Bagaimana hukum
shalat berjamah dengan jarak antara jamaah satu meter seperti saat wabah virus
covid-19 (virus corona) melanda negeri kita ini? Beberapa masjid masih
menyelenggarakan shalat, baris shaf antara jamaah dibuat dengan selisih jarak
satu meter. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hal ini?
Dalil
yang membicarakan meluruskan dan merapatkan shaf
Imam Nawawi
rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin membicarakan lima belas hadits dalam judul
bab “Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama,
Meluruskan, dan Merapatkannya”.
Dalil-dalil yang
dibawakan oleh Imam Nawawi dalam bab di atas yang terkait dengan bahasan ini
ada delapan dalil.
Hadits
pertama (Hadits #1086)
وَعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي
الصَّلاَةِ ، وَيَقُولُ : (( اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ
قُلُوبُكُمْ ، لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ، ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ )) رَوَاهُ مُسلِمٌ
Abu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengusap pundak-pundak kami ketika shalat dan berkata, “Luruskanlah dan
janganlah berselisih, sehingga berselisihlah pula hati kalian. Hendaklah
orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku
(dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang
setelah mereka.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 432].
Hadits
kedua (Hadits #1087)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ
– صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ
تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ
إقَامَةِ الصَّلاَةِ ))
.
Anas radhiyallahu
‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah
shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”
(Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433].
Dalam riwayat
Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”
Hadits
ketiga (Hadits #1088)
وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ
اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ
البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ
.
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ
بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.
Anas radhiyallahu
‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah dan
rapatkanlah shaf-shaf kalian karena aku dapat melihat kalian dari belakang
punggungku.’” (HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh
Imam Muslim secara makna) [HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434].
Dalam riwayat
Al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang dari kami menempelkan bahunya dengan
bahu rekannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki rekannya.”
Hadits
keempat (Hadits #1089)
وَعَنِ النُّعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : ((
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ))
مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا ، حَتَّى كَأنَّمَا يُسَوِّي
بِهَا القِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ، ثُمَّ خَرَجَ يَوماً
فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِياً صَدْرُهُ مِنَ
الصَّفِّ ، فَقَالَ : (( عِبَادَ اللهِ ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أو
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ ))
An-Nu’man bin Basyir
radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda, ‘Hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah
akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR.
Bukhari, 717 dan Muslim, no. 436].
Dalam riwayat Muslim
disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
meluruskan shaf-shaf kami sampai seolah-olah beliau sedang meluruskan gelas
sehingga beliau melihat bahwa kami telah mengerti. Kemudian pada suatu hari,
beliau keluar. Lantas beliau berdiri. Lalu saat hampir bertakbir, beliau
melihat seseorang pada dadanya maju dari shaf, maka beliau berkata, ‘Wahai
hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara
wajah-wajah kalian.’”
Hadits
kelima (Hadits #1090)
وَعَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ :
كَانَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ
مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ ، يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا ، وَيَقُولُ
: (( لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ )) وَكَانَ يَقُولُ : (( إِنَّ
اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأَوَّلِ )) رَوَاهُ أَبُو
دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Al-Bara’ bin ‘Azib
radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa memeriksa shaf dari satu sisi ke sisi yang lain. Beliau mengusap dada dan
pundak kami seraya berkata, ‘Janganlah kalian berselisih sehingga berselisihlah
pula hati kalian.’ Beliau biasa mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya (memberikan rahmat dan memintakan ampun) atas shaf-shaf yang
pertama.” (HR. Abu Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 664; An-Nasa’i,
no. 812. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].
Hadits
keenam (Hadits #1091)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ –
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( أَقِيْمُوا الصُّفُوفَ ،
وَحَاذُوا بَيْنَ المَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الخَلَلَ ، وَلِيَنُوا بِأيْدِي
إِخْوَانِكُمْ ، وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً
وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللهُ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, ratakanlah pundak-pundak kalian,
isilah shaf yang kosong, bersikap lemah lembutlah terhadap tangan-tangan
saudara kalian, dan janganlah kalian biarkan shaf kosong untuk diisi setan.
