13th April 2018 Makkah Maghrib Sheikh Mu'ayqali-TADABBUR SURAT AD DHUHA
- 03.16
- By faridan
- 0 Comments
Tadabbur Surat Adh-Dhuha (Waktu Dhuha): Belajar
Bersyukur
Mukaddimah
Menurut para ulama Surat Adh-Dhuha diturunkan di Makkah setelah Surat al-Fajr [1]. Surat ini berisi tentang pribadi Rasulullah saw. Kegelisahan dan kesedihan yang dialami beliau sangat wajar, ditengah terror fisik dan psikis yang dilancarkan kuffar Quraisy kepada beliau dan sahabatnya untuk mencegah dan menghalangi berkembangnya dakwah yang beliau bawa. Bahkan Allah bersumpah demi untuk mengatakan bahwa Dia sama sekali takkan pernah meninggalkan nabi-Nya sendirian apalagi memarahinya, seperti yang dituduhkan oleh kaum musyrikin Makkah. Allah takkan pernah membiarkannya bersedih. Allah menghibur beliau dengan mengingatkan janji-Nya yang pasti akan dipenuhi-Nya kelak. Menariknya, Allah juga mengingatkan bahwa beliau telah dikaruniai berbagai kenikmatan yang sangat berharga. Kefakiran, keadaan yatim, kesusahan dan kebingungan yang pernah dialaminya, dikaruniai Allah setelahnya berupa kekayaan, kesuksesan, bahkan diangkat derajatnya di langit dan di bumi. Semua adalah karunia Allah yang layak untuk disyukuri. Maka Allah memberikan perintah untuk menyukurinya dengan menyayangi anak yatim dan orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan [2].
Menurut para ulama Surat Adh-Dhuha diturunkan di Makkah setelah Surat al-Fajr [1]. Surat ini berisi tentang pribadi Rasulullah saw. Kegelisahan dan kesedihan yang dialami beliau sangat wajar, ditengah terror fisik dan psikis yang dilancarkan kuffar Quraisy kepada beliau dan sahabatnya untuk mencegah dan menghalangi berkembangnya dakwah yang beliau bawa. Bahkan Allah bersumpah demi untuk mengatakan bahwa Dia sama sekali takkan pernah meninggalkan nabi-Nya sendirian apalagi memarahinya, seperti yang dituduhkan oleh kaum musyrikin Makkah. Allah takkan pernah membiarkannya bersedih. Allah menghibur beliau dengan mengingatkan janji-Nya yang pasti akan dipenuhi-Nya kelak. Menariknya, Allah juga mengingatkan bahwa beliau telah dikaruniai berbagai kenikmatan yang sangat berharga. Kefakiran, keadaan yatim, kesusahan dan kebingungan yang pernah dialaminya, dikaruniai Allah setelahnya berupa kekayaan, kesuksesan, bahkan diangkat derajatnya di langit dan di bumi. Semua adalah karunia Allah yang layak untuk disyukuri. Maka Allah memberikan perintah untuk menyukurinya dengan menyayangi anak yatim dan orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan [2].
Allah Selalu Menyertai
Hanya untuk menegaskan bahwa Allah takkan pernah meninggalkan Nabi Muhammad saw, tidak juga marah terhadapnya, Allah memulai surat ini dengan bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam. “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi” (QS. 93: 1-2)
Hanya untuk menegaskan bahwa Allah takkan pernah meninggalkan Nabi Muhammad saw, tidak juga marah terhadapnya, Allah memulai surat ini dengan bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam. “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi” (QS. 93: 1-2)
Apa rahasia Allah memilih dua waktu
tersebut? Waktu dhuha adalah permulaan siang. Waktu produktif kebanyakan
manusia. Pada jam-jam inilah manusia memulai aktivitasnya. Ada yang mulai
bekerja, ada yang berangkat ke sekolah belajar dan mengajarkan ilmu, ada yang
mulai bertanam mencari jalan rezeki, ada yang membuka toko, membuka pintu-pintu
rahmat Allah.
Dalam sejarahnya, di
waktu dhuha inilah Musa as. menundukkan kesombongan Fir’aun dengan mengalah
tukang-tukang sihirnya, “Berkata Musa: “Waktu untuk pertemuan (kami
dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada
waktu matahari sepenggalahan naik”. (QS. Thaha: 59)
Kemudian Allah bersumpah demi waktu malam
yang menampakkan ketenangannya. Sunyi dengan kesenyapannya. Itulah tabiat
malam. Dijadikan Allah sebagai waktu beristirahat manusia setelah seharian bekerja
dan beraktivitas. Allah jadikan juga waktu untuk berkumpul dengan keluarga.
