkan pada waktu malam bagi kaum muslimin melakukan segala hal yang membatalkan puasa di waktu siang seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri.
    Ayat tersebut menjelaskan bolehnya seseorang melakukan rofats pada malam hari bulan puasa terhadap istrinya.
    أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
    Dihalalkan bagi kalian pada malam (bulan) puasa berbuat rofats kepada istri-istri kalian (Q.S alBaqoroh:187)
    Az-Zujaj mendefinisikan rofats sebagai: segala sesuatu yang diinginkan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan (Umdatul Qoori Syarh Shahih al-Bukhari 16/314)
    Tidak Mengapa Seseorang Masih Dalam Keadaan Junub atau Suci Haid Pada Saat Fajar dan Kemudian Mandi Setelah Itu
    Jika seseorang berhubungan dengan istrinya pada malam hari bulan puasa, maka ia dalam keadaan junub. Segala hal yang membatalkan puasa sudah harus dihentikan pada saat masuk waktu fajar.
    Mungkin saja ia masih dalam keadaan junub pada saat sudah masuk waktu fajar dan belum sempat mandi wajib. Hal itu tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa, karena Nabi shollallahu alaihi wasallam juga pernah mengalami hal itu.
    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
    Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah mendapati (waktu) fajar dalam keadaan junub (akibat berhubungan) dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa (H.R alBukhari dari Aisyah dan Ummu Salamah)
    Demikian juga dengan seorang wanita yang baru suci dari haid dan belum sempat mandi pada saat masuknya fajar Subuh. Dia kemudian bisa mandi, sholat Subuh dan berpuasa (Syarh Umdatil Ahkam, transkrip ceramah Syaikh Bin Baz).
    Istri adalah Pakaian Suami dan Suami adalah Pakaian Istri
    هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
    Mereka (para istri) adalah pakaian kalian, dan kalian adalah pakaian mereka…(Q.S al-Baqoroh:187)
    Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini:
    هُنَّ سَكَنٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ سَكَنٌ لَهُنَّ
    Mereka adalah ketenangan bagi kalian dan kalian adalah ketenangan bagi mereka (riwayat al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)
    Istri adalah pakaian bagi suami, demikian juga suami pakaian bagi istri. Menunjukkan demikian butuhnya seorang suami terhadap istri dan istri terhadap suaminya. Bagaikan kebutuhan seseorang terhadap pakaian. Sebagaimana pakaian yang memiliki manfaat menutup aurat dan sebagai pelindung.
    Nabi juga memberikan bimbingan menikah bagi para pemuda yang mampu karena menikah itu (jika dilakukan dengan berpedoman pada syariat) bisa membuat seseorang menundukkan pandangan dari yang haram dan bisa menjaga kemaluan.
    Perumpamaan ‘pakaian’ itu juga menunjukkan demikian dekatnya hubungan seseorang dengan istrinya. Bagaikan pakaian yang langsung bersentuhan dengan kulitnya (disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam tafsir surat al-Baqoroh)
    Didahululan penyebutan : mereka (para istri) adalah pakaian kalian, karena demikian butuhnya seorang lelaki kepada wanita dan kekurangsabaran mereka dalam (nafsu) terhadap wanita, dan biasanya para lelakilah yang terlebih dahulu menyampaikan kebutuhannya, sedangkan para wanita lebih banyak malu dalam urusan itu (disarikan dari al-Bahrul Muhiith karya Abu Hayyan al-Andalusy)
    Sebagai pakaian yang berfungsi untuk menutup aurat, seharusnya masing-masing suami dan istri menutupi cela dan aib pasangannya, tidak diumbar pada orang lain.
    Allah Maha Mengetahui Kebutuhan Manusia dan Memaafkan Mereka
    Allah adalah Sang Pencipta, sehingga sangat mengetahui secara detail seluruh sisi manusia. Sang Pencipta pastilah mengetahui tentang ciptaannya.
    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
    Tidakkah yang menciptakan mengetahui? Dan Dia adalah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui secara detail (Q.S al-Mulk:14)
    Awalnya, puasa disyariatkan boleh berbuka hanya pada rentang waktu sejak masuk Maghrib hingga sebelum sholat Isya atau sebelum tidur di waktu malam. Selama masa Ramadhan itu pula, awalnya para Sahabat Nabi tidak ada yang berhubungan dengan istrinya di malam hari.
    Sahabat Nabi Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu berkata:
    لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لَا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ }
    Ketika turun ayat tentang puasa Ramadhan, para Sahabat Nabi tidaklah mendekati istri-istri mereka pada Ramadhan seluruhnya, sehingga para laki-laki mengkhianati diri mereka (tidak kuat menahan nafsu), kemudian Allah turunkan ayat:
    عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
    Allah mengetahui bahwa kalian mengkhianati diri-diri kalian (tidak kuat menahan nafsu), maka Allah memberi taubat kepada kalian dan memaafkan kalian (Q.S al-Baqoroh:187)(H.R al-Bukhari)
    Carilah dari Hubungan Suami Istri itu Sesuatu yang Telah Allah Tetapkan bagi Kalian
    Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
    فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
    Maka saat ini (sejak diturunkan ayat tersebut), berhubunganlah dengan mereka (istri-istri kalian) dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untuk kalian (Q.S al-Baqoroh:187)
    Potongan ayat ini merupakan pembolehan dari Allah untuk berhubungan suami istri di malam Ramadhan. Allah memberikan bimbingan bahwa hendaknya dalam hubungan itu diniatkan sesuatu yang telah Allah tetapkan.
    Para Sahabat berbeda-beda dalam menafsirkan makna ‘apa yang telah Allah tetapkan bagi kalian’. Namun, perbedaan penafsiran tersebut tidaklah bertolak belakang dan semuanya adalah penafsiran yang benar.