Barangsiapa yang menyambungkan shaf, Allah pasti akan menyambungkannya dan
barangsiapa yang memutuskan shaf, Allah pasti akan memutuskannya.” (HR. Abu
Daud, sanadnya hasan) [HR. Abu Daud, no. 666; An-Nasa’i, no. 820. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Hadits
ketujuh (Hadits #1092)
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُولَ اللهِ –
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ،
وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ
)) حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ .
((
الحَذَفُ )) بِحَاءِ مُهْمَلَةٍ وَذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوْحَتَيْنِ ثُمَّ فَاء
وَهِيَ : غَنَمٌ سُودٌ صِغَارٌ تَكُونُ بِاليَمَنِ
.
Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rapatkanlah
shaf kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah tengkuk-tengkuk
kalian. Demi Allah yang diriku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat
setan masuk ke sela-sela shaf, seperti domba kecil.” (HR. Abu Daud, shahih
dengan sanad sesuai syarat Muslim). Al-Hadzaf adalah domba hitam kecil yang
hidup di Yaman. [HR. Abu Daud, no. 667 dan An-Nasa’i, no. 816. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Hadits kedelapan (Hadits #1093)
وَعَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
، قَالَ : (( أتِمُّوا الصَّفَّ المُقَدَّمَ ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا
كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ في الصَّفِّ المُؤَخَّرِ )) رواه أبُو دَاوُدَ بإسناد
حسن
Anas radhiyallahu
‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah
shaf depan, kemudian yang selanjutnya. Jika masih ada yang kurang, jadikanlah
di shaf belakang.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 671
dan An-Nasa’i, no. 819. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini
sahih].
Hukum
meluruskan dan merapatkan shaf
Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan
kebencian, serta perselisihan antar hati orang yang shalat.” (Syarh Shahih
Muslim, 4:157)
Dalam Ensiklopedia
Fikih disebutkan, “Mayoritas ulama berpandangan bahwa dianjurkan meluruskan
shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih
di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf
jadi lurus dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan
mendekatkan pundak yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya,
mata kaki yang satu dan lainnya, sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada
celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada jamaah sebagaimana perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena
lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat’.” (Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah,
27:35)
Masih dalam kitab
yang sama, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan bahwa hukum shaf
yang lurus adalah wajib. Namun shaf yang tidak lurus dihukumi sah. Shalat yang
telah dilakukan dalam keadaan seperti itu tidak perlu diulangi. Lihat
Al-Mawsu’ah Al-Kuwaitiyyah, 27:36.
Cara
meluruskan shaf
Syaikh Prof. Dr.
Muhammad Az-Zuhaily menerangkan, “Imam disarankan untuk meluruskan shaf-shaf
yang ada sebelum melakukan takbiratul ihram. Imam hendaklah menyuruh makmum di
belakangnya untuk meluruskan shaf sebelum masuk takbiratul ihram. Jika masjid
berukuran besar, imam dianjurkan menyuruh orang lain untuk meluruskan shaf
dengan cara mengelilingi shaf-shaf yang ada atau orang yang diperintah tadi
menghimbau yang lainnya untuk meluruskan shaf. Setiap yang hadir shalat
berjamaah hendaklah mengajak yang lain meluruskan shaf. Perbuatan seperti ini
termasuk amar makruf nahi mungkar, juga termasuk saling tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan. Sebagaimana diketahui, shaf yang lurus merupakan
kesempurnaan shalat.”
Az-Zuhaily, semoga
Allah menjaga beliau, melanjutkan, “Yang dimaksud meluruskan shaf adalah
menyempurnakan shaf yang pertama lalu shaf yang berikutnya. Termasuk juga
meluruskan shaf adalah menutup shaf yang masih kosong. Shaf yang lurus akan
terlihat rata dan posisi badan yang satu tidak maju dari yang lainnya. Shaf
kedua barulah diisi ketika shaf pertama terisi penuh. Jamaah tidak boleh
berdiri pada shaf yang baru sebelum shaf pertama diisi.” Lihat bahasan beliau
dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:439.