Allah berikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dianggap paling privasi.
Karena waktu malam jauh lebih tenang dibanding waktu lainnya.
Di antara sekian hamba-Nya ada yang merasa
bahwa karunia ketenangan malam ini harus disyukuri. Karenanya ia rela melawan
kantuk, bangkit dan segera bersujud serta bersimpuh di hadapan Dzat yang serba
Maha.
Inilah dua simbol yang pasti akan dialami
oleh kebanyakan manusia. Setelah muda banyak beraktivitas, kelak ia akan tua
dan harus mengurangi kegiatannya. Secara psikis juga –biasanya- ketenangan
orang tua jauh di atas orang muda. Sebagai sunnah Allah, manusia setelah
beraktivitas juga memerlukan waktu dan jeda untuk beristirahat. Dan makna-makna
lain yang tersirat dari sumpah di atas, dan yang terpenting adalah bahwa semua
waktu itu pasti berputar dan berganti. Sadar atau tidak waktu terus berputar.
Allahlah yang menjadikannya demikian. Tidak heran jika kemudian Abu Hurairah ra
mendapat pesan dari Rasul saw untuk tidak meninggalkan Shalat Dhuha [3] (HR.
Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
“Tuhanmu tiada
meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (QS. 93: 3). Ada
beberapa versi sebab-sebab diturunkannya ayat ini. Ibnu Hajar mengatakan bahwa
yang paling terkenal adalah tentang tersendatnya turunnya wahyu pada waktu
tertentu yang dialami oleh Rasulullah saw. Meski terkenal tapi –masih menurut
Ibnu Hajar- sangat aneh bila dijadikan sebab turunnya ayat ini. Adapun riwayat
yang shahih, berasal dari Bukhari dan Muslim. Suatu ketika Rasulullah berkeluh
kesah dan mengadu kepada Allah. Selama dua malam beliau sakit dan tidak
berdiri/keluar rumah. Datang seorang perempuan kepadanya dan mengatakan,”Wahai
Muhammad, mana setanmu. Kurasa dia telah meninggalkanmu” maka diturunkanlah
ayat ini [4]. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Ahmad, an-Nasa`i, dan
pakar hadis lainnya [5].
Kenikmatan dan Karunia
Allah
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”. (QS. 93: 4-5)
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”. (QS. 93: 4-5)
Sebab turun ayat ini diriwayatkan oleh
Imam ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim dengan sanad hasan. Abdullah bin
Abbas meriwayatkannya,”Rasulullah saw dibujuk dengan ditawarkan kepadanya
sesuatu yang akan terbuka untuk umatnya, yaitu dunia” [6].
Jika pada ayat sebelumnya beliau dicemooh
karena seolah beliau dibiarkan Allah maka ada usaha lain untuk meneror psikis
beliau dengan tawaran yang menggiurkan. Yaitu godaan dunia. Namun, Rasulullah
berdakwah tidaklah untuk memperkaya diri atau mencari pengaruh di tengah
umatnya. Karena itu Allah meneguhkan pendirian beliau.
Sebagai gantinya Allah menawarkan sesuatu
yang kelak akan membuat Rasul saw puas dan ridha. Karena kekekalan nikmat
akhirat jauh lebih sempurna dengan segala kemegahan isi dunia yang banyak
menggiurkan kebanyakan manusia.
Setidaknya Allah kemudian memerintahkan
kepada kekasih-Nya ini untuk mengingat-ingat beberapa nikmat di antara
nikmat-Nya yang tak terbilang yang diberikan kepada beliau:
Pertama, “Bukankah dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?” (QS. 93: 6). Nabi
Muhammad terlahir sebagai anak yatim. Ia bahkan tak pernah tahu seperti apa
wajah ayahnya. Kemudian belum banyak beliau menikmati kebersamaan dengan ibunya
setelah kembali dari Bani Sa’d tempat beliau disusui dan dibesarkan di sana,
Aminah, sang ibu dipanggil Allah menyusul ayahnya. Kakek yang mengasuhnya
setelah itu pun dipanggil Allah. Hingga Muhammad kecil diasuh oleh pamannya,
Abu Thalib. Siapa yang mengatur peristiwa demi peristiwa itu. Siapa
sesungguhnya yang merekayasa semuanya. Allah lah pada hakikatnya yang mendidik
dan mengasuh Nabi Muhammad, meskipun sebabnya melalui ibu, kakek dan paman juga
orang-orang lainnya. Siapa pula yang menumbuhkan kecintaan mereka kepada Nabi
Muhammad.