    Sebagian Sahabat ada yang menafsirkannya sebagai anak (keturunan). Artinya, harapkanlah mendapatkan keturunan dengan sebab perbuatan itu. Ini pendapat dari Ibnu Abbas (riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim).
    Sebagian Sahabat yang lain menafsirkannya sebagai Lailatul Qodr. Artinya, janganlah hal itu menjadikan kalian terlalaikan dari mendapatkan keutamaan Lailatul Qodr. Ini adalah pendapat dari Anas bin Malik (riwayat al-Bukhari dalam Tarikh-nya).
    Bagaimanapun, seseorang harus meniatkan ibadah dalam perbuatan itu. Itu adalah ibadah dan shodaqoh. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
    وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
    …dan pada kemaluan kalian terdapat shodaqoh. Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya tapi justru mendapat pahala? Nabi menjawab: Bagaimana pendapatmu, jika ia meletakkannya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka demikianlah, jika ia letakkan pada yang halal, maka itu baginya adalah pahala (H.R Muslim)
    Kesalahpahaman Sebagian Sahabat dalam Mengartikan ‘Benang putih’ dan ‘Benang hitam’
    Pada saat turunnya ayat:
    وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
    Makan dan minumlah, hingga nampak jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam…
    Sebagian Sahabat memahami makna ‘benang’ pada ayat itu adalah benar-benar benang yang digunakan untuk menjahit. Sebagian mereka, ada yang meletakkan benang putih dan benang hitam di bawah bantal mereka, menunggu perubahan. Namun tak jua ada perubahan (warnanya tetap). Hingga esoknya bertanya kepada Nabi dan Nabi menjelaskan bahwa maksudnya adalah hitamnya malam dan putihnya siang.
    Ada juga yang mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya. Ia terus makan sampai melihat adanya perubahan. Ternyata tidak ada perubahan. Hingga turunlah potongan ayat yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah fajar. Artinya, tetap makan dan minumlah hingga datangnya fajar. Bukan artinya makan dan minum hingga warna benang yang digunakan menjahit berubah.
    عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أُنْزِلَتْ{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } وَلَمْ يَنْزِلْ { مِنْ الْفَجْرِ }
    فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ { مِنْ الْفَجْرِ } فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
    Dari Sahl bin Sa’d –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Diturunkan ayat: << dan makan dan minumlah sampai nampak jelas benang putih dari benang hitam>> dan belum diturunkan (potongan ayat): << …dari fajar…>>. Maka laki-laki dari para Sahabat Nabi jika ingin berpuasa mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya. Mereka terus makan sampai (akan berhenti) jika telah jelas melihat (perubahannya). Kemudian Allah turunkan (potongan ayat) : <>, maka jadilah mereka tahu bahwa maksudnya adalah malam dan siang (H.R alBukhari no 1784).
    Pelajaran penting dari peristiwa-peristiwa tersebut:
    1. Memahami al-Quran tidak cukup hanya berdasarkan kaidah bahasa saja, namun juga perlu berdasarkan riwayat hadits dari Nabi. Nabi menjelaskan makna al-Quran dengan hadits-haditsnya. Nampak bahwa sebagian Sahabat yang orang Arab asli dan paham dengan bahasa Arab sempat salah dalam memahami makna ayat alQuran.
    2. Jika ada kesalahpahaman dari sebagian Sahabat, Nabi pasti akan menjelaskannya. Karena itu, tidak mungkin para Sahabat akan bersepakat dalam pemahaman yang salah tentang al-Quran.
    Potongan ayat ini merupakan dalil bahwa semua hal-hal yang membatalkan puasa di siang hari boleh dilakukan selama masih waktu malam. Waktu malam adalah dari terbenamnya matahari (Maghrib) hingga menjelang terbit fajar. Jika telah terbit fajar shadiq, maka tidak boleh seseorang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri.
    Potongan ayat ini juga sebagai dalil yang menunjukkan bahwa berhentinya makan dan minum adalah saat telah yakin (yatabayyana) akan masuknya fajar. Jika seseorang salah sangka, awalnya mengira belum masuk waktu fajar, karena tidak ada hal-hal yang menunjukkan hal itu, seperti cuaca mendung, jam dinding yang biasa dijadikan patokan pas mati, dan tidak terdengar adzan, kemudian nampak jelas setelah itu bahwa tadi ia makan dan minum di waktu fajar, maka tidak mengapa ia lanjutkan puasanya. Tidak ada kewajiban mengganti di waktu lain. Hal itu berlaku jika ia memang benar-benar tidak tahu, bukan pura-pura lupa atau menikmati keterlambatannya.
    Larangan Berhubungan Badan dengan Istri pada Saat I’tikaf
    Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
    وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
    Janganlah kalian menggauli mereka (istri-istri kalian) pada saat kalian I’tikaf di masjid (Q.S al-Baqoroh:187)
    Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Allah jelaskan hal ini agar jangan sampai ada yang menyangka bahwa hal itu (berhubungan dengan istri) boleh pada malam Ramadhan, termasuk bagi orang yang sedang I’tikaf (Tafsir alBaqoroh)
    Ayat ini juga mengisyaratkan disyariatkannya I’tikaf. Juga dijelaskan pada ayat ini bahwa tempat I’tikaf adalah di masjid. Sehingga, tidaklah disebut I’tikaf seseorang yang melakukannya di rumah-rumah. InsyaAllah akan dibahas lebih lengkap tentang I’tikaf pada bab tersendiri…..selesai
    (dinukil dari Buku Ramadhan Bertabur Berkah hal 32-92 karya Abu Utsman Kharisman)

You Might Also Like

0 komentar