Apa yang
dimaksud menempelkan bahu dengan bahu rekannya?
Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullah menyatakan bahwa kalimat “menempelkan bahu pada bahu
lainnya dan telapak kaki pada telapak kaki lainnya”, maksudnya adalah
benar-benar shaf itu dibuat lurus dan celah shaf itu ditutup. Kalimat semacam
ini disebut dengan kalimat mubalaghah. Ada perintah dalam hadits lainnya untuk
menutup celah shaf. Dalam banyak hadits ada anjuran demikian pula, di antaranya
terkumpul dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, di mana
hadits tersebut disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Lafal hadits yang
dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا
الْخَلَلَ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًا وَصَلَهُ
اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
“Luruskanlah shaf,
rapatkanlah antara pundak, tutuplah celah shaf, dan janganlah biarkan celah
shaf untuk setan. Siapa yang menyambung shaf, maka Allah menyambungnya. Siapa
yang memotong shaf, maka Allah memotongnya.” (Fath Al-Bari, 2:211)
Merapatkan
apakah dengan menempelkan telapak kaki?
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Yang tepat dan terpercaya, shaf
yang lurus adalah shaf yang antara mata kaki itu lurus, bukan antara ujung jari
yang lurus. Tubuh kita memiliki mata kaki. Jari-jari yang ada berbeda sesuai
dengan bentuk telapak kaki. Telapak kaki ada yang panjang dan telapak kaki yang
pendek, sehingga keduanya dibuat sama lurus tidaklah mungkin. Yang bisa dibuat
sama adalah lurusnya mata kaki. Adapun menempelkan kedua mata kaki antara
jamaah, hadits tentang hal ini ada dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dahulu mereka meluruskan shaf dengan menempelkan mata kaki antara satu dan
lainnya. Namun tujuan menempelkan di sini adalah untuk membuat shaf menjadi
lurus. Yang dimaksud menempelkan di sini bukanlah harus benar-benar menempel
dan menjaganya sampai akhir shalat seperti itu. Sebagian orang melakukan
tindakan ekstrim dengan menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya,
akhirnya kedua telapak kakinya sendiri terbuka lebar dan antara pundak mereka
terdapat celah besar. Padahal yang dimaksud adalah antara pundak dan mata kaki
itu dibuat lurus.” (Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dikumpulkan oleh Asyraf
‘Abdur Rahim, 1:436-437)
Syaikh Ibnu Jibrin
rahimahullah juga menjelaskan hal yang sama dengan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan kalimat dari Ibnu Hajar yang dinukilkan di atas,
lalu beliau berkata, “Yang dimaksudkan menempelkan pundak dan telapak kaki
adalah untuk meluruskan shaf, lalu dekatnya satu jamaah dan lainnya. Yang
dimaksud menempelkan bukanlah benar-benar menempel. Pundak satu dan lainnya
bisa saja saling menyentuh. Adapun kaki dan lutut tidak mungkin menempel.
Karena karena terlalu menempel dan terlalu rapat antara jamaah malah saling
menyakiti. Yang dimaksudkan hadits adalah merapatkan shaf dan menutup celah
shaf sehingga tidak dimasuki oleh setan.”
Dua fatwa di atas
dinukil dari Website Multaqa Ahlil Hadits.
Kesimpulan
dari bahasan meluruskan dan merapatkan shaf
Hukum meluruskan
shaf adalah sunnah menurut jumhur ulama. Ulama yang menyatakan wajib, seperti
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak menganggapnya sebagai syarat sah shalat.
Shaf yang lurus
didapati dari shaf yang rapat. Cara meluruskan shaf adalah dengan mendekatkan
mata kaki dan pundak. Jika shaf yang lurus dihukumi sunnah, shaf yang rapat
berarti dihukumi sunnah pula.
Maksud sahabat
dengan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah mendekatkan, bukan saling
menyakiti satu dan lainnya.