Kedua, “Dan dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (QS. 93: 7). Yang
dimaksud “dhall” di sini bukanlah kesesatan seperti tersesatnya orang-orang
musyrik dan kafir. Namun, sebagian besar pakar tafsir mengatakan bahwa
kebenaran tak bisa semata dicapai akal. Siapa yang memberi petunjuk jika bukan
Allah. Secara spesifik sebagian ahli tafsir berpendapat petunjuk yang dimaksud
di sini adalah kenabian dan syariat yang dibawa oleh beliau [7].
Ketiga, “Dan dia mendapatimu sebagai
seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan” (QS. 93: 8).
Allah membebaskan Nabi Muhammad saw dari kefakiran dengan memberi kecukupan.
Dari sejak diberi kemampuan mencari nafkah melalui menggembala kambing,
kemudian berdagang dan sukses di bidang tersebut, hingga kemudian menikah
dengan seorang konglerawati yang shalihah; Khadijah binti Khuwailid ra [8].
Kemudian Allah berikan rasa cukup dan qanaah dalam hati beliau [9].
Bersyukur Atas Karunia
Allah
Tiga karunia yang diberikan Allah di atas sudah selayaknya disyukuri dengan baik. Oleh karena itu Allah melanjutkan pesan dan risalah langit-Nya. Allah juga menganjurkan Rasul-Nya dan diwanti-wanti dengan tiga hal berikut:
Tiga karunia yang diberikan Allah di atas sudah selayaknya disyukuri dengan baik. Oleh karena itu Allah melanjutkan pesan dan risalah langit-Nya. Allah juga menganjurkan Rasul-Nya dan diwanti-wanti dengan tiga hal berikut:
Pertama, “Sebab itu, terhadap anak yatim
janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (QS. 93: 9)
Berbuat baik dan tidak menzhalimi anak yatim menjadi prioritas dalam menyukuri nikmat Allah. Terlebih bagi Rasulullah saw sangat terasa, bagaimana beliau menjadi anak yatim tapi dicintai dan dimuliakan oleh orang-orang sekelilingnya. Tak heran jika dalam berbagai kesempatan beliau sering mengatakan “Aku dan pengafil anak yatim seperti dua jari ini [10]”. Beliau menunjuk jari tengah dan jari telunjuk beliau. Az-Zajjaj memberikan penakwilan lain, yaitu ini sekaligus larangan untuk menzhalimi anak yatim dengan berbagai cara. Di antaranya memakan harta anak yatim yang diwarisi dari orang tuanya. Maka jangan berlaku zhalim terhadap hartanya [11], demikian pesan itu.
Berbuat baik dan tidak menzhalimi anak yatim menjadi prioritas dalam menyukuri nikmat Allah. Terlebih bagi Rasulullah saw sangat terasa, bagaimana beliau menjadi anak yatim tapi dicintai dan dimuliakan oleh orang-orang sekelilingnya. Tak heran jika dalam berbagai kesempatan beliau sering mengatakan “Aku dan pengafil anak yatim seperti dua jari ini [10]”. Beliau menunjuk jari tengah dan jari telunjuk beliau. Az-Zajjaj memberikan penakwilan lain, yaitu ini sekaligus larangan untuk menzhalimi anak yatim dengan berbagai cara. Di antaranya memakan harta anak yatim yang diwarisi dari orang tuanya. Maka jangan berlaku zhalim terhadap hartanya [11], demikian pesan itu.
Kedua, “Dan terhadap orang yang
minta-minta, janganlah kamu menghardiknya”. (QS. 93: 10). Jika ada orang
yang meminta maka sebaiknya kita memberinya sesuatu yang membuatnya berbahagia
atau setidaknya menghilangkan sedikit bebannya. Jika seandainya kita belum
mampu atau tidak memberinya apapun maka sebaiknya kata-kata yang baiklah yang
kita berikan kepadanya. Allah berfirman dalam ayat lain, “Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun” (QS. 2: 263)
Ketiga, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu,
maka hendaklah kamu menyebut-nyebut”. (QS. 93: 11). Azz-Zajaj, Imam
al-Qurthuby menafsirkan ayat ini sesuai dengan konteks Rasulullah adalah
bersyukur dengan menyampaikan risalah kenabian beliau [12]. Jika ayat ini
diperuntukkan kepada kita maka konteksnya lebih luas. Yang dimaksud
menyebut-nyebut, berbicara atau berbagai saat kita mendapat nikmat juga luas.
Diawali dengan bertahmid dan bersyukur kepada Allah, kita disunnahkan untuk
memberitahu orang-orang yang dekat dan kita cintai. Jika memungkinkan maka
percikan nikmat tersebut juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Jika nikmat itu
adalah harta maka bersyukurlah dengan zakat dan shadaqah. Jika nikmat itu adalah
ilmu maka bersyukurlah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Tapi,
menyebut-nyebut nikmat secara berlebihan akan mengundang rasa iri dan dengki,
maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan wajar.
