Syafaat di hari akhirat adalah salah
satu keyakinan yang harus diimani oleh setiap mukmin. Allah Ta’ala akan
memberikan syafaat melalui hamba-hamba pilihan-Nya. Di antara syafaat yang
terbesar adalah syafaat yang diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam.
Bagi orang yang mencintai Nabi, syafaat
beliau adalah harapan yang sangat dinanti. Namun, banyak orang keliru dalam
memahami syafaat, bahkan sebagiannya terjerumus dalam praktek kemusyrikan
karena tidak memahami masalah ini dengan benar. Semoga penjelasan berikut dapat
memberikan pemahaman yang benar tentang syafaat.
Makna Syafaat
Kata syafaat secara bahasa
merupakan isim dari syafa’a yasyfa’u,
yaitu jika menjadikan sesuatu menjadi dua. As sya’fu artinya
lawan kata dari ganjil, seperti dalam firman Allah “was syaf’i wal watri (dan
yang genap dan yang ganjil). Sedangkan menurut istilah, syafaat berarti
sarana/perantara bagi orang lain unuk mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat. Contoh mendatangkan manfaat adalah syafaat Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallambagi penghuni surga untuk memasukinya. Adapun contoh
menolak mudharat ialah syafaat beliau bagi orang yang berhak masuk neraka,
sehingga dia tidak jadi memasukinya. (Al Qoulul Mufiid Syarhu Kitabi at
Tauhid, Syaikh ‘Utsaimin)
Syafaat Bermanfaat
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu
diketahui bahwa syafaat yang disebutkan dalam al Quran dan as Sunnah ada dua
macam. Syafaat bermanfaat yang ditetapkan oleh syariat dan syafaat batil yang
ditolak oleh syariat. Syafaat yang ditetapkan oleh syariat, yaitu yang
ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya atau yang
ditetapkan oleh Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam. Syafa’at ini
hanya diberikan bagi orang-orang yang bertauhid. Syafaat jenis inilah yang akan
bermanfaat bagi kaum muslimin di akhirat.
Syafaat ini bisa diperoleh dengan adanya
dua syarat, yaitu adanya izin dan ridho dari Allah Ta’ala.
Izin dari Allah bagi syaafi’ (orang yang memberikan syafaat)
untuk memberikan syafaat, dan keridhoan Allah bagi masyfu’ lahu (orang
yang diberi syafaat). Kedua syarat ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala (artinya)
: “Dan berapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak
berguna kecuali sesudah Allah mengijinkanbagi orang yang
dikehendaki dan diridhai(Nya)” (QS. An-Najm : 26). [Syarhu al Qowaaidil
Arba’, Syaikh Sholeh Alu Syaikh]
Syafaat Batil Yang Tertolak
Jenis yang kedua adalah syafaat batil
yang tertolak. Yaitu syafaat yang tidak akan bisa memberi manfaat sama sekali.
Inilah syafaat untuk orang-orang musyrik berupa syafaat dari sesembahan mereka
yang dianggap bisa menyelamatkan mereka di sisi Allah Ta’ala.
Syafaat ini sama sekali tidak akan memberikan manfaat kepada mereka.
Allah Ta’ala berfirman (artinya) : Maka tidak berguna
lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafaat” (QS.
Al-Muddatsir: 48).
Allah tidak ridha terhadap kemusyrikan
orang-orang musyrik tersebut dan tidak mungkin mengizinkan kepada siapapun
untuk memberi syafaat bagi mereka, karena tiada syafaat kecuali bagi
orang-orang yang diridhai oleh Allah. Ketergantungan orang-orang musyrik
terhadap sesembahan mereka yang mereka ibadahi serta perkataan mereka: “Mereka
itu adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah”, adalah
ketergantungan yang batil yang tidak bermanfaat. Bahkan hal ini justru akan
menyebabkan mereka semakin jauh dari Allah. Orang-orang musyrik mengharap
syafaat dari berhala-berhala mereka dengan cara yang batil, yaitu dengan
beribadah kepada berhala-berhala ini. Ini merupakan kebodohan. Sebuah usaha
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang
justru malah semakin menjauhkan mereka dari Allah.
Mintalah Kepada Sang Pemilik Syafaat
Pembaca yang dirahmati Allah, hakekatnya
syafaat hanyalah milik Allah. Allah Ta’ala berfirman
(artinya) “Katakanlah: Hanya kepunyaan Allah lah syafaat itu semuannya.
Milik-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Kemudiaan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.” (QS. Az Zumar: 44). Dalam  ayat di atas,
 dengan jelas Allah menyebutkan bahwa seluruh syafaat hanyalah milik-Nya
semata. Allah kemudian memberikan kepada sebagian hamba-Nya untuk memberikan
syafaat kepada sebagian hamba yang lainnya dengan tujuan untuk memuliakan dan
menampakkan kedudukan pemberi syafaat dibanding yang disyafaati serta
memberikan keutamaan dan karunia-Nya kepada yang disyafaati untuk bisa mendapatkan
kenikmatan yang lebih baik atau kebebasan dari adzab-Nya.