Bagaimana
jika baris shaf saling berjauhan?
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih
hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak
antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud
dalam shalat. Namun jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau
sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang
shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu
Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf
(al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat
barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya
penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang
shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti
dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah
bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).
Afdal
mana, meninggalkan shalat berjamaah di masjid ataukah tetap shalat berjamaah
dan shafnya saling berjauhan?
Ada beberapa poin yang
bisa dipahami:
Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib
sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang
lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun
yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di
rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya
keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu
berkata kepadanya,
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟
‘Apakah
engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab,
نَعَمْ
‘Ya.’ Beliau bersabda,
فَأجِبْ
‘Penuhilah
panggilan azan tersebut.’” (HR. Muslim, no. 503)
Kedua, jika
mendapati uzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini
melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak
melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan,
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
“Perintahkanlah
kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari, no. 664 dan Muslim, no. 418)
Ada kaedah fikih
yang berbunyi,
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan
mendatangkan kemudahan.”
Atau seperti ibarat
yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm,
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“Jika
perkara itu sempit, datanglah kelapangan.”
Dalil dari kaedah di
atas adalah firman Allah,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya
agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan
kalah.” (HR. Bukhari, no.
39)
Ketiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga
muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”
Jawaban:
Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada
berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini
benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang
yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan
gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.
Lihat sanggahan dari
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi
Waba’ Kuruna, hlm. 13-14.
Keempat,
jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap
dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ
يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika
seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat
baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itu,
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا
وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits
di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari
melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi,
amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)
Kesimpulan
Lebih
afdal shalat di rumah daripada shalat di masjid dengan pertimbangan bahayanya
virus corona ini:
Bahayanya
virus corona seperti penyakit pernapasan lainnya, infeksi covid-19 dapat
menyebabkan gejala ringan seperti: demam, batuk, pilek, gangguan pernapasan,
sakit tenggorokan, letih, dan lesu.
Kondisi
ini bisa menjadi lebih parah bagi beberapa orang dan dapat menyebabkan
pneumonia atau kesulitan bernafas.
Orang tua
dan orang-orang yang mempunyai riwayat medis sebelumnya, seperti diabetes dan
penyakit jantung, lebih rentan mengalami kondisi parah jika terkena virus
corona.
Salah
satu penyebab virus sulit dikendalikan adalah silent carrier corona. Silent
carrier corona adalah orang yang memiliki atau terinfeksi virus corona tetapi
tidak bergejala, alias asimtompatis, terlihat seperti orang sehat, tidak merasa
sakit atau memiliki gejala yang sangat ringan, tetapi bisa menyebabkan orang
lain tertular penyakit. (Sumber: Kompas dan CNN Indonesia)
Saran
penulis
Karena
pertimbangan inilah, shalat di rumah lebih disarankan dibandingkan shalat di
masjid walaupun dengan jarak shaf dibuat satu meter (dengan anggapan shaf yang
tidak rapat tetap sah), walaupun juga sebelum masuk masjid ada penyemprotan
disinfektan. Ini akan sesuai dengan saran pemerintah dan MUI untuk #DiRumahAja.
Saran #DiRumahAja dari pemerintah dan MUI kita sudah menunjukkan bahwa mereka
menyayangi rakyat Indonesia, agar tidak terus berjatuhan korban karena yang
positif corona sudah mencapai empat digit (di atas 1.000).
Semoga Allah segera
mengangkat musibah wabah ini dari negeri kita tercinta. Moga badai segera
berlalu.
Referensi:
Al-Ahkaam
Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali
Al-Musyaiqih. (File PDF)
Al-Mawsu’ah
Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman.
Al-Mu’tamad fii
Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad
Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
Ash-Shalah wa Hukmu
Taarikiha. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.
Fath Al-Bari bi
Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan Keempat. Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Penerbit Dar Ath-Thiybah.
(Sumber: Rumasyho.Com)
0 komentar