Penutup
Semoga dengan inspirasi surat ini kita bisa memanfaatkan waktu kita untuk kebaikan. Selanjutnya kita mampu menjadi hamba yang bersyukur dan bisa menularkan kesyukuran ini kepada orang lain dengan keteladanan dan perkataan yang baik. Aamin.
Semoga dengan inspirasi surat ini kita bisa memanfaatkan waktu kita untuk kebaikan. Selanjutnya kita mampu menjadi hamba yang bersyukur dan bisa menularkan kesyukuran ini kepada orang lain dengan keteladanan dan perkataan yang baik. Aamin.
Catatan Kaki:
[1] lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249.Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.812
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 301
[3] Ini merupakan salah satu wasiat Rasulullah saw kepada Abu Hurairah yang berjumlah tiga: dua rakaat Shalat Dhuha, puasa tiga haris setiap bulan (ayyamul baidh) dan shalat witir sebelum tidur. Selain diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sedikit perbedaan Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam Kitab Shalah Bab al-Witr Qabla an-Naum, hadits nomer 1286 (Muhammad Nashiruddin al-Albany,Shahih Sunan Abi Dawud, Op.Cit, Vol.V, hlm.175)
[4] Prof. Dr. Muhammad Hasan al-Himshy, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Qur’an A’la Mushafi at-Tajwid ma’a Asbabi an-Nuzul li as-Suyuthi,Beirut: Muassasah al-Iman, cet.I, 1999 M – 1419 H, hlm. 534
[5] Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 282
[6] Prof. Dr. Muhammad Hasan al-Himshy, Op.Cit, hlm. 538
[7] Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm. 511; Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 466
[8] lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 868.
[9] Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, 4/467
[10] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab al-Adab Bab Fadhlu Man Ya’ulu Yatiman, hadits no. 6005. Juga Imam Muslim Kitab Zuhd wa Raqa`iq, hadits no. 2983. Juga Imam Tirmizi Kitab al-Birr wa ash-Shilah, no. 1918 (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathu al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Cairo: Maktabah Ash-Shafa, Cet.I, 2003 M-1424 H, Vol. X, hlm. 507; Muhyiddin bin Syarah an-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawy, Cairo: Darul Hadits, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IX, hlm.339, Sunan at-Tirmizi, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 471)
[11] Az-Zajjaz, Ma’ami al-Qur’an wa I’rabuhu, Cairo: Darul Hadits, 2004 M/1424 H, Vol.V, hlm. 259
[12] Ibid. lihat juga: al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol.X, hlm. 344
[1] lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249.Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.812
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 301
[3] Ini merupakan salah satu wasiat Rasulullah saw kepada Abu Hurairah yang berjumlah tiga: dua rakaat Shalat Dhuha, puasa tiga haris setiap bulan (ayyamul baidh) dan shalat witir sebelum tidur. Selain diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sedikit perbedaan Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam Kitab Shalah Bab al-Witr Qabla an-Naum, hadits nomer 1286 (Muhammad Nashiruddin al-Albany,Shahih Sunan Abi Dawud, Op.Cit, Vol.V, hlm.175)
[4] Prof. Dr. Muhammad Hasan al-Himshy, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Qur’an A’la Mushafi at-Tajwid ma’a Asbabi an-Nuzul li as-Suyuthi,Beirut: Muassasah al-Iman, cet.I, 1999 M – 1419 H, hlm. 534
[5] Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 282
[6] Prof. Dr. Muhammad Hasan al-Himshy, Op.Cit, hlm. 538
[7] Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm. 511; Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 466
[8] lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 868.
[9] Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, 4/467
[10] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab al-Adab Bab Fadhlu Man Ya’ulu Yatiman, hadits no. 6005. Juga Imam Muslim Kitab Zuhd wa Raqa`iq, hadits no. 2983. Juga Imam Tirmizi Kitab al-Birr wa ash-Shilah, no. 1918 (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathu al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Cairo: Maktabah Ash-Shafa, Cet.I, 2003 M-1424 H, Vol. X, hlm. 507; Muhyiddin bin Syarah an-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawy, Cairo: Darul Hadits, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IX, hlm.339, Sunan at-Tirmizi, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 471)
[11] Az-Zajjaz, Ma’ami al-Qur’an wa I’rabuhu, Cairo: Darul Hadits, 2004 M/1424 H, Vol.V, hlm. 259
[12] Ibid. lihat juga: al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol.X, hlm. 344
( Sumber: https://www.dakwatuna.com)
0 komentar