Orang yang memberi syafaat dan orang
yang diberi syafaat itupun bukan sembarang orang. Syafaat hanya terjadi jika
ada izin Allah kepada orang yang memberi syafaat untuk memberi syafaat dan ridha
Allah kepada pemberi syafaat dan yang disyafaati. Allah berfirman
(artinya), “Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka
(malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat
melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati
karena takut kepada-Nya.” (QS. Al Anbiya: 28).
Setelah kita mengetahui bahwa syafaat
adalah milik Allah semata, maka kita hanya boleh meminta kepada Allah.
Diperbolehkan meminta kepada Allah agar para pemberi syafaat diizinkan untuk
memberikan syafaat di akhirat nanti. Seperti mengatakan  “Ya Allah, jadikanlah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pemberi syafa’at bagiku. Dan janganlah
engkau cegah diriku dari mendapatkan syafaatnya”, atau perkataan yang
semisal.
Salah dalam Meminta  Syafaat
Setelah kita memahami hakekat syafaat,
hendaknya kita meminta syafaat hanya kepada Allah. Karena hanya Allahlah yang
memiliki syafaat. Barangsiapa yang meminta syafaaat kepada selain Allah, pada
hakekatnya dia telah berdoa kepada selain Allah. Ini merupakan salah satu
bentuk kesyirikan, meskipun dia meminta kepada Nabi shalallhu ‘alaihi
wa sallam. Dengan demikian, Â salah ketika orang yang meminta syafaat
mengatakan  : “Wahai Nabi, berilah aku syafaat”, atau “ Wahai
Nabi, syafaatilah aku”, dan yang semisalnya.
Syafaat hanya milik Allah dan Nabi tidak
bisa memberikan syafaat tanpa ridho dan izin dari-Nya. Sehingga, tidak boleh
meminta syafaat kepada makhluk, termasuk kepada Nabi sekalipun. Mengapa? Karena
meminta syafaat adalah termasuk doa permintaan. Seseorang yang meminta syafaat
kepada selain Allah berarti dia telah berdoa kepada selain Allah. Doa adalah
ibadah yang harus ditujukan kepada Allah dan tidak boleh ditujukan kepada
selain-Nya. Barang siapa yang beribadah kepada selain Allah dia telah melakukan
syirik akbar. Demikian pula bagi orang yang meminta syafaat kepada selain Allah
dia telah berbuat syirik akbar. [Lihat Syarhu al Qowaaidil Arba’,
Syaikh Sholeh Alu Syaikh]
Pembaca yang budiman, jangan sampai kita
terjebak untuk meminta syafaat langsung kepada selain Allah, termasuk kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bukan berarti kita
mengingkari adanya syafaat beliau. Tetapi syafaat itu hanyalah milik Allah.
Bagaimana Allah hendak memberikan syafaat-Nya kepada seseorang sementara dia
berbuat syirik dengan meminta syafaat kepada Nabi? Pantaskah bagi kita tatkala
Allah telah menetapkan bahwa syafaat hanya milik-Nya, kemudian kita justru
meminta kepada Nabi?. Mari kita renungkan.
Siapakah yang Berhak Mendapatkan Syafaat
?
Syafaat hanya akan Allah berikan kepada
orang-orang yang diridhai-Nya. Siapa orang-orang yang Allah ridhai? Merekalah
ahli tauhid, yang menyembah hanya kepada Allah semata dan tidak melakukan
kesyirikan sedikitpun. Orang-orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan
mengamalkan konsekuensi dari yang dia ucapkan. Merekalah yang berbahagia dengan
pemberian syafaat dari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Orang yang paling berbahagia dengan (mendapatkan) syafaatku pada hari
kiamat adalah orang yang mengucapkan (kalimat) Laa ilaaha
illallahu (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah)
dengan ikhlas dari hati atau jiwanya.“ (HR Bukhari).
Pembaca yang dirahmati Allah, pemahaman
yang benar tentang syafaat akan memotivasi orang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk semakin rajin beribadah dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya,
juga akan menambah kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamdan berusaha meneladani sunnah beliau. Dengan memahami masalah ini,
juga akan menumbuhsuburkan dalam diri orang yang beriman kecintaan kepada
Allah. Dia akan semakin  mengetahui betapa agung kasih sayang dan
rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertauhid, tatkala Allah
senantiasa memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk pengampunan dosa-dosa mereka,
agar mereka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Semoga kita termasuk golongan
orang-orang yang mendapat syafaat dari Allah di akhirat kelak. Wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. [Adika
M.*]
(http://buletin.muslim.or.id)
0 komentar